SEKILAS terlihat, daerah itu seperti sebuah kawasan industri di tengah hutan. Sebuah pabrik dengan peralatan rumit tampak berdiri megah di tengah. Di sekitarnya ada restoran yang teduh. Beberapa rumah mewah, lengkap dengan mesin penyejuk, berderet rapi. Sementara itu, sebuah lapangan basket dan taman bermain anak-anak dibangun di dekatnya. Lalu ada hanggar untuk pesawat terbang kecil dan landasan pacu, melengkapi kawasan itu. Jangan salah. Itu bukan pabrik biasa tapi pabrik maut" karena menghasilkan 1.500 kg kokain setiap minggu. Kawasan yang terletak di dalam belantara Amazone, 100 km utara Santa Ana, Bolivia, itu dapat ditemukan polisi khusus antinarkotik Bolivia, dalam sebuah operasinya, Jumat pekan lalu. Operasi itu sendiri unik karena merupakan operasi militer pemberantasan narkotik yang dilakukan AS di luar negeri untuk pertama kali. Meski dilaksanakan secara diam-diam, operasi gabungan AS-Bolivia ini agaknya kedodoran. Buktinya, misalnya, terlihat ketika 30 anggota polisi Bolivia "Leopard" (Macan Tutul) -- nama satuan antinarkotik itu -- melompat dari helikopter ke dekat sebuah sasaran pengolah narkotik yang terdiri dari 15 tenda, tak lama setelah sebuah pesawat Cessna mendarat di dekatnya. Pilot pesawat itu ternyata berhasil melarikan diri, dan hanya seorang anak berusia 17 tahun yang membantu sang pilot, yang dapat ditangkap. Seperti halnya banyak "operasi rahasia" AS sebelumnya, kali ini operasi ini juga mengandung banyak kekonyolan. Dimulai setelah pesawat raksasa C-5 angkatan udara AS mendarat di Santa Cruz, Bolivia, Senin pekan lalu. Hampir seluruh masyarakat negara Amerika Latin itu mengetahui kehadirannya, padahal ini operasi rahasia. Maklum baik koran lokal maupun media AS sendiri telah menulis mengenai rencana ini secara besar-besaran beberapa hari sebelumnya. Tentu saja, pengedar obat terlarang itu kabur duluan. Kekonyolan berikutnya terjadi, ketika pesawat raksasa yang mengangkut serdadu dari pos Komando Selatan AS Panama tertunda keberangkatannya selama tiga hari, gara-gara petugas pengisi bahan bakar di Bandara Santa Cruz mengancam mogok. Operasi yang melibatkan 160 tentara AS yang dilengkapi dengan senjata M-16, dua pesawat helikopter, dan sebuah pesawat raksasa C-5 plus 80 Polisi 'Leopard' itu memang merupakan tindakan AS pertama kalinya melakukan operasi militer melawan narkotik di negara asing. Hal ini, tentu saja, mengundang kecaman. Di La Paz, ibu kota Bolivia, misalnya. Partai oposisi mengecam tindakan Presiden Victor Paz Estenssoro, karena tak berkonsultasi dengan kongres sebelum mengundang kehadiran militer AS di sana. Sampai-sampai Jacobo Libermann, penasihat Presiden Estenssoro, berkata, "Yang kita inginkan bantuan dalam bentuk yang berbeda, misalnya pesawat pengintai dan helikopter yang dijalankan sepenuhnya oleh warga Bolivia. Bukan seperti itu." Operasi ini sebenarnya termasuk kecil dalam skala militer. Namun, secara politis ini menunjukkan semakin besarnya komitmen pemerintahan Reagan dalam menggunakan militer untuk membasmi narkotik. Ini tampaknya merupakan alternatif baru untuk meningkatkan daya pukul DEA (Drug Enforcement Administration), yang dananya akan dipotong dari US$ 500 juta menjadi US$ 200 juta, tahun depan, karena pembatasan anggaran berdasarkan UU yang baru. Padahal, industri gelap kokain di AS diperkirakan beromset sebesar US$ 125 milyar (bandingkan dengan APBN Indonesia hanya US$ 20 milyar). Di AS diperkirakan terdapat 500.000 pecandu narkotik. Sebuah penelitian menyimpulkan, sepertiga mahasiswa AS menggunakan kokain. Akibatnya, sejak 1980 kematian akibat obat bius itu meningkat tiga kali lipat. "Beberapa tahun lalu, kita dapat membuat grafik para penderita itu, tapi kini grafik itu ruwet seperti sepiring spaghetti," ujar seorang ahli AS. Pembunuhan para agen DEA dan warga AS, yang dilakukan para anggota sindikat obat bius, pun merajalela. Tahun lalu, seorang agen DEA di Meksiko hilang diculik. Seorang wanita karyawan Kedubes AS di Bogota tewas, karena mobilnya meledak akibat bom waktu. Yang lebih ngeri, 19 anggota program penyembuhan obat bius mati ditembak di hutan Amazone. Sedang Dubes AS Edwin Corr di Bolivia ditembak pembunuh bayaran dengan imbalan US$ 500.000. Tak heran bila Presiden Reagan kemudian menandatangani perintah tertanggal 8 April 1986 -- yang kemudian dinamai operasi "Blast Purnace" -- untuk membantu pemerintah Bolivia membasmi pabrik pengolah kokain, tanpa menghancurkan perkebunan coca di sana. Namun, para petani Bolivia tak percaya. "Mereka pun ingin menghancurkan perkebunan coca kami," kata Eliseo Gutierrez, seorang wakil mereka, Senin pekan ini. Bolivia sendiri sudah mencoba cara lain. Desember lalu para petani itu ditawari uang US$ 250 untuk tiap hektar tanaman coca yang tak dipanen. Para petani itu menolak, karena mereka dapat memperoleh US$ 10 ribu dari tanaman mereka. Hasil ekspor negara Amerika Latin berpenduduk 6,3 juta jiwa itu US$ 1,5 milyar, US$ 600 juta di antaranya dari ekspor daun coca. Meski memiliki 650 polisi khusus yang dilatih untuk memerangi narkotik di bawah pengawasan pasukan "Baret Hijau" AS, serta dana US$ 48 juta, tampaknya usaha pemerintah Bolivia memberantas narkotik sia-sia. Penduduk asli biasa rmengunyah daun coca pada waktu senggang. Mereka juga mempunyai seorang Robin Hood bernama Roberto Suarez Gomez, 53. Penerbang ulung yang selalu mengantungi pistol berlapis emas, dan dihukum in absentia selama 15 tahun, itu selalu membeli hasil produksi para petani itu dengan harga tinggi. Kini Suarez, yang diduga mempunyai omset sekitar US$ 400 juta setahun, melarikan diri ke Rio de Janeiro, Brasil, setelah pabrik penyulingannya diserbu oleh pasukan "Leopard". Didi Prambadi, Laporan Bambang Harymurti (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini