Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebuah Lawatan Penuh Cinta

Paus Fransiskus baru saja mengakhiri lawatannya di Amerika Serikat. Di Philadelphia ia berbicara tentang imigrasi, kebebasan beragama, juga memimpin misa. Laporan dari kota yang dijuluki The City of Brotherly Love itu.

5 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ribuan orang berdatangan sejak subuh, memasuki bagian tengah Philadelphia, Amerika Serikat. Sebagian besar dari mereka, pada Sabtu dan Minggu dua pekan lalu itu, harus berjalan kaki berkilo-kilometer menuju tempat acara. Anak-anak, perempuan, dan laki-laki segala umur terlihat bangga memegang bendera Vatikan, kuning putih, dan bendera Amerika. Banyak pula yang datang berkelompok dan memakai kaus dari gereja atau organisasi masing-masing.

Tak mudah bepergian pada hari itu, juga hari-hari sebelumnya—sekurang-kurangnya sejak lima hari sebelumnya. Menjelang kedatangan Paus Fransiskus, masyarakat yang tinggal di tengah kota atau Center City harus "tersiksa" karena jadwal bus dan kereta yang berubah. Ribuan penumpang harus berjalan paling tidak dua kilometer menuju pusat kota. Kendaraan umum tak boleh memasuki pusat kota. Hanya ambulans dan mobil polisi serta mobil petugas keamanan yang diizinkan.

Pengamanan yang ketat terlihat, misalnya, dari pagar setinggi tiga meter yang diletakkan di antara trotoar dan jalan raya. Kota berpenduduk 1,5 juta orang di Negara Bagian Pennsylvania itu jadi terlihat tak ramah, seperti penjara. Selain itu, masih ada penghalang beton dan rak sepeda yang digunakan petugas untuk membarikade jalan dan menjadi pos pemeriksaan memasuki tempat-tempat yang akan dikunjungi Paus.

Di Philadelphia, seperti juga sebelumnya di Washington DC dan Kota New York, lawatan pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma ini membutuhkan pengawalan keamanan berlipat-lipat. Sekitar 2.000 anggota National Guard, 265 teknisi bom, dan lebih dari 160 anjing pelacak bom disiagakan untuk menjaga kota.

Paus Fransiskus tiba di Philadelphia dari Kota New York dengan pesawat Boeing 777 yang dicarter dari American Airlines. Di bandara internasional Philadelphia, Paus yang populer dan sering dianggap nyeleneh ini menyalami sebagian masyarakat yang menyambutnya sebelum memasuki Fiat kecil hitam yang membawanya ke Cathedral Basilica of Saints Peter and Paul. Di sini ia memimpin misa yang dihadiri sekitar 2.000 undangan.

Paus juga berbicara tentang kebebasan beragama dan masalah imigrasi di depan Independence Mall, tempat berdirinya Amerika diproklamasikan. Pria kelahiran Argentina ini mengakhiri kunjungan enam harinya di Amerika dengan misa di depan Philadelphia Art Museum, yang diperkirakan menarik sekitar 800 ribu hadirin.

Kunjungannya ke penjara dan perbincangannya dengan korban pelecehan seks, perhatiannya yang besar terhadap institusi keluarga, serta imbauannya agar Amerika lebih ramah terhadap imigran, membuat pria 78 tahun ini dicintai banyak orang. "Pesan Paus saya kira membawa kebaikan bagi banyak orang, bukan cuma bagi umat Katolik," tutur Romo Didik Setiyawan, pastor Indonesia yang bertugas di Gereja Katolik St Thomas Aquinas di Philadelphia selatan.

Karena perhatiannya pada bidang-bidang itulah Paus Fransiskus dijuluki The People's Pope atau Paus Rakyat. Julukan ini bukan hanya datang dari penganut Katolik, tapi juga penganut agama lain. Concha Alborg, misalnya. Wanita kelahiran Spanyol ini sukarela menjadi juru bahasa bagi turis yang tak bisa berbahasa Inggris. Meski harus berdiri delapan jam sehari dan bekerja tanpa bayaran, ia mengaku bahagia bisa mendengar pidato Paus Fransiskus tentang imigrasi di Independence Mall. "Walaupun bukan orang Katolik, saya sangat bahagia bisa melihatnya dari jarak sekitar tiga meter. Ini berkah buat saya," katanya kepada Tempo dengan mata berkaca-kaca. Bagi Concha, "aura cinta" Paus menghapus semua kepenatannya bekerja.

Sebenarnya kunjungan Paus tak hanya mengundang reaksi positif. Di antara berbagai pujian terutama karena mulusnya acara, tanpa gangguan yang berarti, ribuan orang mengeluhkan ketatnya pengamanan dan panjangnya antrean di tempat pemeriksaan.

Miguel Marquez, seorang reporter CNN yang pernah bertugas di berbagai daerah berbahaya di dunia, mengkritik kondisi yang disebutnya "mimpi buruk keamanan" itu. "Saya pernah bertugas di Afganistan, Irak, dan wilayah berbahaya lain, dan tak pernah mengalami ketatnya pengamanan seperti dalam acara ini. Bahkan memasuki Green Zone saja lebih mudah daripada masuk ke lokasi acara Paus," katanya, seperti dikutip Newsworks.org, media nirlaba independen di Philadelphia.

Di antara kelompok yang menyambut Paus dengan keprihatian, Miguel Ortiz termasuk salah satu yang "ekstrem". Pria 46 tahun ini memulai puasa enam hari sebelum kedatangan Paus. Makanan terakhirnya adalah ayam dan nasi, yang ia santap di luar Cathedral Basilica, sebelum ia menghadiri misa pada hari itu—tempat ia menerima komuni. Sejak hari itu, selama seminggu, Ortiz melakukan protes mogok makan dan hanya bertahan dengan minum cairan.

Ortiz menjadikan protes mogok makannya itu sebagai jalan keluar terakhir setelah ia mencoba sejak 2013 untuk mencari solusi atas ditutupnya Gereja La Milagrosa, yang dulu berlokasi di 1903 Spring Garden. "Saya ingin agar Uskup Philadelphia, Charles Chaput, mau bertemu saya dan anggota gereja-gereja Katolik lain yang ditutup untuk mencari solusi atas masalah ini," katanya kepada Tempo di rumahnya yang hanya berjarak beberapa blok dari La Milagrosa. Bagi ayah dua anak ini, La Milagrosa, yang didirikan pada 1912 dan merupakan gereja tertua kelompok Latino di Philadelphia, pantas diselamatkan dan dijadikan tempat bersejarah yang harus dilindungi.

Menurut dia, yang jadi alasan penutupan La Milagrosa bukanlah ketidakcukupan dana seperti yang diutarakan pihak gereja Katolik. "Masalahnya ada di manajemen dana dan gentrifikasi," katanya. Ia menyebut contoh begitu banyaknya gereja Katolik di Philadelphia yang ditutup dan diubah menjadi kondominium atau bangunan komersial.

Ortiz yakin, jika Chaput bersedia berbicara kepadanya, kedua pihak akan bisa mencari jalan keluar. Menurut Ortiz, La Milagrosa tak akan bisa dibuka kembali menjadi gereja karena gedungnya sudah berubah menjadi kondominium. "Saya ingin ada dialog untuk mencari jalan keluar. Bukan demi saya, tapi demi La Milagrosa," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Yang merasa mendapat berkah pada akhirnya memang jauh lebih banyak. Mereka ini bukan saja ratusan ribu peziarah—berbagai media di Philadelphia menyebut angka 800 ribu sampai satu juta, tapi pemerintah belum menyebut angka resminya. Ada juga orang-orang yang bergembira dengan ditutupnya jalan-jalan dan panjangnya antrean. Mereka adalah pedagang kaki lima di sisi-sisi jalan tempat antrean panjang berlangsung berjam-jam. Levenia Woods, yang tinggal di Philadelphia utara, sekitar enam kilometer dari tempat acara, termasuk pedagang yang banyak beruntung. "Saya berdagang sampai tengah malam pada Sabtu dan sampai pukul 10 malam pada hari Minggu. Semua dagangan saya habis terjual. Keuntungan saya hampir mencapai seribu dolar," katanya.

Walaupun jumlah pengunjung jauh dari angka dua juta seperti diprediksi Wali Kota Michael Nutter, kunjungan Paus Fransiskus membawa kenangan indah bagi penduduk Philadelphia, seperti halnya bagi penduduk dunia yang disentuh Fransiskus lewat seruan-seruan kemanusiannya.

Indah Nuritasari (Philadelphia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus