TIDAK kurang dari 256 jenazah tersusun berjajar di kamar mayat darurat bandar udara Gander, Newfoundland, Kanada. Dari sini korban kecelakaan DC-8 Kamis pekan lalu itu diangkut ke pangkalan militer di Dover, lalu ke Fort Campbell, Kentucky, AS. Tentang sisa-sisa, David Owen dari tim penyelidik kanada berkata, "Kami hanya punya sejumlah bagian tubuh." Mengapa? Soalnya, tim tidak tahu persis jumlah korban yang ditemukan. Satu bukti bahwa musibah yang terjadi sungguh dahsyat adanya. Ada saksi mata mengatakan, DC-8 yang nahas itu meledak di udara beberapa saat sesudah lepas landas. Yang lain memastikan pesawat mllik perusahaan carteran Arrow Airlines ini tiba-tiba saja jatuh, terempas ke hutan dan meledak. "Api ledakan cepat sekali padam," tutur Ann Hurley, yang melihat malapetaka di pagi buta itu. Pesawat kabarnya pecah berkeping-keping, begitu pula 248 tentara AS - tiga di antaranya wanita - dan delapan awak pesawat. Tercatat sebagai tragedi udara terbesar sepanjang sejarah militer AS, kecelakaan ini menewaskan 248 prajurit yang dipulangkan untuk libur Natal dari Jazirah Sinai, Mesir. Mereka ditempatkan bersama tentara dari 11 negara lainnya yang bertugas sebagai pasukan penyangga perdamaian. Ditempatkan di Sinai sejak Juli silam, mereka tergabung dalam Divisi Angkut Udara 101 yang bermarkas di Fort Campbell, Kentucky. Presiden Ronald Reagan dan istrinya Nancy terbang ke pangkalan itu khusus untuk menyambut jenazah korban, awal pekan ini. "Mereka pahlawan kita semasa hidup dan kekasih kita setelah mati. Mereka bahagia, mereka bernyanyi, mereka pulang kerumah," ucap Reagan terbata-bata di hadapan keluarga yang berduka cita. Ini adalah pukulan kedua terberat yang menonjok tentara AS sesudah ledakan truk bom di basis marinir dekat bandar udara Beirut, Libanon, 1984. Waktu itu 249 marinir tewas. Adapun rombongan dari Sinai yang bernasib malang itu bertolak Rabu malam dari bandar udara Kairo dengan DC-8 menuju Koln, Jerman Barat. Dari sini, mereka menyeberangi Atlantik dan mendarat satu jam di Gander, Kamis pagi, untuk mengisi bahan bakar. Beberapa saat sesudah lepas landas, sekitar 800 meter dari ujung landasan pacu, pesawat carteran itu jatuh. Presiden Mesir Husni Mubarak mengirim kawat belasungkawa, sementara kelompok Jihad Islam mengaku bertanggung jawab untuk kecelakaan itu. Seorang penelepon gelap di Beirut dengan bangga menjelaskan bahwa bom sebenarnya dirancang agar meledak setiba di AS. Tapi penundaan keberangkatan di sebuah pangkalan militer di Jerman Barat telah menyebabkan bom meledak di Kanada. "Sudah kami buktikan kebolehan kami untuk memukul tentara Amerika di mana saja," kata penelepon dari Komando Jihad itu yang mengaku bekerja sama dengan Perhimpunan Mesir Arab. Dua hari kemudian - juga lewat seorang penelepon gelap pihak yang mengaku dirinya Kelompok Revolusioner Mesir telah mengaku pula ikut bertanggung jawab. Katanya, kecelakaan udara itu adalah semacam peringatan pada AS yang masih akan terus diulang-ulang sampai Mesir membatalkan perjanjian Camp David. Sebagai jawaban tak langsung pada penelepon gelap, Menhan AS Caspar Weinberger dan juru bicara Gedung Putih Larry Speakes menandaskan bahwa sama sekali tidak ditemukan bukti-bukti sabotase. Tapi, menurut juru bicara dari Kanada Christianne Beallieu, sabotase bukanlah hal yang mustahil terjadi. Sementara itu, kotak rekaman penerbangan dan kotak rekaman kokpit belum dapat menjawab teka-teki kecelakaan, karena terbakar hangus sebagian. Sekalipun begitu, para ahli di Ottawa masih akan mempelajari kedua perekam, yang mungkin makan waktu lama. Sementara itu, beredar isu tentang prosedur pembersihan sayap dan lapisan es, yang tidak dilakukan di Gander karena tidak diminta pilot pesawat. Padahal, lapisan itu berbahaya sekali, karena menghalangi kelancaran arus udara hingga pesawat bisa kehilangan daya angkat dan jatuh. Hal lain yang dicurigai adalah DC-8 itu sendiri. Pada Juli dan November lampau, karena sebab-sebab mekanis, pesawat ini dua kali batal melakukan lepas landas. Ini diakui pihak perusahaan Arrow Airlines yang selama tahun 1984 melakukan sejumlah kelalaian hingga terpaksa membayar denda US$ 34.000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini