Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Negeri yang Diwariskan Sang Komandan

Meninggal setelah hampir sepuluh tahun menyerahkan kekuasaan kepada adiknya, Fidel Castro mewariskan negara yang miskin dan terisolasi. Menyia-nyiakan awal yang baik.

5 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUAN orang, beberapa di antaranya menyelimuti diri dengan bendera kebangsaan merah-putih-biru, berbaris di Plaza de la Revolucion. Pada Senin pekan lalu, di alun-alun raksasa di Havana, ibu kota Kuba, mereka menunggu giliran untuk bisa melangkahkan kaki di hadapan sebuah poster besar dan memberi penghormatan terakhir kepada potret masa muda Fidel Castro.

"Panjang umur, Fidel! Kami bisa mendengarnya, kami bisa merasakannya, dia akan selalu ada di sini," terdengar sekumpulan orang menyorakkan pujian-pujian sambil memegang bendera bertulisan "Kami adalah Fidel".

Pagi itu merupakan awal dari penghormatan resmi selama dua hari—bagian dari sembilan hari masa berkabung—yang dicanangkan pemerintah atas meninggalnya Castro. Pemimpin Kuba yang berkuasa selama hampir setengah abad setelah menggerakkan revolusi kiri ini wafat pada usia 90 tahun, Jumat dua pekan lalu. Prosesi untuk mengenang kepergiannya dimulai dengan tembakan senapan selama 21 kali, yang gemanya terdengar di seluruh pelosok Havana.

Di antara mereka yang datang ke lapangan bahkan sejak pukul empat pagi adalah Belkis Meireles. Insinyur sipil 65 tahun ini mengaku sangat berduka. "Saya sedih sekali. Saya datang untuk menyampaikan penghormatan kepada ayah, teman, dan komandan kami," katanya dengan suara lirih, seperti dikutip Reuters. "Dia orang yang memerdekakan kami dan mengirimkan dokter dan guru ke mana pun di seluruh dunia."

Roberto Videaux, pensiunan berusia 72 tahun, tak terlihat sesedih Meireles; dia berpendapat bahwa Castro bukanlah pribadi yang sempurna. Meski begitu, dia tetap merasa bangga. "Fidel itu guru, patriot," katanya kepada kantor berita yang sama.

Meireles, Videaux, dan mereka yang berpendapat serupa tentu saja bukan wakil dari semua warga Kuba. Dalam kenyataannya, meski dijunjung tinggi di kalangan kiri dan banyak orang di negara-negara berkembang yang memandangnya sebagai ikon revolusioner kaum miskin, pahlawan dalam perjuangan melawan imperialisme, Castro memerintah sebagaimana para diktator di mana pun, bahkan Presiden Fulgencio Batista yang disingkirkannya. Dia membungkam mereka yang berbeda pendapat dan menyingkirkan lawan-lawan politiknya—pendeknya: dia menindas rakyat Kuba.

Selama 15 tahun setelah Revolusi Kuba saja—ketika pemberontakan bersenjata yang dilancarkan Castro berhasil menggulingkan Presiden Batista pada 1959—sekitar setengah juta orang menjejakkan kaki di Miami, Amerika Serikat. Kebanyakan dari mereka ketika itu adalah pengusaha dan profesional. Pelarian terus berlangsung setelah itu, hingga kini jumlahnya mencapai 8-10 persen populasi Kuba. Tapi warga Kuba yang tiba di Miami sesudah 1980 umumnya meninggalkan kampung halaman karena alasan ekonomi.

Kesulitan ekonomi itulah pula yang kemudian menjadi bagian dari Kuba yang dia wariskan. Hal ini, menurut Javier Corrales, yang menulis kolom di Foreign Policy, merupakan kinerja buruk dari Castro selama memerintah. Sebetulnya dia punya waktu yang banyak untuk mewujudkan kemakmuran di negaranya. "Sebaliknya, dia meninggalkan Kuba yang lebih buruk ketimbang saat dia mulai mengambil alih (kekuasaan), sekurang-kurangnya secara relatif," katanya.

Sebelum Castro berkuasa, rakyat Kuba memang sengsara dalam cengkeraman kediktatoran Batista yang korup. Pada saat yang sama, mafia Amerika yang berada di balik operasi kasino-kasino di Kuba ikut memperburuk keadaan. Tapi negara ini, secara ekonomi, sama sekali tak tergolong tertinggal. Berdasarkan beberapa indikator sosial, Kuba bahkan menduduki peringkat teratas.

Bidang pendidikan bisa diajukan sebagai contoh. Penulis buku Cuba: From Economic Take-Off to Collapse under Castro, Jorge Salazar-Carrillo dan Andro Nodarse-Leon, mencatat, pada 1954, Kuba membelanjakan 4,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk pendidikan. Angka ini merupakan proporsi yang lebih besar dibanding negara Eropa Barat mana pun dan sedikit lebih tinggi ketimbang Amerika. Hasilnya adalah tingginya tingkat melek baca dan partisipasi perempuan dalam pendidikan.

Di bidang kesehatan, yang juga kerap disorongkan sebagai bukti keberhasilan Castro, pada 1957 sudah ada lebih banyak dokter per seribu penduduk Kuba ketimbang Norwegia, Swedia, dan Inggris. Mengutip makalah yang dianggap "bersahabat dengan rezim Castro" baru-baru ini, Mark Milke menyebutkan dalam kolomnya di The Globe and Mail bahwa, pada 1958, berbagai indikator kesehatan telah menempatkan Kuba di urutan pertama, kedua, atau ketiga di Amerika Latin. Keberhasilan itu meliputi tingkat harapan hidup yang panjang dan tingkat kematian bayi yang rendah.

Secara ekonomi, menurut data Organization for Economic Co-operation and Development, PDB per kapita Kuba pada 1958 adalah US$ 2.363. Angka ini memposisikan Kuba di kelompok tengah di antara negara-negara Amerika Latin. Kuba berada di bawah Venezuela (US$ 9.816) dan Argentina (US$ 5.698), tapi di atas Brasil (US$ 2.111) dan Republik Dominika (US$ 1.320).

Sekitar 20 tahun kemudian, Kuba justru terperosok ke dalam kelompok negara termiskin. Antara 1959 dan akhir 2000-an, ketika PDB per kapita kawasan berlipat dua kali, di Kuba indikator yang sama tumbuh 5 persen saja. Negara-negara yang kinerjanya lebih buruk hanya Haiti dan Honduras. Ketika Castro resmi menyerahkan kekuasaan kepada adiknya, Raul, pada 2008, PDB per kapita Kuba hanya US$ 3.764.

Milke mengingat apa yang disaksikannya ketika berada di Kuba, saat Castro mengundurkan diri. Semua angka statistik itu menjadi "hidup": "Saya mengambil gambar satu apotek di Havana yang rak penyimpanan obatnya setengah kosong. Sekolah, rumah sakit, dan banyak gedung apartemen rusak. Banyak perumahan yang boleh dibilang boyak. Havana memberlakukan penjatahan telur."

Menurut Corrales, dalih apa pun atas kenyataan itu sulit diterima mengingat Castro sebetulnya sudah punya keuntungan ketika memulai pemerintahannya. Selain bidang ekonomi dan sosial yang relatif bagus, dia mendapatkan bantuan keuangan dari luar negeri, khususnya dari Uni Soviet. Menurut perkiraan, sepanjang akhir 1960-an hingga 1990, bantuan yang diterima dari Uni Soviet mencapai US$ 62 miliar, yang digunakan untuk mengongkosi kebutuhan subsidi besar-besaran.

Aliran bantuan itu menguap setelah Uni Soviet runtuh. Sejak 2000-an, Venezuela, Cina, Spanyol, dan warga Amerika keturunan Kuba-lah yang menjadi penyelamat—yang disebut terakhir ini melalui pengiriman uang, devisa, untuk famili mereka di kampung halaman. "Hanya ketidakcakapan yang dapat mengubah titik awal yang baik itu—juga bantuan yang luar biasa besar—menjadi sesuatu yang sia-sia," Corrales menulis.

Pengalaman semestinya sudah cukup untuk dijadikan pelajaran. Kini, setelah kepergian Castro, dan seusai masa berkabung, Kuba sangat bergantung pada apakah Raul Castro dan rezim komunis yang masih berkuasa menyadari situasi yang mereka hadapi; bisa juga apakah mereka bakal terantuk dan jatuh. Yang pasti, Kuba memerlukan ekonomi, masyarakat, dan pemerintahan yang lebih terbuka.

Purwanto Setiadi (BBC, Foreign Policy, The Globe and Mail, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus