PRESIDEN Marcos boleh senyum sejak pekan lalu - sebentar.
Referendum yang menentukan nasib penduduk Pilipina Selatan,
seluruhnya 10 juta, 17 April yang lalu jadi diadakan. Pernah
rencana itu gagal, dan ditunda sebulan. Kini soalnya ialah apa
sesudah referendum.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rakyat di ke-13 propinsi
itu menolak untuk menjadikan semua propinsi itu satu wilayah
otonomi. Hanya kira-kira sepersembilan suara yang menyetujui.
Adakah itu berarti sebagian besar rakyat menolak pula niat kaum
gerilyawan Moro yang mengibarkan panji-panji Islam di bawah
Front Nasional Pembebasan Moro (FNPM)? Agaknya begitu. Tapi FNPM
sendiri memboikot referendum itu. Dan Dutabesar Libya Mustaffa
Dreiza beberapa jam sesudahnya menyatakan tak menganggap
referendum itu sesuai dengan pengertian Presiden Libya Gaddafi
tentang usul penyelesaian soal Pilipina bagian Selatan yang
disetujui bersama dengan Presiden Marcos. Persetujuan itu,
menurut Dreiza, menggariskan bahwa referendum hanya
mempersoalkan pengaturan administratif dari otonomi buat ke-13
propinsi.
Tiga hari setelah referendum, delegasi 17 orang yang mewakili 42
negeri peserta Konperensi Islam pun tiba di Manila. Esok
harinya, Kamis pekan lalu, mereka menyatakan, bahwa FNPM-lah
"satu-satunya wakil sah" untuk mencapai penyelesaian pergolakan
orang Islam di Selatan yang telah berlangsung selama 4 tahun
itu. Tapi delegasi yang diketuai Ali Treki dari Libya itu lewat
jurubicaranya menyatakan tak akan mendiskusikan hasil referendum
17 April dengan pemerintah Pilipina. Yang akan didiskusikan
ialah hal-hal yang menyangkut masalah pemberian otonomi kepada
ke 13 propinsi - dengan harapan bahwa FNPM akan ikut serta
benar-benar dalam pemerintahan. Jadi: apa pun hasil referendum,
otonomi harus tetap terus dengan FNPM di dalaunnya.
Masalah otonomi itu sendiri sebetulnya bukan sesuatu yang
dielakkan Marcos. Sekitar dua pekan sebelum hari referendum ia
sudah bicara selama lima jam di televisi. Ia meyakinkan rakyat
Pilipina - dengan gaya bapak yang serba tahu - bahwa otonomi
yang telah dijanjikannya kepada propinsi-propinsi di Selatan itu
tetap menjamin adanya kontrol dari pemerintah pusat. Tak akan
ada soal tentang para pemberontak Muslim yang akan menjalankan
negara mereka sendiri, katanya - yang berarti bahwa hal itu tak
akan terjadi. Orang Kristen di selatan, yang jumlahnya lebih
besar ketimbang "saudara-saudaranya" orang Muslim, boleh tidur
nyenyak, kata Marcos.
Itu adalah penjelasan Marcos atas proklamasinya 26 Maret yang
lalu. Dalam proklamasi itu, ia memberikan "otonomi" kepada ke-13
propinsi di Selatan dan mendirikan satu pemerintahan sementara
untuk wilayah yang merupakan seperempat dari Republik Pilipina
itu (yang berpropinsi sebanyak 55 buah). Bagaimana reaksi pihak
FNPM, tak diketahui pasti. Hanya kemudian dikabarkan bahwa
pemimpin pemberontak, Nur Misuari, setuju untuk ikut serta dalam
pemerintahan sementara itu. Tapi adakah ia setuju pada perlunya
referendum, masih jadi tanda tanya besar.
Referendum adalah alat Marcos yang efektif. Sejak ia menyatakan
Pilipina di bawah undang-undang bahaya perang, Marcos biasa
melintasi prosedur perwakilan rakyat dan langsung bertanya
kepada rakyat - dengan hasil ia selalu dapat suara "ya". Dalam
kasus otonomi untuk Pilipina Selatan, gerakan Nur Misuari bahkan
bisa tambah tak enak, karena dari 10 juta penduduk wilayah itu
sebagian besar adalah orang Kristen. Memang, Marcos kabarnya
mengundang wakil FNPM untuk ikut merumuskan pertanyaan buat
referendum ltu. Tapi buat apa sebetulnya pemungutan suara,
kalau Marcos toh sudah memproklamasikan suatu otonomi?
Marcos mungkin ingin menunjukkan, bahwa Front Nasional
Pembebasan Moro bukanlah faktor penting - dan bila ia memberi
otonomi untuk selatan, maka itu bukanlah hasil yang didiktekan
kepadanya. Ia menyatakan bahwa pada akhirnya setiap propinsi
akan memperoleh satu derajat swa-tantra, di bawah rencananya
untuk mendirikan wilayah-wilayah otonom di seluruh Republik.
APA artinya hal itu, belum jelas. Dan tambah tak jelas lagi
bagaimana kedudukan FNPM di masa depan di bawah rencana Marcos
itu. Mungkin itulah sebabnya delegasi Konperensi Islam pekan
lalu itu tak begitu mengacuhkan soal referendum - dan meneguhkan
dukungan mereka kepada FNPM.
Kini, untuk kesekian kalinya masalah Moro ternyata harus
kembali ke meja perundingan internasional. Tergantung kepada
Marcos sejauh mana ia akan bilang bahwa ini semua semata-mata
"urusan dalam negeri" Pilipina. Ia tentu saja dapat menghardik
demikian - tapi mungkin sudah terlambat dan tak meyakinkan.
Sebab sejak Desember 1976, pemerintah Pilipina dengan resmi
menjadikan masalah ke-13 propinsi Pilipina di bagian selatan
sebagai juga urusan Kol. Gaddafi dari Libya.
Pada mulanya adalah ancaman embargo minyak, 1973, oleh
negara-negara Arab. Minyak merupakan 95% dari selutuh kebutuhan
enersi Pilipina. dan Marcos sudah tentu gentar. Maka Carlos
Romula pergi ke Jeddah ketemu dengan Raja Feisal, kenalannya
lama. Ketika Feisal wafat, dan diganti Khaled yang sakit
jantung, Imelda-lah yang muncul. Nyonya Marcos, ditemani oleh
dua orang dokter Pilipina yang pernah mengoperasi jantung raja
Arab itu, menemui Khaled.
Kemudian adalah Konperensi Non-Blok di Kolombo, Sri Langka. Dua
utusan Pilipina - yang hanya serta sebagai peninjau --
menghubungi utusan Libya yang dipimpin Kol. Gaddafi sendiri.
Mereka percaya, bahwa setelah gerilyawan Islam di selatan itu
tak lagi dapat bantuan Tun Mustapha dari Sabah, mereka dapat
bantuan dari Tripoli. Walaupun, menurut sebuah anekdot Kol.
Gaddafi sendiri tak tahu di mana persisnya letak Sabah atau
Mindanao.
Dalam kontak itu, menurut sumber Pilipina, Presiden Marcos
mengundang Gadaffi buat datang menyaksikan sendiri keadaan
Mindanao, di mana minoritas Islam menyatakan menuntut
kemerdekaan. Gaddafi yang jadi pria paling ganteng dalam
Konperensi Non-Blok, tidak mau begitu saja. Ialah yang
mengundang Presiden Marcos dan nyonyanya ke Tripoli. Marcos
dengan cepat memanfaatkan hasil pancingannya. Ia mengirim
isterinya yang cantik, Imelda, ke negeri di Afrika yang dipimpin
sejumlah pria muda itu.
Imelda tak cuma cantik. Ia sudah berpengalaman dengan diplomasi
tingkat tinggi - antara lain ketemu Mao. Tapi Tripoli bukan kota
yang sudah biasa berbasa-basi dengan tamu agung wanita yang
sangat sadar akan kemolekannya. Tanpa upacara, Imelda dijemput
PM Libya Abdul Salam Jalloud. Mereka berbicara -- dengan sedikit
sekali ramah tamah - selama dua jam. Tak ada hasil, sebab pihak
Libya menekankan perlunya Manila meluluskan permintaan kaum
Muslimin di selatan. Juga tak ada hasil ketika Gaddafi sendiri
kemudian menemui Imelda -- dam satu pertemuan di markas
tentara. Presiden Libya itu meminta agar Front Nasional.
Pembebasan Moro disebut dalam komunike bersama sebagai setaraf
dengan pemerintah Pilipina. Pihak Pilipina berkeberatan.
Baru setelah Imelda hampir pulang sia-sia, Gaddafi mengalah. Ia
mengundang Imelda ke rumahnya yang bersahaja, di mana suasana
lebih bersahabat. Senyuman terlihat lebar, bahkan konon Imelda
bernyanyi untuk Gaddafi. Pihak Libya ternyata memang kemudian
mau meneken komunike bersama tanpa menyebut soal FNPM, sebagai
yang dikehendaki pihak Pilipina. Tapi perjanjian di Tripoli
itulah awal mulanya secara resmi negeri-negeri lain masuk ke
dalam soal Moro, Gencatan senjata disetujui, dengan pengawasan
oleh Komite Konperensi Islam, di samping oleh wakil pemerintah
Manila dan FNPM.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada lanjutan kabar bagaimana
hasil pembicaraan antara Marcos dengan para delegasi negeri
Islam yang ada di Manila kini. Mungkin sekali Marcos akan
menegaskan soal "kedaulatan nasional" Pilipina. Sebuah sumber di
Manila menyatakan, bahwa Pemerintah Pilipina telah sejak
beberapa minggu yang lalu menyiapkan satu naskah pernyataan. Isi
pokoknya menyatakan, bahwa Konperensi Islam tidak dapat
memaksakan kehendaknya melalui keputusannya tentang negeri mana
pum Manila ingin mengingatkan prinsip ulltuk tidak melakukan
campur-tangan ke dalam negeri lain. Dalam Deklarasi Puncak di
Rabat tahun 1969 para anggota pertemuan negen Islam itu menolak
adanya intervensi ke dalam urusan dalam negeri sesama anggota.
Dan meskipun (atau apalagi karena?) Pilipina bukan angguta,
jangan hendaknya urusan dalam negerinya dicampur-tangani.
Bagi sementara negeri Islam, dan terutama Libya, soalnya tentu:
jika orang Muslim yang berperang sebagai minoritas tertindas itu
tidak ada yang menolong, apa jadinya nasib mereka? Pilipina
sendiri masih harus menghadapi suatu kemungkinan lain:
kemungkinan munculnya apa yang disebut "gerilyawan kristen" --
yang akan meledakkan propinsi di Selatan itu jadi semacam
Libanon di Asia Tenggara. Takut oleh desas-desus dan selebaran
tentang cita-cita "Islam" orang Moro, yang katanya akan
mendirikan negeri sendiri tanpa toleransi beragama, sejumlah
orang Kristen mempersenjatai diri. Walikota Kiamba di selatan
Cotabato dikabarkan sudah bergerak di bawah tanah untuk
membangun "tentara" Kristen.
Desas-desus tentang cita-cita "Islam" yang seram itu belum tentu
benar dari dokumen FNPM. Mungkin ada dokumen palsu untuk
mendiskreditkan gagasan "otonomi" yang sejati. Benar atau tidak,
bila terjadi pertempuran antara golongan agama di selatan, orang
Muslimin bisa terpojok. Mereka kecil jumlahnya. Ini bisa
mengundang bantuan diam-diam dari negeri seperti Libya.
Beruntung, bahwa Libya jauh. Pilipina punya tetangga seperti
Malaysia dan Indonesia, yang meskipun mayoritas penduduknya
Islam, tapi pemerintahnya bersahabat dengan Marcos. Sementara
itu para tetangga ini sendiri punya alasan untuk cemas terhadap
setiap gejala separatisme dan pertentangan agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini