Penampilannya kini jauh berbeda ketimbang lima tahun lalu. Dia tak lagi suka gugup, sehingga tampak sangat meyakinkan. Bajunya memang masih sederhana: lengan pendek berwarna putih. Cuma, di bibirnya kini sering terselip rokok 555 buatan Amerika. Itulah Hun Sen, 37 tahun, Perdana Menteri Republik Rakyat Kamboja. Jumat dua pekan lalu ia menerima wartawan TEMPO Yuli Ismartono di kantornya, gedung Krom Preksa Rat Muntrey. Yuli diterima Hun Sen, karena "Anda satu-satunya wartawati yang hadir dalam konperensi pers kemarin (29 Juni), dan ia sangat terkesan," kata penerjemahnya. Berikut petikan wawancara Yuli dengan Hun Sen seputar Pertemuan Informal Jakarta (PIM) itu: DALAM konperensi pers dua hari lalu, Anda menyatakan belum menerima undangan Pertemuan Jakarta. Undangan saya terima kemarin lewat kedutaan kami di Hanoi, yang diberikan oleh kedutaan Indonesia. Itu merupakn kontak pertama antara kedua wakil pemerintah kita. Secara tidak resmi saya sudah menjawab akan ke Jakarta, asalkan prosedur yang ditempuh nanti sesuai dengan perjanjian antara Indonesia dan Vietnam di Kota Ho Chi Minh tahun lalu. Saya hanya mengkhawatirkan soal protokoler. Pemerintah Phnom Penh 'kan tidak diakui oleh Jakarta. Bagaimana kedudukan saya nanti? Ini beberapa pertanyaan yang harus dicek dulu sebelum saya menjawab undangan Menlu Alatas secara resmi. Kemarin, Anda bertemu dengan utusan Sekjen PBB Rafeeudin Ahmed. Apa saja yang dibicarakan? Pertemuan itu sangat positif. Ini satu langkah kemajuan. Selama sembilan tahun ini PBB hanya memahami sikap oposisi, sekarang PBB mengetahui juga posisi kami. Tetapi karena baru kali ini bertemu, belum ada hasil kongkret yang dicapai. Kami tak bisa menerima usul Sekjen PBB Javier Pcrez de Cuellar, karena usul itu terlalu mendetail. Kami pikir usul itu hanya bisa dirundingkan di antara empat pihak Kamboja yang langsung terlibat konflik, bukan orang luar. Menurut kami, usul itu sangat berpihak pada Pemerintah Koalisi (Pemerintah Koalisi Demokratik Kamboja). Kami tidak bersedia disamakan dengan Pol Pot. Tetapi kami setuju untuk melanjutkan dialog. Selama ini PBB tidak mengakui pemerintah Phnom Penh. Apakah pertemuan kemarin itu bisa dilihat sebagai suatu kemenangan politik? Ya, ini sebagai suatu kemenangan Republik Rakyat Kamboja (RRK). Mereka tidak bisa seterusnya menganggap sepi pemerintah yang berjalan di Phnom Penh. Ada yang melihat pertemuan Vietnam dan Phnom Penh dengan Sihanouk beberapa bulan lalu sebagai usaha meretakkan Pemerintah Koalisi. Saya tekankan bahwa tindakan-tindakan politik dan diplomatik kami bertujuan untuk menghasilkan penyelesaian masalah Kamboja. Dalam setiap perjuangan ada yang menang ada yang kalah. Pihak yang didukung rakyat pasti menang. Bahwa pihak oposisi pecah itu bukan karena kami. Koalisi sudah lama dipersulit dengan konflik-konflik intern, khususnya antara pihak kanan dan kiri. Wajar kalau mereka retak. Apakah usul-usul negara ASEAN, teruama yang dari Muangthai, bisa diterima oleh Phnom Penh? Kami selalu mencari penyelesaian lewat perundingan. Pokoknya, asalkan Pertemuan Jakarta nanti sesuai dengan Perjanjian Ho Chi Minh, dan ini dijamin oleh Menlu Alatas sendiri dalam undangannya kepada saya, saya tidak keberatan. Saya akan hadir walaupun tidak semua datang. Misalkan hanya Sihanouk yang datang, okay. Kalau Khieu Samphan dari pihak Khmer Merah tidak mau datang, tak mengapa. Kalau ia mau datang, syukur. Tapi kalau ada usaha mengubah agenda di Jakarta, saya tidak akan datang. Bagaimana Anda menilai pertemuan dengan Sihanouk beberapa bulan lalu? Bagaimana dengan orang-orang Son Sann dari Front Pembebasan Nasional Rakyat Kamboja (FPNRK)? Kami menghasilkan beberapa titik persamaan, tapi ada juga yang tidak kami setujui. Misalnya, kami setuju diperlukannya suatu Kamboja yang bebas, netral, dan nonblok. Kami bersepakat bahwa pemerintahan Kamboja harus merupakan suatu koalisi tempat semua pihak turut serta. Tapi kami tidak setuju denan iadwal dan cara pelaksanaan pembentukan pemerintahan baru itu. Kami setuju bertemu untuk ke-3 kalinya, tapi Sihanouk menolak. Kami berjanji tidak akan mengkritik satu sama lain. Tapi beberapa pekan kemudian Radio Peking menyiarkan ucapan Sihanouk yang menghina saya, meskipun saya percaya itu bukan ucapan Sihanouk pribadi. Mungkin ia didesak pihak lain. Adapun Son Sann, memang betul pihaknya mencoba menghubungi kami lewat gerakan bawah tanah. Tapi kami tolak. Benarkah pasukan Phnom Penh bekerja sama dengan pasukan Sihanouk di beberapa daerah? Cukup banyak anggota pasukan Sihanouk bergabung dengan pasukan kami. Tapi itu untuk melawan gerilya Khmer Merah. Kami menyambut baik semua yang ingin bergabung dengan kami, terutama untuk melawan pengikut Pol Pot. Bahaya terbesar bagi rakyat Kamboja adalah Khmer Merah. Di Kamboja sekarang ada sistem sosialis, apakah tak akan menimbulkan konflik dalam koalisi mendatang? Justru dalam hal ini Phnom Penh telah mengalah dan memberi konsesi besar Dalam rangka rujuk nasional, kami tidak lagi menggunakan perkataan sosialisme. Sebagai gantinya, kami menggunakan kata kebebasan, netralitas dan status nonblok, untuk pemerintah baru di Kamboja nanti. Kami menghargai kelompok lain yang tidak dapat menerima istilah sosialisme. Sebenarnya, meski secara resmi kami mengaku mengikuti kebijaksanaan sosialisme, kenyataannya ekonomi kami kapitalistis. Negara sosialis mana yang memiliki sistem seperti Kamboja? Ini keunikan kami. Di Kamboja diperbolehkan ekonomi sosialis, ekonomi kapitalis, dan sebentar lagi dewan perwakilan rakyat akan memberlakukan peraturan yang membolehkan ekonomi campuran. Dengan kata lain, tidak banyak beda dengan masyarakat sosialis yang pernah ditempuh oleh Sihanouk di masa lampau. Yang jadi perhatian kami bukan sistem ekonomi, melainkan bagaimana mencegah kemiskinan. Tetapi bagaimana dengan sistem politiknya? Dalam suatu rujuk nasional, partai mana yang akan berkuasa? Dan benarkah Sihanouk pernah mengatakan ia bersedia menjadi kepala negara simbolis dan Anda yang memimpin pemerintah? Kami mengusulkan agar jabatan perdana menteri, kepala negara, dan menteri dibentuk atas hasil pemilihan umum. Tapi pertanyaan yang paling rumit dalam perundingan ialah, bagaimana sebelum pemilu. Sihanouk mengusulkan sebelum koalisi empat pihak dibentuk, pemerintah Phnom Penh harus dibubarkan lebih dulu. Bagaimana mungkin kami dibubarkan setelah berhasil sembilan tahun ini? Pertama, pembubaran pemerintah Phnom Penh berarti mengundang kembalinya kekuasaan Pol Pot. Kedua, pemerintah kami dibentuk atas dasar pemilu, jadi hanya rakyat yang berhak membubarkan pemerintah kami. Kalau kami tidak diakui karena adanya pasukan Vietnam di Kamboja, perlu kita pertanyakan juga legitimasi pemerintah Filipina, Korea, Jepang, dan Jerman Barat, negara-negara yang ditempati pasukan asing. Ketiga, ide pembubaran pemerintah Phnom Penh tidak adil. Kami sudah berkuasa di sini sekian lama, mereka tidak menguasai apa pun. Tapi mereka menuntut pembubaran kami. Mereka mengatakan akan sama-sama membubarkan pemerintah masing-masing. Tapi pembubaran pemerintah mereka mudah sekali, hanya menyobek suatu surat, yaitu pernyataan Kuala Lumpur. Dari pihak kami sebaliknya, kekuasaan dan wewenang kami sudah sampai ke seluruh wilayah Kamboja. Sekarang ini yang perlu ditanyakan, apakah kami akan bergabung dengan oposisi di Beijing, atau mereka yang akan bergabung dengan kami di Phnom Penh. Kalau pihak oposisi bersedia datang ke Phnom Penh apa yang mereka tawarkan kepada sayaiJika mereka menginginkan konsesi politik, bubarkan dulu pasukan Pol Pot. Jika kita tidak bisa menyelesaikan masalah Pol Pot, kita tidak akan bisa menyelesaikan apa-apa. Ada satu lagi formula yang pernah saya bicarakan dengan Sihanouk. Ini adalah mempertahankan status quo. Kami tetap seperti sekarang. Kemudian kami bentuk suatu badan pemilihan dan pemilu dilangsungkan di bawah pengawasan suatu badan pengawas internasional. Saya kira ini yang paling adil. Kalau saya kalah, saya akan mengundurkan diri. Pihak oposisi mengaku didukung rakyat. Kalau memang demikian, mengapa mereka takut pemilu? Mereka gagal menjatuhkan kami dengan cara militer, tapi menuntut bagian yang terbesar. Kalau pihak koalisi tidak dapat menerima ini, dan tetap mau melanjutkan perjuangannya, silakan. Dalam keadaan ini, kamilah yang berkuasa, mereka ada di hutan. Ya, memang, Sihanouk pernah mengusulkan pembentukan koalisi dua pihak, yaitu kelompoknya bersama pemerintah Phnom Penh. Tapi 20 hari kemudian ia berubah sikap. Sia-sia saya memikir panjang soal ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini