Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Saweran Besel demi WTP

Dua pejabat Kementerian Desa dan dua auditor BPK ditangkap karena diduga merekayasa laporan keuangan dengan imbalan suap. Banyak proyek fiktif yang dicoba dihilangkan.

5 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA peristiwa genting terjadi di kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi di Kalibata, Jakarta Selatan, pada Jumat dua pekan lalu. Di lantai dua, Menteri Eko Putro Sandjojo sedang memarahi para anggota staf khususnya yang ia nilai tak becus mengawal serapan anggaran dari program yang dikerjakan bawahannya.

Rapat selepas magrib itu adalah kelanjutan rapat dua jam sebelumnya. Di depan para pejabat eselon I dan II, Eko muring-muring karena hampir semester pertama berakhir anggaran Rp 4,8 triliun tahun ini baru terserap 16 persen. "Saya heran dengan birokrasi ini, menghabiskan anggaran saja tak bisa," katanya pada Jumat pekan lalu.

Ia memanggil staf khususnya ke ruang rapat yang sama setelah para pejabat eselon I dan II bubar. Eko memarahi mereka dengan menunjukkan angka serapan anggaran yang masih seuprit itu.

Rupanya, di luar ruang rapat, para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menunggu seorang peserta rapat, yakni Inspektur Jenderal Kementerian Desa Sugito. Peristiwa kedua pun terjadi di lantai empat kantor itu.

Seregu tim penyidik membawa Sugito naik ke ruangannya di lantai 4 dan menyegelnya. Sugito dianggap berhubungan dengan peristiwa lain dua jam sebelumnya di gedung Badan Pemeriksa Keuangan di Slipi, Jakarta Barat. Anak buah Sugito, Jarot Budi Prabowo, dicokok ketika tengah menyuap Ali Sadli, seorang auditor BPK, bersama uang Rp 40 juta.

Saat penyegelan sekitar pukul 18.00 itulah telepon seluler Menteri Eko berdering. Nama Sekretaris Jenderal Kementerian Desa Anwar Sanusi muncul di layar. Eko terkejut mendengar kabar bahwa beberapa ruang kantor anak buahnya telah disegel KPK. "Yang terpikir oleh saya waktu itu adalah menelepon Pak Sugito karena ia yang berhubungan dengan KPK," katanya.

Telepon Sugito telah disita KPK. Eko pun gagal menghubunginya. Ia meminta seorang anggota staf khusus menelepon istri Sugito. Eko mulai menduga ke arah mana penyegelan itu akan bermuara setelah mendengar istri Sugito menangis saat ditelepon.

Ia lalu meminta staf Biro Hukum mencari kebenaran kabar itu langsung ke KPK. Eko menunggu di kantornya hingga pukul 23.00, tapi konfirmasi tak ia peroleh hingga lewat tengah malam. "Ternyata KPK ada di ruang Pak Gito sampai pukul delapan malam," katanya. "Saya tak tahu sama sekali."

Esoknya, dari televisi, Eko baru tahu duduk soal peristiwa yang terjadi di kantornya semalam. Sugito ditangkap karena diduga memberi suap kepada auditor BPK guna mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan Kementerian Desa tahun 2016.

Pada Sabtu yang seharusnya libur itu, Eko mengumpulkan para pejabat Kementerian Desa di kantornya. Ia ingin tahu apa yang terjadi pada Sugito dan Jarot. Menteri yang disokong Partai Kebangkitan Bangsa ini bertambah masygul karena Sugito dicokok setelah mengikuti rapat dengannya. "Orangnya tanpa cacat dan rumahnya sangat sederhana," katanya.

Di mata Eko, Sugito adalah pejabat ideal di kementeriannya. Ia mengutus istrinya mengecek rumah Sugito di Bojong Gede, Bogor. Istrinya melaporkan rumah Sugito tanpa garasi, terletak di gang yang sempit. Ke kantornya ia sering naik kereta alih-alih naik mobil yang disediakan kantornya plus sopir.

Sesungguhnya ada tujuh orang yang ditangkap KPK pada Jumat dua pekan lalu itu. Tiga orang, yakni petugas keamanan BPK, sekretaris Rochmadi, dan sopir Jarot, kemudian dilepas karena hanya berstatus saksi. Sugito, Jarot Budi, dan Ali Sadli diboyong ke penjara KPK di Kuningan, sementara Rochmadi Saptogiri, auditor utama BPK, dititipkan di tahanan Kepolisian Resor Jakarta Timur agar para tersangka ini tak berhubungan.

Sebermula KPK menangkap Jarot di Gedung Tower BPK setelah menyerahkan uang Rp 40 juta kepada Ali Sadli, pejabat eselon III yang turut mengaudit laporan keuangan Kementerian Desa. Penyidik KPK menguntitnya hingga ke ruangan Ali.

Jejak Jarot terendus karena ia berhubungan dengan Rochmadi, auditor BPK yang sejak empat bulan lalu masuk pengawasan KPK karena perkara lain. Rochmadi sempat dicokok, tapi dilepas karena tak ada bukti uang suap di mobilnya. Dari pengintaian itulah penyidik KPK sampai pada penguntitan Jarot di Kemang satu hari sebelum bulan Ramadan.

Menurut Sekretaris Jenderal BPK Hendar Ristriawan, dari kamera pengawas BPK, Jarot tiba di ruang kerja Ali Sadli pukul 14.43. Di situlah Jarot diduga menyerahkan uang kepada Ali. "Dia berada di ruangan itu sekitar 20 menit," tuturnya.

Petugas KPK menangkap Jarot setelah ia turun. Para penyidik lalu membawanya naik lagi ke lantai 4 pada pukul 15.12. Mereka kembali ke ruangan Ali dan menyita uang yang diserahkan Jarot. Setelah itu, mereka menuju ruang kerja Rochmadi Saptogiri, auditor utama III--pejabat eselon I--yang membawahkan Kementerian Desa dalam audit.

KPK menduga uang Rp 40 juta untuk Ali itu tambahan atas Rp 200 juta yang diserahkan Jarot kepada Rochmadi pada awal Mei lalu. Menurut juru bicara KPK, Febri Diansyah, di brankas ruangan Rochmadi, para penyidik menemukan uang Rp 1,145 miliar dalam pecahan rupiah dan US$ 3.000 yang tersimpan dalam beberapa amplop.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menambahkan, uang Rp 240 juta sudah jelas merupakan uang suap. Sedangkan soal duit Rp 1,2 miliar di ruangan Rochmadi belum diketahui statusnya. "Kami masih mendalaminya," katanya pada Kamis pekan lalu.

|||

SELAMA dua tahun berturut-turut sejak 2014, laporan keuangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mendapat opini wajar dengan pengecualian (WDP) dari BPK. Artinya, masih ada pencatatan yang menyimpang dari standar akuntansi pemerintah.

Dalam dokumen hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan Kementerian Desa 2015, misalnya, auditor memberikan beberapa catatan. BPK menilai pejabat Kementerian tak menginventarisasi sejumlah aset dengan cermat. Catatan lain ada aset senilai Rp 5,09 triliun yang tak jelas. Ada juga utang tak jelas senilai Rp 378,46 miliar.

Dengan sejumlah catatan itu Kementerian Desa mendapat status WDP. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga hanya memberi nilai 53,97 atas kinerja kementerian tersebut, yang kala itu dipimpin kolega Eko di PKB, Marwan Jafar.

Menggantikan Marwan pada pertengahan tahun lalu, Eko segera tahu penyakit kementerian ini: manajemen. Menghabiskan karier di banyak perusahaan, Eko mengganti empat direktur jenderal yang ia nilai tak cakap dan menekankan pentingnya manajemen keuangan, terutama serapan anggaran. Dalam setiap rapat, ia selalu mengingatkan soal pencapaian itu.

Seorang pejabat di Kementerian Desa menuturkan, Eko berambisi agar kementeriannya beres dalam menyusun laporan keuangan. Dia menargetkan audit keuangan tahun 2016 naik peringkat dari WDP menjadi WTP. "Apa yang salah dengan itu?" kata Eko. "Saya ingin yang terbaik."

Agaknya keinginan Eko terlalu tinggi. Majalah Tempo pernah menulis ada banyak proyek fiktif pada 2016 yang terjadi di kementerian ini. Dalam dokumen audit tahun itu terdapat 122 proyek di Direktorat Pembangunan Sarana dan Prasarana Desa Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Ketika itu Direktur Jenderal Gunalan menyangkalnya. "Tidak ada proyek fiktif," tuturnya.

Seorang pejabat di Kementerian Desa menuturkan, status WTP akan menghapus jejak proyek-proyek fiktif tersebut. Inspektur Jenderal Sugito, yang seharusnya mengawasi dan menemukan penyimpangan itu, malah menjadi aktor untuk menutupinya. Dan ini bukan tanpa alasan.

Seperti diakui Menteri Eko, dengan statusnya sebagai inspektur jenderal, Sugito jadi sering berhubungan dengan para auditor di BPK, terutama Rochmadi, karena Kementerian Desa salah satu yang diawasinya. "Mereka sering bersinggungan," kata pejabat yang tak mau ditulis namanya itu.

Karena mendapat WTP itu cita-cita para pejabat di Kementerian Desa, penyidik KPK menemukan fakta unik bahwa uang untuk menyuap auditor BPK berasal dari saweran para pejabat eselon I. "Kami belum tahu apakah uang itu dari mereka sendiri atau dari rekanan kementerian," tutur Laode Syarif.

Yang rada terang, menurut Laode, suap itu sebagai imbalan untuk auditor yang menghilangkan proyek fiktif dan bermasalah yang akan menjadi temuan mereka. Ini modus paling lumrah dalam jual-beli status WTP. Dari banyak kasus serupa sebelumnya, suap diberikan agar auditor menghilangkan proyek fiktif berbau korupsi.

Masalahnya, kata Laode, status penilaian itu tak diputuskan oleh satu orang anggota atau satu auditor. BPK menggelar rapat pleno untuk menilai audit sebuah lembaga yang dikerjakan para auditor secara berjenjang. Penyidik KPK, kata dia, tengah menelisik peran atasan Rochmadi, anggota BPK yang dipilih oleh DPR. "Apakah itu atas persetujuan mereka atau tidak," ujarnya.

Eko Sandjojo pasrah jika ambisinya mendapat WTP di periode pertamanya sebagai Menteri Desa tercoreng karena anak buahnya memakai cara curang. "Apa boleh buat, saya percaya KPK, mereka tak mungkin salah," katanya.

Gadi Makitan, Anton Aprianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus