POSTER keluarga berencana masih tersembul di banyak tempat di Daratan Cina, tapi laju kenaikan penduduk malah meningkat. Motto keluarga bahagia dengan satu anak - seperti terpampang di poster-poster itu - sudah tidak mewakili kenyataan yang sebenarnya. Angka kelahiran tahun 1986 rata-rata 20,77 pada tiap 1.000 orang, sedang tahun 1985 hanya 17,8 per 1.000 orang. Berarti 14 juta bayi lahir selama tahun 1986 itu saja, hampir dua juta lebih banyak dari yang diperkirakan. Dan tahun ini, negeri berpenduduk 1 milyar lebih itu masih harus menampung 16 juta bayi lagi. Ledakan bayi? Ya, itulah, ledakan kecil. Segala usaha rupanya gagal untuk menahan ledakan, padahal tahun 1985 angka kelahiran bisa ditekan. Tapi katup pengaman - yakni keharusan punya anak satu saja -- dilonggarkan di daerah pedalaman. Katup ini pada tahun 1983 diberlakukan secara ketat, hingga terjadi pembunuhan bayi perempuan praktek zaman jahiliah yang mengerikan itu - bagaikan epidemi, mewabah di banyak daerah. Terkadang wanita yang melahirkan anak perempuan juga ikut dibunuh. Bagi keluarga Cina, anak lelaki adalah segala-galanya, sedang anak perempuan lebih sering dianggap sial dan pembawa malapetaka. Wang Enfu, 34 tahun, seorang anggota PKC (Partai Komunis Cina) di Provinsi Shandong, bersedia melepaskan keanggotaan partai ketimbang harus kehilangan bayi laki-laki (Time, 11 Mei 1987). Wang sudah mempunyai dua anak perempuan - jumlah yang ditolerir pemerintah tapi ketika dokter memastikan bahwa istrinya hamil lagi, kali ini dengan janin laki-laki pada rahimnya, maka Wang nekat. Tiga minggu sebelum bayinya lahir, Wang dipecat dari partai dan dari pekerjaannya. Apa kata Wang? "Saya pilih bayi saja." Menurut Komisi Perencanaan Negara, hanya 1/4 dari 96 juta pasangan yang subur antara tahun 1979 dan 1983 yang bersedia menandatangani pernyataan untuk punya satu anak saja. Padahal, pemerintah menawarkan bonus yang menggiurkan. Khawatir kampanye satu anak gagal, petugas KB jadi semakin gencar. Mereka memaksa pasangan yang sudah punya anak satu untuk disterilkan dan mengharuskan wanita menggugurkan janin pada kehamilan kedua. Ekses pun tak terelakkan. Pembunuhan terhadap wanita yang melahirkan anak perempuan, ternyata, bukan satu dua. Di Chongqing - satu dari beberapa kota terbesar di RRC - kabarnya terjadi 2.800 pembunuhan semacam itu, yang kini sedang diusut. Mungkin karena kekejaman model ini dan ketentuan KB yang terlalu ketat, AS menghentikan bantuan program KB-nya untuk RRC, 1985. Cina terpukul juga, apalagi tiap tahun untuk kampanye KB habis dana tidak kurang dari US$ 1 milyar ditambah 3,5 milyar pil kontrasepsi dan 840 juta kondom yang dibagi-bagikan lewat klinik KB. Semua itu memang tidak sia-sia. Tahun silam, 86% dari 130 juta wanita subur tercatat menggunakan alat kontrasepsi. Akhirnya, pemerintah bersikap lebih luwes. Anak satu dinyatakan tidak berlaku pada kaum minoritas dan keluarga yang anak pertamanya cacat. Kemudian, 9 dari 29 provinsi di RRC membolehkan warganya punya anak kedua, bila anak yang pertama perempuan. Ternyata, sikap luwes pun membawa ekses, yakni ledakan bayi seperti disebutkan di atas. Faktor lain yang ikut berperan adalah adanya puluhan juta anak-anak Revolusi Kebudayaan, yang kini menjelma sebagai pasangan subur yang paling potensial. Seperti diketahui, pada masa kacau itu (1966-1976) program KB berantakan, hingga selama 10 tahun terlahir sekitar 250 juta bayi! Di samping itu, kehidupan ekonomi yang membaik - karena liberalisasi - telah merangsang orang, terutama petani untuk punya anak lebih banyak. Lagi pula, nafkah mereka tidak tergantung pemerintah, sebaliknya bahkan ada yang berani menyuap petugas, agar dibebaskan dari program KB. "Petani akan lebih kaya dengan beternak babi dan menanam sayur-mayur, ketimbang menandatangani perjanjian satu anak saja," demikian Aprodicio Laquian setengah menyindir. Ahli kependudukan pada UNFPA (United Nations Fund for Population Activities) ini meramalkan bahwa diperlukan satu dua dekade lagi, sebelum pertambahan penduduk Cina bisa dikendalikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini