Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Muslim, misuari dan otonomi

Banyak bangsa menjajah filipina. tapi orang moro selalu melawan. nur misuari, pemimpin moro ingin otonomi. tapi marcos tetap tak mau melepas wilayah terpecah.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU kebijaksanaan yang salah bisa berekor 400 tahun. Dan ini terutama terjadi di Pilipina. Orang-orang Spanyol tiba di kepulauan yang ubur itu, dan seperti yang juga mereka lakukan di Amerika, mereka merebut tanah sambil memancangkan lambang salib. Itu memang zaman ketika toleransi agama hampir dianggap dosa - kelanjutan dari perang Protestan vs Katolik di Eropa dan kecongkakan suatu peradaban yang membawa bedil dan ajaran besar. Dengan segera Pilipina bukan saja hanya jadi bagian paling Nasrani di Asia. Ia juga bagian dari kolonialisme yang paling keras dalam memandang penduduk pribumi yang bukan-Kristen. Dalam sikap itulah Spanyol menghadapi suku-suku di bagian selatan Pilipina. Mereka yang Islam ini melawan. Di bawah pimpinan berbagai orang sultan, orang-orang yang oleh bangsa Spanyol disebut "Moro" ini (seperti bangsa Mur yang Islam di Afrika Utara, juga musuh Spanyol) bertahan terus selama 300 tahun. Tak kunjung dijajah, mereka tak mengambil peradaban yang dibawa dari Eropa itu. Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, mereka diangap "terkebelakang". Ketika Spanyol dikalahkan Amerika Serikat dan Pilipina diambil-alih oleh negeri berteknologi unggul ini, orang-orang Moro kurang-lebih tetap berkedudukan dan bersikap sama. Mereka tak sepenuhnya bisa mengasimilasikan diri dengan kebudayaan modern yang laku keras di seluruh negeri, terutama bagian Utara. Orang-orang Amerika membawa pendidikan sekolah, semangat demokrasi, mesin dan juga kemewahan abad ke-20, tapi orang-orang Moro tak ikut ke situ. Kebudayaan mereka mungkin lebih berciri adat setempat daripada Islam sebagai yang difahami oleh kaum Muslimin modernis. Di situ berperanlah para datu. Para pemimpin tradisionil ini sering dianggap sebagai penghambat kemajuan orang-orang Moro. Para datu itulah yang memanfaatkan tanah milik bersama, menghentikan setiap kemungkinan kritik terhadap hak-hak istimewa mereka dan bahkan mengkorupsikan bantuan uang dari pemerintah pusat (yang tak begitu banyak itu) buat orang Moro. Dalam keadaan sedemikian, orang-orang di selatan biasa dianggap remeh oleh orang-orang kristen dari Utara, yang berpendidikan Barat. Mereka datang ke selatan dan menguasai ekonomi, bankan pemilikan tanah. Orang Moro dengan segera jadi warga negara kelas kampung. Perbenturan kebudayaan pun terjadi. Tapi pergeseran kebudayaan itu, selain menimbulkan api, juga pengaruh. Di antara orang Moro kemudian banyak yang mengambil pendidikan di Utara. N ur Misuari sendiri lulusau University of the Philipines. Ia bahkan dikenal sebagai Marxis - yang mungkin ada tercermin dari nama gerakannya: Front Nasional Pembebasan Moro, walaupun nama ini bisa juga untuk sekedar keren. Misuari bukanlah pembebek adat. Ia yang pernah bekerja sama dengan para datu menentang kedudukan turun-menurun dari para datu. Dan dengan kepandaiannya pula, masalah diselatan itu jadi masalah internasional. Gerakm memisahkan diri yang di tahun 1968 bermula karena sakit hati seorang tokoh Muslim di Mindanao ini memang kemudian meledak. Orang-orang Ilaga, para bandit bersenjata dan puak-puak tak beragama yang di pimpin "Komandan Tusukgigi", menghantam orang-orang Moro. Tentara Pilipina sendiri ikut bersalah: 1971, di Lanao de Morte, 40 orang Islam tak bersenjata ditembaki. Merasa terancam, orang Moro menolak untuk menyerahkan senjata ketika Marcos mengumumkan keadaan darurat perang September 1972. Dengan dibantu Libya melalui jasa Tun Mustapha di Sabah, FNPM kian kuat - meskipun Misuari berada jauh di Tripoli. Yang mungkin jadi masalah orang-orang Islam di selatan ialah bagaimana mereka yang bukan pendukung FNPM harus bersikap. Beberapa orang Muslim yang jadi walikota - dan tentunya lebih dekat kepada pemerintah pusat di Manila ketimbang kepada para gerilyawan -- mulai berbicara. Konsep "otonomi" mereka kabarnya tidak sama dengan konsep FNPM, yang memang tak menyenangkan Manila. Tapi mungkin FNPM tak bisa percaya kepada Manila lagi. Gerakan ini tahu bahwa wilayah selatan sungguh subur, tapi buta huruf dan gejala kekurangan gizi merajalela. Dalam strateginya, FNPM menuntut agar semua propinsi dalam Daerah IX dan XII masuk bagian wilayah otonomi kaum Moro. Di Daerah IX diperkirakan ada mengandung emas, tembaga di samping menghasilkan minyak kelapa, plywood hasil laut yang belum dimanfaatkan. Daerah XII - di sini termasuk propinsi Maguindanao, di mana terletak Cotabato City - kaya oleh hasil pertanian, terutama padi. Salah satu propinsi lain yang dikehendaki dalam otonomi Moro ialah Palawan. Hanya 20.000 penduduknya beragama Islam (jumlah penduduk seluruhnya 300.000) tapi propinsi ini diduga mengandung minyak. Tapi Presiden Marcos sudah menandaskan bahwa apapun bentuk otonomi yang diselenggarakan, masalah eksplorasi pencarian minyak tetap jadi urusan pemerintah nasional di Manila.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus