SUATU kebijaksanaan yang salah bisa berekor 400 tahun. Dan ini
terutama terjadi di Pilipina. Orang-orang Spanyol tiba di
kepulauan yang ubur itu, dan seperti yang juga mereka lakukan di
Amerika, mereka merebut tanah sambil memancangkan lambang salib.
Itu memang zaman ketika toleransi agama hampir dianggap dosa -
kelanjutan dari perang Protestan vs Katolik di Eropa dan
kecongkakan suatu peradaban yang membawa bedil dan ajaran
besar.
Dengan segera Pilipina bukan saja hanya jadi bagian paling
Nasrani di Asia. Ia juga bagian dari kolonialisme yang paling
keras dalam memandang penduduk pribumi yang bukan-Kristen. Dalam
sikap itulah Spanyol menghadapi suku-suku di bagian selatan
Pilipina. Mereka yang Islam ini melawan. Di bawah pimpinan
berbagai orang sultan, orang-orang yang oleh bangsa Spanyol
disebut "Moro" ini (seperti bangsa Mur yang Islam di Afrika
Utara, juga musuh Spanyol) bertahan terus selama 300 tahun. Tak
kunjung dijajah, mereka tak mengambil peradaban yang dibawa dari
Eropa itu.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, mereka diangap
"terkebelakang". Ketika Spanyol dikalahkan Amerika Serikat dan
Pilipina diambil-alih oleh negeri berteknologi unggul ini,
orang-orang Moro kurang-lebih tetap berkedudukan dan bersikap
sama. Mereka tak sepenuhnya bisa mengasimilasikan diri dengan
kebudayaan modern yang laku keras di seluruh negeri, terutama
bagian Utara. Orang-orang Amerika membawa pendidikan sekolah,
semangat demokrasi, mesin dan juga kemewahan abad ke-20, tapi
orang-orang Moro tak ikut ke situ.
Kebudayaan mereka mungkin lebih berciri adat setempat daripada
Islam sebagai yang difahami oleh kaum Muslimin modernis. Di situ
berperanlah para datu. Para pemimpin tradisionil ini sering
dianggap sebagai penghambat kemajuan orang-orang Moro. Para datu
itulah yang memanfaatkan tanah milik bersama, menghentikan
setiap kemungkinan kritik terhadap hak-hak istimewa mereka dan
bahkan mengkorupsikan bantuan uang dari pemerintah pusat (yang
tak begitu banyak itu) buat orang Moro.
Dalam keadaan sedemikian, orang-orang di selatan biasa dianggap
remeh oleh orang-orang kristen dari Utara, yang berpendidikan
Barat. Mereka datang ke selatan dan menguasai ekonomi, bankan
pemilikan tanah. Orang Moro dengan segera jadi warga negara
kelas kampung. Perbenturan kebudayaan pun terjadi.
Tapi pergeseran kebudayaan itu, selain menimbulkan api, juga
pengaruh. Di antara orang Moro kemudian banyak yang mengambil
pendidikan di Utara. N ur Misuari sendiri lulusau University of
the Philipines. Ia bahkan dikenal sebagai Marxis - yang mungkin
ada tercermin dari nama gerakannya: Front Nasional Pembebasan
Moro, walaupun nama ini bisa juga untuk sekedar keren.
Misuari bukanlah pembebek adat. Ia yang pernah bekerja sama
dengan para datu menentang kedudukan turun-menurun dari para
datu. Dan dengan kepandaiannya pula, masalah diselatan itu jadi
masalah internasional. Gerakm memisahkan diri yang di tahun 1968
bermula karena sakit hati seorang tokoh Muslim di Mindanao ini
memang kemudian meledak. Orang-orang Ilaga, para bandit
bersenjata dan puak-puak tak beragama yang di pimpin "Komandan
Tusukgigi", menghantam orang-orang Moro. Tentara Pilipina
sendiri ikut bersalah: 1971, di Lanao de Morte, 40 orang Islam
tak bersenjata ditembaki. Merasa terancam, orang Moro menolak
untuk menyerahkan senjata ketika Marcos mengumumkan keadaan
darurat perang September 1972. Dengan dibantu Libya melalui jasa
Tun Mustapha di Sabah, FNPM kian kuat - meskipun Misuari berada
jauh di Tripoli.
Yang mungkin jadi masalah orang-orang Islam di selatan ialah
bagaimana mereka yang bukan pendukung FNPM harus bersikap.
Beberapa orang Muslim yang jadi walikota - dan tentunya lebih
dekat kepada pemerintah pusat di Manila ketimbang kepada para
gerilyawan -- mulai berbicara. Konsep "otonomi" mereka kabarnya
tidak sama dengan konsep FNPM, yang memang tak menyenangkan
Manila.
Tapi mungkin FNPM tak bisa percaya kepada Manila lagi. Gerakan
ini tahu bahwa wilayah selatan sungguh subur, tapi buta huruf
dan gejala kekurangan gizi merajalela. Dalam strateginya, FNPM
menuntut agar semua propinsi dalam Daerah IX dan XII masuk
bagian wilayah otonomi kaum Moro. Di Daerah IX diperkirakan ada
mengandung emas, tembaga di samping menghasilkan minyak kelapa,
plywood hasil laut yang belum dimanfaatkan. Daerah XII - di sini
termasuk propinsi Maguindanao, di mana terletak Cotabato City -
kaya oleh hasil pertanian, terutama padi.
Salah satu propinsi lain yang dikehendaki dalam otonomi Moro
ialah Palawan. Hanya 20.000 penduduknya beragama Islam (jumlah
penduduk seluruhnya 300.000) tapi propinsi ini diduga mengandung
minyak. Tapi Presiden Marcos sudah menandaskan bahwa apapun
bentuk otonomi yang diselenggarakan, masalah eksplorasi
pencarian minyak tetap jadi urusan pemerintah nasional di
Manila.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini