SEBUAH berita cukup mengagetkan terdengar dari radio Libanon, Senin pekan lalu. Isinya, PM Libanon Abdul Hamid Rashid Karami, 66 tahun, mengundurkan diri. Alasannya, ia merasa kabinetnya gagal membenahi krisis ekonomi Libanon akibat perang saudara selama 12 tahun. Tindakan yang dilakukannya "demi kepentingan bangsa Libanon" itu mengundang perhatian sejumlah golongan di sana. Sebab, baru kali inic dalam sejarah Libanon, permintaan pengunduran diri seorang perdana menteri diajukan tanpa dilengkapi surat resmi kepada Presiden Libanon. Padahal, secara konstitusional, hal itu seharusnya dilakukan Karami. "Pokoknya, saya mengundurkan diri. Cukup dengan pemberitahuan kepada rakyat Libanon saja," ujar Karami, yang sudah menjabat PM sejak tiga tahun lalu. Rashid Karami kesal dengan sikap Gemayel yang tak mau menerima bantuan Syria untuk menyelesaikan perang saudara Libanon, yang sudah berlangsung 12 tahun itu. Padahal, 25.000 tentara Syria, lenkap dengan pasukan lapis baja, diizinkannya memasuki wilayah Libanon, tanpa persetujuan Presiden. Gemayel pun berang. "Ini jelas tindakan intervensi Syria," katanya dalam sebuah pidato awal tahun ini. Amarah Gemayel dibalas dengan aksi boikot oleh Karami bersama 10 menteri yang beragama Islam. Gemayel menyambut dingin pengunduran Karami. Komentarnya, "Saya menyelesaikan masalah ini secara konstitusional, dan sesuai dengan kepentingan nasional." Pada dasarnya, PM Rashid Karami sudah "pusing tujuh keliling". Beberapa politikus Kristen berhaluan keras, konon, menekan dirinya agar cepat-cepat mengundurkan diri, karena kebobrokan ekonomi. Laju inflasi yang mencapai 200 persen mengakibatkan pengangguran meningkat. Langkah penyelamatan pun diambil Karami akhir April lalu, dengan menyusun kebijaksanaan baru, antara lain menaikkan harga kebutuhan dalam negeri. Tapi, lagi-lagi usul ini ditolak golongan kanan. "Kalau begini terus, ya tak akan tercapai rekonsiliasi antara Timur dan Barat Beirut," keluh Karami seakan menyerah. Yang dimaksud adalah rujuk antara golongan Kristen dan Muslim Libanon. Masalahnya kini, sanggupkah Gemayel menyusun kabinet baru. "Saya kira, tak mungkin terbentuk dalam kondisi seperti sekarang," ujar satu sumber dari golongan Muslim. Sebab, bagaimanapun, belum ada seorang calon yang bisa menggantikan kedudukan Karami. Lagi pula, Presiden Gemayel harus berkonsultasi dulu dengan Ketua Parlemen Libanon, Hussein Husseini, tokoh golongan Muslim Syiah. Hussein pernah ikut memboikot Gemayel, yang beragama Kristen Maronit itu. Sesuai dengan UUD Libanon -yang dianggap tak cocok lagi dengan perkembangan zaman - kursi perdana menteri harus dijabat seorang Muslim Suni, yang ditunjuk oleh presiden dan disetujui ketua DPR. Sementara itu, Amin Gemayel menurut siaran radio lokal--tengah berkonsultasi dengan para politikus Kristen seraya mengadakan kontak tidak langsung dengan Rashid Karami. Dalam situasi yang serba tidak menentu itu, Gemayel menghubungi Suleiman Franjieh, bekas presiden Libanon, yang dekat dengan Syria, di kota Zghorta, Libanon Utara. Tatkala bersantap siang bersama, Sabtu lalu, sebuah bom yang ditempatkan di sebuah mobil meledak. Ledakan bom yang hanya berjarak 600 m dari kediaman Franjieh itu, melukai 27 orang. Tak diketahui apakah bom itu sengaja ditujukan kepada Gemayel, atau ada kaitannya dengan pertikaian dua kelompok Kristen di kota tersebut. D.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini