Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Akan berperangkah golongan ...

Penduduk filipina selatan menolak menjadikan semua 13 propinsi ke dalam satu wilayah otonom. disampaikan dalam referendum pertengah april lalu yang tidak diikuti fnpm.reaksi fnpm belum diketahui.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Marcos boleh senyum sejak pekan lalu - sebentar. Referendum yang menentukan nasib penduduk Pilipina Selatan, seluruhnya 10 juta, 17 April yang lalu jadi diadakan. Pernah rencana itu gagal, dan ditunda sebulan. Kini soalnya ialah apa sesudah referendum. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rakyat di ke-13 propinsi itu menolak untuk menjadikan semua propinsi itu satu wilayah otonomi. Hanya kira-kira sepersembilan suara yang menyetujui. Adakah itu berarti sebagian besar rakyat menolak pula niat kaum gerilyawan Moro yang mengibarkan panji-panji Islam di bawah Front Nasional Pembebasan Moro (FNPM)? Agaknya begitu. Tapi FNPM sendiri memboikot referendum itu. Dan Dutabesar Libya Mustaffa Dreiza beberapa jam sesudahnya menyatakan tak menganggap referendum itu sesuai dengan pengertian Presiden Libya Gaddafi tentang usul penyelesaian soal Pilipina bagian Selatan yang disetujui bersama dengan Presiden Marcos. Persetujuan itu, menurut Dreiza, menggariskan bahwa referendum hanya mempersoalkan pengaturan administratif dari otonomi buat ke-13 propinsi. Tiga hari setelah referendum, delegasi 17 orang yang mewakili 42 negeri peserta Konperensi Islam pun tiba di Manila. Esok harinya, Kamis pekan lalu, mereka menyatakan, bahwa FNPM-lah "satu-satunya wakil sah" untuk mencapai penyelesaian pergolakan orang Islam di Selatan yang telah berlangsung selama 4 tahun itu. Tapi delegasi yang diketuai Ali Treki dari Libya itu lewat jurubicaranya menyatakan tak akan mendiskusikan hasil referendum 17 April dengan pemerintah Pilipina. Yang akan didiskusikan ialah hal-hal yang menyangkut masalah pemberian otonomi kepada ke 13 propinsi - dengan harapan bahwa FNPM akan ikut serta benar-benar dalam pemerintahan. Jadi: apa pun hasil referendum, otonomi harus tetap terus dengan FNPM di dalaunnya. Masalah otonomi itu sendiri sebetulnya bukan sesuatu yang dielakkan Marcos. Sekitar dua pekan sebelum hari referendum ia sudah bicara selama lima jam di televisi. Ia meyakinkan rakyat Pilipina - dengan gaya bapak yang serba tahu - bahwa otonomi yang telah dijanjikannya kepada propinsi-propinsi di Selatan itu tetap menjamin adanya kontrol dari pemerintah pusat. Tak akan ada soal tentang para pemberontak Muslim yang akan menjalankan negara mereka sendiri, katanya - yang berarti bahwa hal itu tak akan terjadi. Orang Kristen di selatan, yang jumlahnya lebih besar ketimbang "saudara-saudaranya" orang Muslim, boleh tidur nyenyak, kata Marcos. Itu adalah penjelasan Marcos atas proklamasinya 26 Maret yang lalu. Dalam proklamasi itu, ia memberikan "otonomi" kepada ke-13 propinsi di Selatan dan mendirikan satu pemerintahan sementara untuk wilayah yang merupakan seperempat dari Republik Pilipina itu (yang berpropinsi sebanyak 55 buah). Bagaimana reaksi pihak FNPM, tak diketahui pasti. Hanya kemudian dikabarkan bahwa pemimpin pemberontak, Nur Misuari, setuju untuk ikut serta dalam pemerintahan sementara itu. Tapi adakah ia setuju pada perlunya referendum, masih jadi tanda tanya besar. Referendum adalah alat Marcos yang efektif. Sejak ia menyatakan Pilipina di bawah undang-undang bahaya perang, Marcos biasa melintasi prosedur perwakilan rakyat dan langsung bertanya kepada rakyat - dengan hasil ia selalu dapat suara "ya". Dalam kasus otonomi untuk Pilipina Selatan, gerakan Nur Misuari bahkan bisa tambah tak enak, karena dari 10 juta penduduk wilayah itu sebagian besar adalah orang Kristen. Memang, Marcos kabarnya mengundang wakil FNPM untuk ikut merumuskan pertanyaan buat referendum ltu. Tapi buat apa sebetulnya pemungutan suara, kalau Marcos toh sudah memproklamasikan suatu otonomi? Marcos mungkin ingin menunjukkan, bahwa Front Nasional Pembebasan Moro bukanlah faktor penting - dan bila ia memberi otonomi untuk selatan, maka itu bukanlah hasil yang didiktekan kepadanya. Ia menyatakan bahwa pada akhirnya setiap propinsi akan memperoleh satu derajat swa-tantra, di bawah rencananya untuk mendirikan wilayah-wilayah otonom di seluruh Republik. APA artinya hal itu, belum jelas. Dan tambah tak jelas lagi bagaimana kedudukan FNPM di masa depan di bawah rencana Marcos itu. Mungkin itulah sebabnya delegasi Konperensi Islam pekan lalu itu tak begitu mengacuhkan soal referendum - dan meneguhkan dukungan mereka kepada FNPM. Kini, untuk kesekian kalinya masalah Moro ternyata harus kembali ke meja perundingan internasional. Tergantung kepada Marcos sejauh mana ia akan bilang bahwa ini semua semata-mata "urusan dalam negeri" Pilipina. Ia tentu saja dapat menghardik demikian - tapi mungkin sudah terlambat dan tak meyakinkan. Sebab sejak Desember 1976, pemerintah Pilipina dengan resmi menjadikan masalah ke-13 propinsi Pilipina di bagian selatan sebagai juga urusan Kol. Gaddafi dari Libya. Pada mulanya adalah ancaman embargo minyak, 1973, oleh negara-negara Arab. Minyak merupakan 95% dari selutuh kebutuhan enersi Pilipina. dan Marcos sudah tentu gentar. Maka Carlos Romula pergi ke Jeddah ketemu dengan Raja Feisal, kenalannya lama. Ketika Feisal wafat, dan diganti Khaled yang sakit jantung, Imelda-lah yang muncul. Nyonya Marcos, ditemani oleh dua orang dokter Pilipina yang pernah mengoperasi jantung raja Arab itu, menemui Khaled. Kemudian adalah Konperensi Non-Blok di Kolombo, Sri Langka. Dua utusan Pilipina - yang hanya serta sebagai peninjau -- menghubungi utusan Libya yang dipimpin Kol. Gaddafi sendiri. Mereka percaya, bahwa setelah gerilyawan Islam di selatan itu tak lagi dapat bantuan Tun Mustapha dari Sabah, mereka dapat bantuan dari Tripoli. Walaupun, menurut sebuah anekdot Kol. Gaddafi sendiri tak tahu di mana persisnya letak Sabah atau Mindanao. Dalam kontak itu, menurut sumber Pilipina, Presiden Marcos mengundang Gadaffi buat datang menyaksikan sendiri keadaan Mindanao, di mana minoritas Islam menyatakan menuntut kemerdekaan. Gaddafi yang jadi pria paling ganteng dalam Konperensi Non-Blok, tidak mau begitu saja. Ialah yang mengundang Presiden Marcos dan nyonyanya ke Tripoli. Marcos dengan cepat memanfaatkan hasil pancingannya. Ia mengirim isterinya yang cantik, Imelda, ke negeri di Afrika yang dipimpin sejumlah pria muda itu. Imelda tak cuma cantik. Ia sudah berpengalaman dengan diplomasi tingkat tinggi - antara lain ketemu Mao. Tapi Tripoli bukan kota yang sudah biasa berbasa-basi dengan tamu agung wanita yang sangat sadar akan kemolekannya. Tanpa upacara, Imelda dijemput PM Libya Abdul Salam Jalloud. Mereka berbicara -- dengan sedikit sekali ramah tamah - selama dua jam. Tak ada hasil, sebab pihak Libya menekankan perlunya Manila meluluskan permintaan kaum Muslimin di selatan. Juga tak ada hasil ketika Gaddafi sendiri kemudian menemui Imelda -- dam satu pertemuan di markas tentara. Presiden Libya itu meminta agar Front Nasional. Pembebasan Moro disebut dalam komunike bersama sebagai setaraf dengan pemerintah Pilipina. Pihak Pilipina berkeberatan. Baru setelah Imelda hampir pulang sia-sia, Gaddafi mengalah. Ia mengundang Imelda ke rumahnya yang bersahaja, di mana suasana lebih bersahabat. Senyuman terlihat lebar, bahkan konon Imelda bernyanyi untuk Gaddafi. Pihak Libya ternyata memang kemudian mau meneken komunike bersama tanpa menyebut soal FNPM, sebagai yang dikehendaki pihak Pilipina. Tapi perjanjian di Tripoli itulah awal mulanya secara resmi negeri-negeri lain masuk ke dalam soal Moro, Gencatan senjata disetujui, dengan pengawasan oleh Komite Konperensi Islam, di samping oleh wakil pemerintah Manila dan FNPM. Sampai berita ini diturunkan, belum ada lanjutan kabar bagaimana hasil pembicaraan antara Marcos dengan para delegasi negeri Islam yang ada di Manila kini. Mungkin sekali Marcos akan menegaskan soal "kedaulatan nasional" Pilipina. Sebuah sumber di Manila menyatakan, bahwa Pemerintah Pilipina telah sejak beberapa minggu yang lalu menyiapkan satu naskah pernyataan. Isi pokoknya menyatakan, bahwa Konperensi Islam tidak dapat memaksakan kehendaknya melalui keputusannya tentang negeri mana pum Manila ingin mengingatkan prinsip ulltuk tidak melakukan campur-tangan ke dalam negeri lain. Dalam Deklarasi Puncak di Rabat tahun 1969 para anggota pertemuan negen Islam itu menolak adanya intervensi ke dalam urusan dalam negeri sesama anggota. Dan meskipun (atau apalagi karena?) Pilipina bukan angguta, jangan hendaknya urusan dalam negerinya dicampur-tangani. Bagi sementara negeri Islam, dan terutama Libya, soalnya tentu: jika orang Muslim yang berperang sebagai minoritas tertindas itu tidak ada yang menolong, apa jadinya nasib mereka? Pilipina sendiri masih harus menghadapi suatu kemungkinan lain: kemungkinan munculnya apa yang disebut "gerilyawan kristen" -- yang akan meledakkan propinsi di Selatan itu jadi semacam Libanon di Asia Tenggara. Takut oleh desas-desus dan selebaran tentang cita-cita "Islam" orang Moro, yang katanya akan mendirikan negeri sendiri tanpa toleransi beragama, sejumlah orang Kristen mempersenjatai diri. Walikota Kiamba di selatan Cotabato dikabarkan sudah bergerak di bawah tanah untuk membangun "tentara" Kristen. Desas-desus tentang cita-cita "Islam" yang seram itu belum tentu benar dari dokumen FNPM. Mungkin ada dokumen palsu untuk mendiskreditkan gagasan "otonomi" yang sejati. Benar atau tidak, bila terjadi pertempuran antara golongan agama di selatan, orang Muslimin bisa terpojok. Mereka kecil jumlahnya. Ini bisa mengundang bantuan diam-diam dari negeri seperti Libya. Beruntung, bahwa Libya jauh. Pilipina punya tetangga seperti Malaysia dan Indonesia, yang meskipun mayoritas penduduknya Islam, tapi pemerintahnya bersahabat dengan Marcos. Sementara itu para tetangga ini sendiri punya alasan untuk cemas terhadap setiap gejala separatisme dan pertentangan agama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus