Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Noda Rwanda Korps Baret Biru

Negara besar menyumbang banyak dana tapi sedikit tentara dalam pasukan perdamaian. PBB memperbanyak personel perempuan untuk mengurangi kasus kekerasan seksual.

5 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gadis 12 tahun itu bersembunyi di kamar mandi saat terjadi penggeledahan terhadap rumahnya di daerah kantong muslim di ibu kota Republik Afrika Tengah, Bangui, 2 Agustus lalu. Tiba-tiba seorang pria yang memakai helm dan rompi biru dari Pasukan Penjaga Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa membawanya ke luar rumah. "Ketika saya menangis, dia menampar saya dan meletakkan tangannya di atas mulut saya," kata gadis itu dalam testimoninya kepada Amnesty International. Tangisan itu tak membuat anggota pasukan perdamaian tersebut iba. Dia tetap memerkosa gadis itu di belakang truk.

Peristiwa serupa kembali terjadi keesokan harinya, yang diduga dilakukan anggota pasukan UN Multidimensional Integrated Stabilization Mission in the Central African Republic (MINUSCA), yang bertugas sejak September 2014 untuk meredakan kekerasan sektarian Kristen dan Islam yang meletus setelah kudeta pada 2013. Dua kasus pemerkosaan itu memicu kemarahan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, yang kemudian meminta sesi khusus di Dewan Keamanan PBB dan memecat pemimpin MINUSCA, Babacar Gaye, dari Senegal.

Pemerkosaan, juga penembakan warga sipil, membayangi Konferensi Tingkat Tinggi Pasukan Perdamaian dalam Sidang Umum PBB di New York, Senin pekan lalu. Konferensi yang dipimpin Presiden Amerika Serikat Barack Obama itu berhasil mendapatkan komitmen tambahan 30 ribu tentara, memperkuat 125 ribu personel yang kini tersebar dalam 16 misi di seluruh dunia. Soal skandal yang mencoreng citra Korps Baret Biru ini, Obama mengatakan, "Itu benar-benar tidak dapat diterima."

* * * *

Pasukan penjaga perdamaian sebenarnya tak disebutkan dalam Piagam PBB 1945. Konsep ini diciptakan untuk menggambarkan apa yang disebut "Bab 6 ½", yaitu operasi yang mendasarkan mandatnya pada penyelesaian sengketa di Bab 6 dan tindakan penegakan hukum di Bab 7. Tapi kini, kata Stewart M. Patrick dalam Council on Foreign Relations edisi 25 September 2015, pasukan perdamaian ibarat roti dan keju PBB, karena mengkonsumsi anggaran PBB dalam jumlah besar dan mengomandoi pasukan yang berasal dari 120 negara yang tersebar di seluruh penjuru dunia yang dilanda konflik.

Misi pertama pasukan perdamaian adalah mengawasi gencatan senjata Arab-Israel pada 1948. Sejak itu, pasukan Korps Baret Biru diterjunkan di berbagai medan, dari Libanon, Siprus, sampai India-Pakistan. Reputasi ini membuat pasukan perdamaian diganjar Nobel Perdamaian pada 1988. Berbeda dengan 1980-an, sejumlah misi PBB pada dekade berikutnya justru dianggap menjadi titik balik kemerosotan yang membuat kredibilitas pasukan perdamaian menjadi tanda tanya.

Titik nadir itu, menurut The Guardian, dimulai dari kasus Rwanda. Perang sipil Rwanda berlangsung sejak 1990-an antara pemerintah, yang dikuasai suku Hutu, dan pemberontak Rwandan Patriotic Front (RPF), yang banyak berasal dari warga Tutsi. Konflik ini berujung pada genosida, yang diperkirakan menewaskan 500 ribu-1 juta orang. PBB mengirim pasukan perdamaian. Salah satunya kontingen dari Belgia, yang dipimpin Letnan Luc Lemaire. Saat itu mereka mengawal sekitar 2.000 warga Tutsi di sekolah teknik di Ibu Kota Kigali.

Ketika kabar pembunuhan massal merebak, markas PBB di New York mengabaikan peringatan bahwa genosida sedang direncanakan. Bukannya menambah pasukan, Dewan Keamanan PBB malah menariknya keluar. New York memberi tugas aneh terhadap pasukan Lemaire: meninggalkan sekolah tersebut untuk mengawal warga asing ke bandar udara dan setelah itu keluar dari sana. Seperti sudah diduga, saat tentara internasional itu pergi, 2.000 nyawa warga Tutsi melayang oleh senjata, granat, dan pisau suku Hutu.

Kontingen Lemaire menyimpan video diary sporadis peristiwa nahas itu. Pada satu titik, kamera yang goyang menangkap penahan pasir senapan mesin dan sebuah truk pikap milisi Hutu yang lewat. Video kemudian berfokus pada log tentara. Di sana terbaca: "New York tidak setuju mengubah aturan keterlibatan". Para penjaga perdamaian tak akan diizinkan untuk menyelamatkan Tutsi. Mikrofon kamera menangkap suara anonim: "Ada pembunuhan dan New York tidak peduli."

Nasib buruk yang menimpa Tutsi di Rwanda adalah titik terendah untuk misi perdamaian PBB, tapi itu bukan satu-satunya. Setahun kemudian, pasukan penjaga perdamaian Belanda gagal menghentikan pembantaian 8.000 pria muslim di Srebrenica oleh tentara Serbia, di sebuah "daerah aman" PBB. Itu menjadi pembunuhan massal yang paling terkenal oleh Serbia di Bosnia.

Pada 2000, pasukan Inggris mendarat di Sierra Leone setelah pasukan penjaga perdamaian melarikan diri dari Ibu Kota Freetown akibat penyerbuan kelompok pemberontak brutal Front Persatuan Revolusioner (RUF). Seorang jenderal Inggris, David Richards, dikirim oleh London untuk mengevakuasi warga negara asing. Dihadapkan pada catatan mengerikan RUF dan dekatnya pembunuhan sejumlah besar warga sipil, ia mengabaikan perintah itu dan menggunakan pasukannya untuk menjadi ujung tombak serangan balasan.

Richards mengeluhkan sikap komandan pasukan PBB India, Mayor Jenderal Vijay Jetley, yang menafsirkan mandatnya sebagai perantara yang netral, termasuk saat di Sierra Leone itu. Dalam pandangan Richards, PBB seharusnya berpihak kepada pemerintah terpilih dan menghadapi pemberontak yang melanggar kesepakatan damai. Pada Mei 2000, ia mengaku sempat pergi ke markas PBB dan menemui Jetley. "Saya mengatakan, 'Jenderal, kita harus menghentikan RUF, Anda harus memberi tahu orang-orang Anda untuk bertempur. Setidaknya mempertahankan posisinya.' Dia sangat enggan melakukannya."

Perbedaan pendapat semacam inilah yang berulang 12 tahun kemudian di Republik Demokratik Kongo (DRC) saat pemberontak bergerak maju di Kota Goma. Komandan pasukan penjaga perdamaian dari India mengabaikan perintah dari pejabat PBB untuk mempertahankan kota. Ia malah mengikuti perintah pejabat Kementerian Pertahanan India di New Delhi yang memintanya tak melawan. Akibatnya, pemberontak merebut Goma, yang memicu kemarahan Ban Ki-moon.

Richard Gowan, direktur penelitian di Pusat Kerja Sama Internasional yang berbasis di New York, mengatakan pasukan India di Sierra Leone dan DRC menerima perintah dari Kementerian Pertahanan di New Delhi, bukan komandan PBB di lapangan. "Praktek seperti itu yang membuat hampir tidak mungkin bagi beberapa komandan pasukan untuk melaksanakan misinya karena mereka tidak memiliki kontrol yang benar atas unit mereka sendiri," katanya.

Misi PBB di Sierra Leone lebih diperumit oleh perselisihan di antara beberapa pasukan sejumlah negara, khususnya Jetley dan wakilnya yang dari Nigeria, Brigjen Muhammad Garba. Dalam sebuah laporan internal PBB dikatakan bahwa Jetley menuduh Garba dan pejabat senior Nigeria lainnya lebih tertarik menyelundupkan berlian daripada menjaga perdamaian. Militer Nigeria balik menuduh jenderal India itu "mencoba membenarkan kebodohannya, kelambanan, dan inefisiensi dalam kepemimpinannya atas pasukan multinasional".

Menurut The Guardian, PBB kehilangan kepercayaan terhadap Jetley di Sierra Leone. Tapi, ketika Sekjen PBB Kofi Annan mencoba mengganti dia, India mengancam akan menarik pasukannya. Penerus Annan, Ban Ki-moon, juga mendapat ancaman yang sama ketika ia akan mengganti komandan PBB India setelah bencana Goma. India sudah mengirimkan 180 ribu personel dalam 49 misi perdamaian. Hingga Agustus 2015, India menyumbang 7.794 personel di pasukan perdamaian, yang hanya kalah jumlah dari Ethiopia (8.309) dan Bangladesh (9.432).

India membela kebijakannya dan menentang upaya negara Barat, yang hanya mengirim sedikit pasukan untuk berjuang dan mati di misi yang sulit dan berbahaya, untuk memperluas misi lebih dari sekadar mengawasi perdamaian. "Para prajurit di helm biru, di bawah bendera biru, tidak memihak. Mereka tidak seharusnya partisan. Jika seseorang ingin tentara untuk masuk dan melawan, mereka harus mempekerjakan tentara bayaran, bukan tentara PBB," ujar Duta Besar India untuk PBB, Asoke Kumar Mukerji.

Mayoritas negara Barat mengirim tentaranya ke Korps Baret Biru dalam jumlah sedikit, yang membuat mereka tak bisa sepenuhnya mengontrol pasukan internasional itu. Dari lima anggota Dewan Keamanan PBB, hanya Cina yang menyumbang tentara lebih dari 1.000 orang, yaitu 2.882 personel. Sedangkan Prancis hanya menyumbang 863 orang, Inggris 286, Amerika Serikat 34, dan Rusia 4 orang. Meski berkontribusi personel sedikit, negara Barat berkontribusi besar dalam anggaran tahun 2015, sekitar US$ 8 miliar: Amerika 28 persen, Prancis 7 persen, Inggris 6,68 persen, Cina 6,64 persen, dan Rusia 3,15 persen.

PBB belajar dari kasus Rwanda dan Bosnia, yang kemudian memiliki etos "bertanggung jawab untuk melindungi". "Tidak akan lagi pasukan PBB berpangku tangan sementara orang yang tidak bersalah dibunuh," tulis Chris McGreal dalam The Guardian edisi 17 September lalu. Pasukan penjaga perdamaian di Sudan Selatan yang beroperasi di sana sejak 2014, UN Mission in South Sudan, mengubah basis mereka menjadi kamp-kamp pengungsi yang melindungi puluhan ribu orang.

Selain soal kontrol komando, perpecahan di kalangan Dewan Keamanan dianggap melemahkan pasukan perdamaian. Kalau tak ada perselisihan di Dewan Keamanan, tepatnya penolakan Rusia, PBB mungkin akan punya pasukan perdamaian di daerah yang kini masih bergolak: Ukraina dan Suriah. Ini pula yang menjadi sebab mengapa banyak misi berada di Afrika. Selain karena banyak terjadi konflik, anggota Dewan Keamanan tak punya banyak persaingan strategis di sana.

PBB juga bergulat dengan tuduhan terus-menerus dari pemerkosaan dan eksploitasi seksual oleh pasukan penjaga perdamaian, yang merusak kepercayaan. Selain kasus pemerkosaan di Republik Afrika Tengah, laporan internal PBB menemukan pasukan perdamaian PBB terlibat dalam transaksi seks untuk mendapatkan uang tunai, perhiasan, pakaian mewah, gaun, parfum, telepon seluler, dan barang-barang lain dengan 58 ribu perempuan dan anak perempuan di Monrovia, ibu kota Liberia, sejak 2003 sampai 2012.

Menurut laporan Christian Science Monitor, banyaknya kasus kekerasan seksual itu membuat PBB menggandakan upaya mengirimkan lebih banyak pasukan penjaga perdamaian perempuan berdasarkan teori sederhana yang sebenarnya belum teruji: lebih banyak perempuan berarti akan berkurang kekerasan. Dan kekerasan berkurang berarti operasi penjaga perdamaian lebih sukses. "Secara umum, wanita cenderung memelihara kehidupan dan bukan menghancurkannya," kata Nozipho Januari-Bardill, penasihat senior perempuan di PBB.

Dari 105 ribu tentara di pasukan perdamaian, jumlah wanita hanya 3 persen. Proporsi ini hampir tak berubah selama 15 tahun terakhir. Dalam konferensi Senin pekan lalu, Ban Ki-moon memang menyerukan agar negara-negara PBB mengirim lebih banyak personel perempuan.

Abdul Manan (The Guardian, Council on Foreign Relation, Christian Science Monitor)


Potret Pasukan Perdamaian

SEJAK 1948, Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan 71 operasi, dan ada 16 yang masih berlangsung.

Misi, Kekuatan, dan Korban

MisiLokasiWaktuKekuatanTewas
MINUSMAMali2013-8.40760
UNAMIDDarfur2007-18.320191
UNTSOTimur Tengah1948-1737
UNMIKKosovo1999-1.83927
UNISFAAbyei2011-3.86718
UNMISSSudan Selatan2011-8.25318
MINUSTAHHaiti2004-8.873102
MINUSCACAR2014-9.2692
UNIFILLibanon1978-6.913120
MONUSCODRC2010-19.88167
UNOCIPantai Gading2004-8.656117
UNDOFSuriah1947-1.06419
UNMILLiberia2003-11.295153
MINURSOSahara Barat1991-2667
UNMOGIPIndia/Pakistan1949-421
UNFICYPSiprus1964-1 .17025

Personel dan Asal Pasukan

Hingga Agustus 2015, Pasukan Perdamaian PBB memiliki 106.506 personel. Rinciannya: 13.563 polisi, 1.811 ahli militer PBB, dan 91.132 anggota pasukan. Ini sumbangan pasukan dari negara besar dan negara yang mengirim lebih dari 1.000 anggota pasukan.
Ethiopia | 8.161
Bangladesh | 8.135
Pakistan | 7.109
India | 6.716
Nepal | 4.299
Rwanda | 5.135
Cina | 2.882
Ghana | 2.820
Burkina Faso | 2.525
Indonesia | 2.524
Nigeria | 2.520
Maroko | 2.314
Senegal | 2.226
Tanzania | 2.249
Afrika Selatan | 2.126
Niger | 1.866
Mesir | 1.539
Togo | 1.410
Uruguay | 1.436
Brasil | 1.264
Italia | 1.102
Benin | 1.091
Chad | 1.110
Prancis | 863
Belanda | 542
Inggris | 286
Jerman | 135
Amerika Serikat | 34
Rusia | 4

Anggaran (2005-2015)*
2015 | 8,5
2014 | 7,8
2013 | 7,3
2012 | 7,8
2011 | 7,8
2010 | 7,8
2009 | 7,1
2008 | 6,8
2007 | 5,3
2006 | 5,0
2005 | 3,9
*Dalam US$ miliar SUMBER: GRAPHIC NEWS, PBB, GUARDIAN, SIPRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus