Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarum jam menunjukkan pukul 7.30 pagi waktu Kairo. Tempat pemungutan suara (TPS) Madrasah Hay Asyir, Kairo, masih lengang seolah tak akan ada kegiatan besar. Padahal, hari itu untuk pertama kalinya rakyat Mesir akan memilih lebih dari satu kandidat presiden. Selama ini warga hanya disodori selembar kertas suara berisi dua kata keramat: na’am (ya) dan la (tidak) dalam referendum. Selama empat periode kekuasaan Mubarak, Mesir cuma mengenal referendum setuju atau tidak setuju untuk memperpanjang kekuasaan Mubarak saban enam tahun.
Di sepanjang jalan menuju TPS Madrasah, terlihat poster dan baliho sisa kampanye penuh berisi potret Mubarak. Lalu lintas kendaraan sepi hari itu. Sesekali penjual isy (makanan dari tepung) melintas ke mat’am (lepau). Loper koran berteriak menawarkan dagangan: ”Jumhuriyyah, Ahram, Dustur….” Penduduk Mesir umumnya masih dibuai mimpi. Kehidupan di musim panas biasanya baru menggeliat di atas pukul 10.
TPS Madrasah adalah satu dari 9.865 TPS yang tersebar di seluruh Mesir. Letaknya di ujung Jalan Mahatta Madrasah, masuk wilayah Madinah Nasr di jantung Kairo. Pencoblosan mulai pukul 8 pagi hingga pukul 10 malam. ”Pemilih baru akan ramai pada sore hari,” ujar Sa’ad Mughni, 38 tahun, salah seorang pemilih. Menjelang sore, suasana TPS memang penuh.
Dari kejauhan, serombongan ibu rumah tangga menggendong anak menuju TPS Madrasah. ”Kami mewakili aspirasi wanita. Kami tahu wanita punya peran penting dalam negara. Ini saat yang tepat berpartisipasi,” ujar Mona Azeez, 45 tahun.
Namun, semangat Mona terhalang. Petugas TPS, Asraf, melarang Mona masuk ruang pencoblosan karena namanya tak tercantum pada daftar pemilih. Padahal, ia sudah sembilan tahun menjadi penduduk di Madrasah. Pertengkaran meledak, terjadi saling dorong sampai Mona dan Asraf harus dilerai. ”Inikah pemilu yang digembar-gemborkan demokratis? Mush mumkin (tidak mungkin),” kata Mona berapi-api. Toh Asraf tetap melarangnya masuk.
Di luar TPS, orang-orang duduk bergerombol menonton insiden itu. Mereka umumnya golput. Di antara mereka adalah Kareem Hassan, 25 tahun, mahasiswa Universitas Ayn Shams. ”Pemerintah belum mampu mensejahterakan rakyat. Suf (lihat), pengangguran melonjak drastis,” katanya. ”Celakanya, calon presiden baru sekarang belum punya kemampuan memimpin,” ujarnya kepada Tempo.
Pemilu memang berjalan lancar, tapi pertumbuhan golput pada pemilu kali ini juga ”lancar”: hanya 30 persen rakyat Mesir yang mencoblos dari sekitar 32 juta pemilih terdaftar.
RFX (Jakarta) Zuhaid el-Qudsy (Solo), Hibba Ali Radwan (Kairo, Mesir)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo