Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua belas jenazah terbungkus selimut wol, tujuh di antaranya anak-anak. Sudah dua hari tubuh mereka dibiarkan terbaring di halaman rumah yang berbatu dan berpasir. Seorang serdadu marinir Amerika Serikat meletakkan tubuh mereka berderet-deret rapi di halaman. Di belakang barisan jenazah ini terdapat rumah mereka yang hancur lebur—setelah dihajar dua roket, masing-masing seberat 675 pon.
Haji Mohammad Karim sedih dan pusing tujuh keliling. Tetua desa di Marjah yang masih merupakan kerabat keluarga itu berpikir keras: bagaimana caranya membawa jenazah-jenazah itu ke Lashkar Gah? Padahal, untuk itu ia harus melewati 17 mil medan yang penuh ranjau dan serangan mortir.
Ahad dua pekan lalu, Kompi K Batalion Ketiga Marinir Amerika bertempur dengan Taliban dalam rangkaian operasi Moshtarak. Baku tembak hanya beberapa ratus meter dari rumah keluarga nahas itu. Namun komandan Kompi K, Kapten Joshua P. Biggers, menyadari roket mereka salah sasaran sesaat setelah meledak. Ia melihat anak-anak berhamburan dari dalam rumah. Tapi terlambat, roket kedua menghantam lagi.
Saat marinir menghampiri, mereka menghitung 11 orang tewas. Satu perempuan masih hidup saat ditemukan. Namun sayang, tungkai dan lengannya putus. Pertolongan datang terlambat. Helikopter yang akan mengangkut korban terus ditembaki Taliban. Perempuan itu pun tewas.
Seorang pejabat NATO mengatakan serangan roket berasal dari Camp Bastion, basis Inggris dan Amerika di tepi Marjah. Roket itu adalah bagian dari Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi (HIMARS). Roket melenceng 300 meter dari sasaran—sebuah kamp yang dikuasai Taliban.
Menteri Dalam Negeri Afganistan Muhammad Hanif Atmar mengatakan hanya 9 dari 12 orang adalah warga sipil. Tiga orang lainnya adalah pemberontak Taliban yang memaksa masuk ke dalam rumah dan memanfaatkannya sebagai posisi tempur. Anehnya, tidak ditemukan senjata dalam rumah itu.
Warga sipil tidak tinggal diam. Reporter Al-Jazeera, James Bays, melaporkan, saat jenazah tiba di Lashkar Gah dengan helikopter marinir Amerika, penduduk setempat langsung menggelar aksi protes. ”Ketika mereka tiba, banyak protes di jalan-jalan di ibu kota provinsi,” katanya.
Sebuah kelompok hak asasi manusia Afganistan mengatakan telah menghitung 19 warga sipil. Empat terjebak baku tembak ketika meninggalkan rumah. ”Tetangganya memberi tahu tubuh mereka berada di luar rumah. Tak satu pun warga berani mengambilnya,” kata Ajmal Samadi, Direktur Afganistan Rights Monitor.
Setidaknya 1.240 keluarga mengungsi dari serangan militer besar-besaran terhadap Taliban. Sebagian besar berlindung sebisanya di rumah teman dan kerabat. Tidak ada kamp khusus untuk mereka.
Ninin Damayanti (New York Times, Al-Jazeera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo