Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Suara Para Sopir

Beberapa sopir berkomentar tentang penyebab kecelakaan, A.L: ngantuk, pecah ban dalam kecepatan tinggi, sopir yang belum mengenal sifat mobil yang dibawanya & pungli yang memaksa sopir mengejar duit.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA sopir tidak cuma menderita sakit wazir, sebagaimana sering terjadi, tapi juga harus menderita kemungkinan sial. Menabrak kucing di jalan raya, apalagi jika binatang itu sampai mati, masih dianggap tabu. Ada sebagian sopir yang juga menghindari tabrakan dengan seekor angsa. Begitu terasa menabrak kucing, si sopir akan segera turun dari kendaraannya. Ia akan menyelenggarakan penguburan yang layak bagi binatang yang malang itu. Kalau ia tak sempat, ia dapat menyuruh orang lain menyelenggarakan, dengan memberikan sekedar upah. Yang lebih dalam lagi kepercayaannya, mereka akan memandikan ban mobilnya dengan air kembang tujuh macam, begitu tahu kucing yang ditabraknya mati. Namun, di samping mempercayai hal-hal tersebut, umumnya sopir juga menyadari: "Faktor utama penyebab kecelakaan itu, karena kelalaian pengemudi", seperti yang dikatakan Dul Wahab, pengemudi bis-malam Garuda Mas. Itulah sebabnya Dul, 4 tahun, berusaha untuk berbuat manis di jalan raya. Sebelum naik ke belakang stir, ia selalu mengucap lafal: "Lahaula . . mbahku, sangkanku, Cirebon. Aku putu nabi Adan, nyuwun pengayoman (kakekku, asalku, dari Cirebon. Aku cucu Adam. Mohon perlindungan)". Subekti, sopir bis Sepakat, juga punya lafal: "Saya membaca selawat nabi sebelum bekerja - Insya Allah selamat". Mengemudi sambil mengantuk memang berbahaya. Tapi itu mudah mengatasinya: "Rendam kaki di air dingin," sampai ujung celana kena air rasa kantuk pasti lenyap", kata Parman, pengemudi truk Jakarta-Cirebon. Hati-hati dan waspada di jalan raya, "memang kewajiban sopir", kata Dul. Tapi dari pengalaman mengemudi berbagai jenis kendaraan, "jenis mobil juga ikut menentukan keselamatan di jalan", katanya lagi. Selain ada jenis mobil favorit, sopir juga menghindari jenis mobil tertentu. Subekti bercerita: pernah ban mobilnya pecah, tapi kendaraan yang sedang berjalan itu dapat dikuasainya dan dipingirkan dengan selamat. "Untung mobil yang saya bawa mereknya bukan .... Subekti mengatakan: "Mobil merek tertentu ada yang mempunyai chasis yang sempit, di samping ban belakang yang tidak sejajar dengan ban di muka". Ada mobil lain yang punya kelemahan di stir: suka macet. Tapi ada juga yang istimewa: begitu ban pecah mendadak, stir yang bertekanan hydraulik langsung turun, sehingga kendaraan yang sedang jalan berkecepatan 80 Km/jam sekalipun dapat berhenti pelan-pelan dengan aman. Maka sopir Parman mengusulkan: "Mestinya pemerintah juga ikut mengawasi, mana-mana mobil yang dapat dipakai secara aman dan melarang dibuat yang memang sudah dikenal berbahaya". Tapi di samping itu, "sopir harus mengenal kendaraan yang dibawanya", kata sopir Parman, "dengan segala kelemahan-kelemahannya". Mungkin kecelakaan di Probolinggo itu karena sopirnya, almarhum Soekarno, tak kenal betul bis yang dibawanya. Isteri Soekarno, wanita manis lulusan SMEA yang disebut aling, bercerita bahwa kalau suaminya harus membawa bis yang itu, "ia pasti bludrek". Tapi yang perlu adalah tindakan pencegahan. Sebelum berangkat, periksa rem, tekanan udara pada ban. Secara periodik kena wajib-uji. Tapi. "wah kita tak boleh percaya begitu saja pada hasil kir", kata sopir lain. Sebab "kir itu cuma untuk memenuhi syarat memperoleh buku-kir saja". Ancaman bahaya bagi sopir tidak cukup hanya itu. "Harus membayar mel kepada petugas di jalan juga dapat menimbulkan bahaya", kata Dul Sopir harus menyediakan dana bagi petugas di jalan. Kalau tidak, "polisi atau petugas yang lain, dapat saja mencari-cari kesalahan". Karena harus menyiapkan dana untuk petugas inilah, "jangan terlalu disalahkan jika sopir getol mencari uang: membawa barang atau penumpang berlebihan, atau ngebut untuk mengejar rit", kata seorang sopir yang bekerja di rute Jakarta-Cirebon. Jumlah pungutan untuk rute itu, paling tidak Rp 3000. Dan uang itu, "tak pernah disediakan oleh tauke, tapi harus dicari sendiri oleh pengemudi". Maka ketegangan di jalan raya, untuk menghasilkan uang Rp 45. 000 sampai Rp 60.000 seperti yang diterima Dul, Parman, Subekti dkk, biasanya mereka sisihkan. "Ngapain tua di jalan? Bulu kaki juga sudah rontok di jalan", kelakar seorang sopir di terminal Pulogadung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus