Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ngligo Berujung Maut

Polisi Filipina menangkapi ribuan orang dalam operasi anti-gelandangan. Kebijakan kontroversial terbaru Presiden Duterte setelah perang melawan narkotik.

7 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ngligo Berujung Maut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GENESIS Caberoy Argoncillo tengah menonton video di telepon selulernya saat tiga polisi menghampirinya. Pria 25 tahun ini berdiri hanya beberapa langkah dari rumahnya di Sitio Cabuyao, Barangay Sauyo, di Novaliches, Kota Quezon, Filipina, pukul 10 malam pertengahan Juni lalu. Ia berdiri di emperan toko sari-sari-istilah Tagalog untuk toko kelontong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Hei, kamu yang bertelanjang dada… pegang botol itu," ujar seorang polisi kepada Argoncillo, seperti dituturkan seorang saksi yang melihat peristiwa itu. Polisi memerintahkan Argoncillo, yang sedang ngligo atau tidak berbaju, memegang botol bir kosong yang tergeletak di dekatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi memotret Argoncillo dan kemudian menggelandangnya ke balai desa. Namanya dicatat dalam sebuah daftar. Kesehatan Argoncillo diperiksa dan ia pun dimintai keterangan. Dari balai desa, Argoncillo dan enam pria lain yang juga diciduk malam itu dibawa ke kantor polisi Kota Quezon. Tiga hari kemudian, Argoncillo ditemukan tewas.

Polisi awalnya berdalih Argoncillo meninggal akibat sesak napas selama di penjara. Sel tempat ia ditahan memang berjubel manusia. Menurut kakak perempuan Argoncillo, Marilou, yang saban hari membesuk adiknya, sel yang seharusnya menampung 40 orang itu disesaki 128 tahanan. Namun, kata Marilou, bukan itu penyebab kematiannya. "Dia pernah bilang bahwa dia dianiaya," ujarnya, seperti dikutip Inquirer.

Belakangan, hasil autopsi terhadap Argoncillo menunjukkan bahwa pria yang akrab disapa Tisoy itu menderita luka di leher, kepala, dada, dan lengannya. Sejumlah foto yang dibagikan keluarganya di media sosial menunjukkan tubuh Argoncillo terbujur kaku dan penuh lebam. Sertifikat kematian yang diterbitkan pemerintah Quezon menyebutkan bahwa Argoncillo mengalami kekerasan dengan benda tumpul.

Marilou membantah alasan polisi bahwa Argoncillo ditangkap karena mabuk, berteriak-teriak, dan mengganggu jam rehat warga. Alfonso Ascura, tetangga Argoncillo, juga menampik tudingan itu. "Tisoy tidak pernah berisik sampai mengganggu kami. Dia bahkan jarang ke luar rumah," kata Ascura, seperti diberitakan ABS-CBN News. Dalam catatan di balai desa, Argoncillo ditangkap karena "bertelanjang dada di jalanan".

Argoncillo adalah salah satu korban dari program anti-tambay atau operasi pembersihan gelandangan yang diumumkan Presiden Rodrigo Duterte lima hari sebelumnya. Hingga Kamis pekan lalu, Kepolisian Nasional Filipina menangkap lebih dari 31 ribu orang yang dicap sebagai gelandangan. Mereka dijerat dengan berbagai pelanggaran, dari soal larangan mengkonsumsi minuman beralkohol di tempat umum, berkeliaran setengah bugil, hingga berbuat hal mencurigakan. "Kami ingin mewujudkan atmosfer yang aman," ujar Jenderal Joselito Esquivel, kepala polisi dari distrik pinggiran terbesar di Ibu Kota Manila, seperti dikutip Al Jazeera.

Menurut Presiden Duterte, gelandangan dan orang-orang yang suka berkeliaran di jalanan, terutama pada malam hari, harus ditangkap karena mengganggu ketertiban umum dan berpotensi berbuat jahat. "Arahan saya adalah jika ada orang yang berkeliaran di jalan, tegur mereka dan suruh pulang. Jika tidak mau pulang, bawa mereka ke kantor polisi," katanya.

Belakangan, Duterte mengoreksi ucapannya setelah panen kecaman. Pria 73 tahun ini berkilah bahwa ia tidak pernah memerintahkan penangkapan gelandangan. Sebab, kata dia, berkeliaran bukan perbuatan kriminal. "Tapi, jika kamu mabuk di jalanan, bergerombol, dan bikin ribut, kamu akan benar-benar diciduk," ujarnya, Jumat dua pekan lalu.

Kecaman keras datang dari para pegiat hak asasi manusia. Mereka menilai penangkapan massal terhadap gelandangan tak ubahnya kebijakan anti-kaum miskin dalam kampanye Duterte memerangi peredaran narkotik. Perang narkotik Duterte sejak ia menjabat dua tahun lalu telah menewaskan lebih dari 12 ribu orang, kebanyakan mereka dari lingkungan miskin negeri itu.

Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia internasional, mendesak polisi segera mengakhiri kampanye pencegahan kejahatan yang secara tidak proporsional menyasar orang-orang yang dicap gelandangan di daerah berpenghasilan rendah di Manila dan kota-kota lainnya. "Polisi pada dasarnya memenjarakan warga Filipina berpenghasilan rendah hanya karena mereka nongkrong di tempat umum," kata Phelim Kine, Wakil Direktur Divisi Asia Human Rights Watch. Menurut dia, kebijakan baru ini menambah rasa takut akibat diteror oleh serangkaian eksekusi dalam perang narkotik.

Di Filipina, tambay adalah sebutan untuk para lelaki bertelanjang dada yang kerap berkumpul atau berkeliaran di lingkungan kumuh di jalan-jalan kota. Mereka sering terlihat mengkonsumsi minuman beralkohol di depan umum. Biasanya para tambay yang diciduk polisi tidak diajukan ke pengadilan, "Tapi ditahan sementara dan dibebaskan setelah membayar denda," ujar Phelim Kine. Hanya sebagian kecil dari para tambay itu yang benar-benar menghadapi dakwaan pidana.

Operasi anti-gelandangan ini menyulut polemik baru. Sebab, mereka yang jadi sasaran umumnya penduduk yang tinggal di kawasan miskin. Di daerah-daerah kumuh di Filipina, banyak orang menghabiskan waktu di luar rumah karena tempat tinggal mereka yang sempit dan ventilasinya juga buruk.

Seperti negara-negara beriklim tropis lainnya, musim panas di Filipina terasa terik dan musim hujannya lembap. Kondisi ini membuat kaum Adam di sana kerap pergi ke luar rumah tanpa baju agar tak gerah, bahkan saat mereka di tempat umum. Perilaku unik yang sering terlihat di lingkungan kumuh yang keras ini tidak jarang malah dikaitkan dengan kejahatan jalanan. Orang-orang biasa kerap dikira preman atau bandit hanya karena bertelanjang dada, apalagi bertato.

Mereka yang mendekam di penjara karena kejahatan ini juga tak luput dari ancaman. Nasib yang menimpa Genesis Caberoy Argoncillo adalah contohnya. Penyelidikan internal polisi dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berkesimpulan bahwa penangkapan Argoncillo yang mengakibatkan tewasnya pemuda itu dalam bui. Ia dinyatakan sebagai korban penganiayaan. Polisi telah menetapkan Richard Bautista dan Justine Mercado, yang diduga anggota geng Sputnik, sebagai tersangka pembunuhan.

Kepala rumah tahanan, penjaga sel, dan komandan pengawas patroli di kantor polisi Distrik Kota Quezon telah diberhentikan akibat insiden ini. Seorang komandan polisi dan tiga petugas yang bertanggung jawab atas penangkapan Argoncillo juga telah dibebastugaskan. Mereka adalah Inspektur Senior Cyril Dagusen, Ruel Tubat, Paulo Lopez Jr., dan Paul Hector Calderon.

Kematian Argoncillo tak mengubah kebijakan anti-tambay Presiden Rodrigo Duterte. Istana Malacanang-sebutan untuk kantor Presiden-berkukuh operasi ini penting untuk menjaga ketertiban kota, seperti halnya larangan mabuk, berjudi di jalanan, dan berkeliaran sambil ngligo. Kepala Kepolisian Filipina Oscar Albayalde membela kebijakan itu dengan menyatakan, "Masyarakat senang, terutama mereka yang bekerja malam hari, karena merasa aman dan terbebas dari rasa takut."

Mahardika Satria Hadi (inquirer, Rappler, Gma News)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus