Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Daftar Hitam Burung Kenari

FBI memeriksa sejumlah mahasiswa karena mendukung Palestina di media sosial. Korban daftar hitam situs anonim pro-Israel.

7 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Daftar Hitam Burung Kenari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHMAD Aburas sedang duduk di kelas pada suatu sore di bulan September 2016 ketika Gerald Lenihan, manajer keamanan kampus Seton Hall Law School di New Jersey, Amerika Serikat, menemuinya. Lenihan mengatakan ia perlu berbicara dengannya segera. Aburas pun pamit keluar dari kelas pelajaran prosedur perdata dan mengikuti Lenihan ke kantornya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di kantor itu, ada dua penegak hukum yang menunggunya, Craig Mott, detektif kepolisian Negara Bagian New Jersey, dan Ted Kolshorn, agen Biro Penyelidik Federal (FBI). Keduanya bagian dari Satuan Tugas Gabungan Terorisme New Jersey. "Orang-orang muda ini ingin berbicara dengan Anda," kata Lenihan, yang lalu meninggalkan Aburas bersama kedua perwira itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama 35 menit, dua penyelidik itu menginterogasi Aburas. Mereka tidak sedang menggali soal perkara kriminal, tapi soal pesan-pesan yang bernada pro-Palestina yang ditulis Aburas di Facebook.

Menurut The Intercept, akhir Juni lalu, pemeriksaan terhadap Aburas adalah salah satu dari serangkaian tindakan FBI terhadap aktivis pendukung Palestina di Amerika dalam beberapa tahun terakhir. Investigasi media tersebut melacak empat kasus seperti itu. Dua di antaranya terjadi tahun ini.

FBI dicurigai memeriksa orang-orang ini berdasarkan masukan dari Canary Mission, situs anonim yang dibuat pada April 2015 oleh kelompok pendukung Israel. Setidaknya dua orang yang diperiksa itu tercantum di daftar hitam Canary. Situs itu membuat daftar mahasiswa, orang biasa, profesor, dan lembaga yang diduga, meski tanpa bukti memadai, memiliki hubungan dengan kelompok militan dan teroris Palestina.

Situs berlambang burung kenari itu menyatakan tujuannya untuk "mendokumentasikan individu dan organisasi yang mempromosikan kebencian terhadap Amerika, Yahudi, dan Israel di kampus-kampus Amerika Utara". Menurut media Rusia, Sputnik, sampai 26 Juni 2018, sudah ada 1.685 orang biasa dan mahasiswa, 505 profesor, dan 23 organisasi yang masuk daftar hitamnya. Pendukung BDS (Boikot, Divestasi, Sanksi) juga masuk daftar itu. BDS adalah gerakan kampanye untuk mengakhiri penindasan Israel terhadap Palestina.

Canary Mission bekerja sangat rahasia. Tak ada penjelasan siapa mereka di situsnya dan pengelolanya menolak diwawancarai. Situs itu juga pernah diancam akan diserang oleh kelompok peretas Anonymous. Namun Edwin Black, pengarang IBM and the Holocaust, pernah mendapat akses untuk berbincang dengan pengelolanya dan mempublikasikannya di The Jerusalem Post pada 2016.

Menurut Black, Canary Mission adalah sekelompok mahasiswa dan orang yang bermarkas di sebuah kantor di Amerika. Operasi dipimpin oleh James dan dijalankan oleh Tom. "Kebanyakan anggota staf kami orang Amerika. Kami punya kebijakan untuk tidak bertindak mencurigakan. Kami ingin menghindar sebisa mungkin dari Anonymous dan penentang kami," ujar James. "Bila mereka tahu siapa kami, mereka secara harfiah akan ingin membunuh kami."

Organisasi ini berdiri pada 2014 tanpa alasan khusus. James mengaku tak ada dana besar untuk mereka. Sumber dana hanya "recehan" yang diterima dari tombol "donasi" di situs mereka. Sebagian anggota staf memang dibayar, tapi sebagian lain adalah relawan. James mengaku bergabung dengan organisasi ini karena ingin melawan gerakan antisemit. "Saya menilai diri saya sebagai aktivis hak asasi manusia dan karena saya Yahudi."

Ketika mewawancarai Ahmad Aburas, FBI menyinggung soal dua pernyataannya di Facebook. Komentar itu dibagikan oleh Canary Mission di akun Twitternya. Komentar pertama Aburas dibuat saat serangan Israel ke Gaza pada 2014 yang menewaskan 500 anak Palestina. Saat itu Aburas menulis: "Kami pemberontak! Kami #hamas! Kami manusia!". Dalam pernyataan pada Oktober 2015, ia mendukung perlawanan Palestina terhadap Israel.

Aburas mengatakan kepada The Intercept bahwa dia bukan pendukung Hamas, faksi politik bersenjata Palestina. Tapi dia ingin menunjukkan dukungan untuk orang-orang Palestina di Gaza, yang dicap sebagai anggota Hamas oleh Israel untuk membenarkan pembunuhan warga sipil selama serangannya.

Juru bicara Canary mengatakan mereka tidak memberi tahu FBI soal komentar Aburas, tapi secara rutin mencolek FBI di Twitter. Canary memberi tahu kampus Seton Hall soal komentar Aburas itu pada Juni 2016. Kampus lantas memberi tahu FBI, yang ditindaklanjuti pada 27 September 2016.

Juru bicara Seton Hall, Laurie Pine, saat ditanya mengapa melaporkan pendapat politik mahasiswanya, mengatakan kampus "menghormati hak para siswa untuk mengekspresikan pendapat pribadi mereka". Namun, ia menambahkan, "Karena keselamatan dan kesejahteraan siswa kami selalu menjadi perhatian utama kami, universitas memiliki kewajiban untuk melaporkan aktivitas yang dilihatnya sebagai ancaman potensial."

Menurut Aburas, agen FBI yang menanyainya sangat prihatin terhadap apa yang mereka lihat sebagai dukungannya untuk Hamas dan organisasi Mahasiswa untuk Keadilan di Palestina (SJP), yang berdiri pada 2001 di University of California di Berkeley. "Mereka menanyai saya soal hubungan dengan terorisme," kata Aburas.

Juru bicara FBI, Kelsey Pietranton, mengatakan mereka hanya menyelidiki aktivitas yang mungkin merupakan kejahatan federal atau merupakan ancaman terhadap keamanan nasional. "Fokus kami bukan pada keanggotaan dalam kelompok-kelompok tertentu, melainkan pada aktivitas kriminal," ujarnya.

Nyatanya, agen-agen FBI justru bertanya kepada mahasiswa itu tentang Hamas dan bagaimana SJP mengumpulkan dana. Pada Februari 2018, misalnya, agen FBI menanyai seorang mahasiswa University of California, Los Angeles, soal apakah dana SJP disalurkan ke organisasi di Timur Tengah. Agen itu juga bertanya apakah mahasiswa tersebut tahu siapa yang "selaras dengan Hamas".

Michael Deutsch, pengacara Chicago, menyebut kasus ini sebagai contoh terbaru dari taktik intimidasi dan pengawasan FBI terhadap orang Amerika pendukung Palestina. "Setiap kali FBI mengunjungi rumah-rumah orang atau tempat kerja mereka atau menempatkan informan di tengah acara pengorganisasian publik, itu menciptakan efek menakutkan. Orang-orang khawatir mengangkat isu Palestina di komunitas mereka karena takut menjadi target," katanya.

Kampanye hitam Canary ini memicu kecaman. Lebih dari seribu komunitas akademis mengutuk langkah Canary. "Kami menolak taktik McCarthyisme yang digunakan oleh Canary Mission," demikian pernyataan mahasiswa yang dilansir Electronicintifada.net. Mereka menyebutkan Canary menghukum mahasiswa atas aktivisme mereka dengan merusak karier akademis dan profesional masa depan mereka.

McCarthyisme adalah sebutan untuk kampanye gencar melawan orang-orang yang diduga komunis di pemerintah dan lembaga-lembaga lain di Amerika oleh Senator Joseph McCarthy pada 1950-1954. Orang yang dituduh itu akan dimasukkan ke daftar hitam dan kebanyakan akhirnya kehilangan pekerjaan, meskipun sebagian besar sebenarnya bukan komunis.

Sejumlah mahasiswa Yahudi juga tak setuju dengan cara Canary. "Kami menentang situs ini karena menggunakan taktik intimidasi yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan Yahudi kami," tulis para mahasiswa itu di situs Jewish Telegraphic Agency. "Cara terbaik untuk memerangi ide-ide tersebut adalah melalui wacana terbuka dan analisis kritis terhadap isu-isu seputar konflik."

Abdul Manan (the Intercept, Sputnik, The Jerusalem Post)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus