TAK ada presiden, tak ada menteri. Sewaktu muktamar dibuka di Tegal pekan lalu, gubernur pun tak ada. Hanya sekitar dua ribu simpatisan dan utusan dari 27 cabang memenuhi Gedung Pertemuan Al-Irsyad, tempat sambutan tertulis Menteri Dalam Negeri dibacakan. Namun, bila pertemuan ini penting, tak lain karena ia merupakan penentu - untuk sebuah organisasi yang punya tempat khas. Al-Irsyad memang bukan Muhammadiyah, yang mengakhiri muktamarnya di hari yang persls sama dengan saat mulainya muktamar Al-Irsyad, Rabu pekan lalu. Namun Irsyad, seperti dituturkan ketuanya, Geys Amar, "sealiran dengan Muhammadiyah, dan banyak anggotanya yang menjadi besar di Muhammadiyah." Menempuh perjalanan selama 71 tahun (hanya dua tahun lebih pendek dari Muhammadiyah yang berdiri 1912), Al-Irsyad adalah organisasi ketiga - sesudah Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam) - dari tiga serangkai kelompok tajdid (pembaruan) Islam. Di antara yang tiga itu memang Muhammadiyah yang jauh lebih besar. Adalah Syekh Ahmad bin Muhammad Assoorkaty, orang Sudan (lahir 1872) yang belajar di Madinah dan Mekkah, lalu datang ke Indonesia pada 1911. Itu karena Jamiat Khair, organisasi yang berdiri tiga tahun sebelum Budi Utomo, mengundangnya ke sini untuk menjadi guru. Tapi Soorkaty ternyata punya pemikiran berbeda: akrab dengan ajaran 'Abduh. Segera, ia menyerang hal yang dianggapnya penggolongan kasta orang-orang keturunan Arab di sini: tidak dibolehkannya perkawinan antara seorang "syarifah" (dari kelompok sayid dan habib atau 'Alawi alias keturunan 'Ali, yang berarti keturunan Nabi) dan pria dari luar. Ketika dimintai fatwa tentang seorang gadis "syarifah" yang dilarikan pemuda keturunan Cina, Soorkaty malah menyarankan keduanya dikawinkan saja, asal pemuda itu menjadi Muslim. Tentu, Soorkaty juga menyerang segala bentuk pemujaan kepada golongan 'Alawi atau pengeramatan kubur mereka. Pertentangan Soorkaty dengan para sayid - yang mendominasi Jamiat Khair - tak terelakkan lagi. Dan pertentangan itu sangat keras, bahkan selalu menimbulkan rasa tak enak bila dikenang sekarang ini. Soorkaty sudah keluar dari Jamiat Khair, lembaga yang mengundangnya itu, dan bahu- membahu dengan pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, menyebarkan Islam yang langsung bersumber pada Quran dan Hadis. Dengan para pedagang Arab yang bukan sayid, ia mendirikan Al-Irsyad di Jakarta, 1914. Sekolah pun mulai dibangun. Sedang segala aktivitas yang diwarnai ketidakakuran dengan para 'Alawi dicerminkan dalam anggaran dasar organisasi waktu itu, yang menyebut bahwa pengurus Al-Irsyad tidak boleh seorang sayid - seperti dituliskan Deliar Noer dalam Gerakan Moderen Islam di Indonesia - hal yang tentunya menusuk golongan terakhir itu. Makin banyak sekolah didirikan, makin banyak jumlah cabang, terutama di daerah pesisir utara Jawa. Namun, kesibukan Irsyad terutama di kalangan keturunan Arab tak urung meninggalkan kesan bahwa organisasi itu memang untuk kalangan mereka. Padahal, banyak sekali anggotanya yang pribumi. Apalagi Soorkaty sebenarnya masih memegang mazhab Syafi'i yang mayoritas di sini,dan tetap memperhitungkan pendapat para ulama klasik, meski mazhab itu "hanya dipergunakan sebagai pengantar bagi pemahaman Quran dan Hadis" - dengan kata lain tidak berhenti pada mazhab - seperti dituturkan Bisri Afandi, yang tesis masternya di McGill University, Montreal, Kanada, adalah tentang gerakan ini. Menurut Bisri, masa itu Soorkaty sudah mencanangkan "menyerap teknologi Barat" dalam pendidikan, yang masih ditentang oleh sekitar. Kata Hussein Abdullah Badjerei, sekjen Al-Irsyad, "Kami sudah memberikan pelajaran biologi, fisika, dan lain-lainnya di sekolah-sekolah kami" - agaknya lebih dahulu dari Muhammadiyah. Bahkan di tahun 1930-an berani menggunakan gambar manusia untuk peraga, padahal "dulu menggambar manusia dianggap haram". Ternyata, masa subur itu sulit dipertahankan lebih dari satu generasi. Pamor Irsyad segera surut setelah Soorkaty meninggal (1943), dan setelah "menghasilkan" para tokoh seperti ulama besar Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy atau Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Soorkaty tak punya pelanjut yang gigih. Kecuali di bidang pendidikan. Sekolah Al-Irsyad berkembang, dan umumnya menjadi sekolah favorit. Di Solo, masa itu, siapa yang tak kenal drum-band Al-Irsyad, misalnya. Bahkan di kota itu Al-Irsyad mempunyai universitas - yang kemudian hilang, tak tahan menghadapi teror PKI. Sekarang ini sekolah Al-Irsyad berjumlah 50 buah, sedang rumah sakit berdiri di Pekalongan, satu, dan satu lagi di Surabaya. Panti asuhan? Tidak. Panti asuhan itu mengelompokkan anak-anak telantar yang sebenarnya lebih baik dijadikan anak pungut atau "anak asuh", istilah sekarang. Pemantiasuhanan itu, menurut mereka, hanya akan menjadi ciri kebobrokan moral umat Islam. "Sampai kapan pun kami tak akan membukanya," kata Hussein Badjerei. Syahdan, ketergantungan Al-Irsyad pada profesi dagang para anggotanya barangkali merupakan sebab terpenting - yang formal - bagi kemunduran besar organisasi itu. Para pedagang kelas menengah, termasuk kalangan keturunan Arab terpukul. Batik dan kretek telah berganti pemilik. Akibatnya, seperti disebut Amak Baldjun, ketua pusat yang membawahkan Bidang Pendidikan, dana untuk membiayai sekolah mereka seret sekali. Sekolah-sekolah, yang masih tetap bagus, sudah sepenuhnya mengandalkan biaya dari para orangtua siswa (kecuali anak yang miskin, yang bisa gratis) dan bantuan sekitar. Penguasaan bahasa Arab di sini terhitung sangat mundur. Tak ada lagi Soorkaty. Tak ada lagi uang. Sayid atau bukan sayid sudah bukan persoalan. Zaman akan terus membawa pembauran segala kalangan. Menggambar manusia sudah bukan problem, juga teknologi Barat. Al-Irsyad, yang tak tahu berapa jumlah anggotanya, sudah menebarkan satu atmosfer, dan seakan-akan selesai. Penting: muktamar barusan itu berniat menghidupkannya kembali, dengan jalan mempreteli tubuhnya menjadi organisasi khusus pendidikan dan sosial. Zaim Uchrowi Laporan Yusro M.S. (Semarang) & Choirul Anam (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini