DI rumah tahanannya yang dijaga ketat, di daerah Saunchaung, mungkin Aung San Suu Kyi masih bertanya-tanya. Pemimpin Partai Liga Nasional Demokrasi (LND), partai oposisi, tentu belum tahu bahwa Ahad malam kemarin, di markas partainya, orang bersorak-sorak. Kemenangan demi kemenangan terdengar dari berbagai wilayah pemilu di Yangon, ibu kota Myanmar. Sebuah pemilu penting, yang ditunggu selama 30 tahun oleh 41 juta rakyat Myanmar (negeri yang dulu disebut Burma) guna mengubah nasibnya. "Kemenangan pertama Liga Nasional Demokrasi diraih oleh Nyonya San San dari daerah pelabuhan Seikkan," terdengar pernyataan dari pengeras suara. Langsung orang-orang yang berjubel di luar bersorak. Tak cuma itu. Ternyata kegembiraan Nyonya San San, 58 tahun, ibu lima anak, bukan kegembiraan semalam. Kemenangan bekas wakil direktur di Departemen Tenaga Kerja -- yang dipecat karena terlibat demonstrasi pada 1988 -- itu pun bukan kemenangannya sendiri. Kepada wartawan, Senin pekan ini, pemerintahan militer Myanmar mengakui bahwa partai oposisi, Partai LND, memenangkan dua pertiga suara. Sungguh, ini di luar dugaan. Jenderal Saw Maung, yang mengambil alih kekuasaan pada 18 September 1988, menepati janjinya: mengadakan pemilu multipartai bebas. Tak percuma bila pemerintahnya mengundang sejumlah wartawan dari luar negeri (termasuk Yuli Ismartono, koresponden TEMPO) untuk menyaksikan jalannya bukti adanya demokrasi itu. Padahal, sebelum hari pemilu 27 Mei itu, menurut sejumlah kabar, jalan-jalan di Myanmar masih dipenuhi tentara bersenjata lengkap, tank, dan kendaraan lapis baja berseliweran. Tapi mendadak, Sabtu, sehari sebelum pemilu, suasana Myanmar adalah suasana kota dalam damai. Memang ada tentara, tapi mereka sedang memperbaiki jalan, tanpa menyandang senjata sebuah pun. Padahal, terasa adanya rasa apatis rakyat untuk pemilu kali ini. "Rakyat tak yakin bahwa pemilu akan mengubah kehidupan politik di Burma," kata Sein Win, koresponden kantor berita Jepang Kyodo. Juga, konon, rakyat Myanmar bingung. Begitu banyak partai yang ikut pemilu. Ada sekitar 2.000 calon -- dari lebih kurang 90 partai politik -- untuk 492 kursi diparlemen. (Mungkin jumlah ini sudah disederhanakan. Ketika diumumkan akan ada pemilu multipartai, dua tahun lalu, segera terdaftar 225 partai politik). Padahal, sampai sehari sebelum hari pemilu, keluhan-keluhan pihak oposisi masih terdengar keras. Konon, partai oposisi harus berkampanye di bawah tekanan-tekanan. "Kami menghadapi larangan macam-macam," tutur Khin Maung Swe, satu dari 13 anggota panitia eksekutif Partai LND. "Pemerintah sering membuat bingung rakyat dengan menyatakan bahwa yang penting pemimpin nasional, bukan pemimpin politik," tambahnya. Itulah, katanya lagi, yang membuat rakyat jadi apatis. Dan biasanya, dalam suasana begitu, muncul tuduhan-tuduhan. Menurut Khin Maung Swe, beredar kabar suap. Disediakan 25 kyat untuk mereka yang memilih Partai Persatuan Nasional -- partai dukungan pemerintah, yang dulu bernama Partai Program Sosialis yang didirikan oleh Ne Win, penguasa militer yang dijatuhkan dua tahun lalu. Dan 500 kyat untuk sebuah desa yang memenangkan Partai Persatuan Nasional itu. Padahal, beberapa waktu sebelum pemilu, beberapa pemimpin oposisi ditangkap. Aung San Suu Kyi, 45 tahun, pemimpin pucuk Partai LND, mulai kehilangan kubebasannya pada Juli 1989. Menjelang pemilu, enam dari anggota eksekutif partainya ditahan. Di Ahad, hari pemilu, warga Yangon bagaikan menikmati liburan besar. Sehabis memilih, banyak yang lalu duduk-duduk di warung kopi. Di jalan-jalan, tak tampak polisi, apalagi tentara. Hanya ada sejumlah truk di belakang gedung-gedung besar, berisi penuh tentara dalam keadaan siaga. Mungkin untuk menjaga segala kemungkinan. Sampai pukul 4 sore, saat pemilu ditutup, tak terdengar keributan berarti. Jenderal Saw Maung dan istrinya muncul di tempat pemilihan di daerah elite Dogon sekitar pukul 9.30. Selesai memilih, Saw Maung tampak tertawa-tawa. "Kapan Anda akan kembali ke barak, Jenderal?" tanya TEMPO. "Nanti, setelah pemerintah baru dibentuk parlemen." "Anda akan menyerahkan kekuasaan kepada yang menang?" "Tergantung sikap partai. Saya akan mematuhi hukum yang berlaku," jawab Maung sambil tetap berjalan menuju jip tentaranya. "Kalau Partai Liga Nasional Demokrasi yang menang?" "Tak ada masalah." "Apakah tahanan politik akan dibebaskan?" "Itu bukan urusan saya. Saya sudah menepati janji mengadakan pemilu. Yang terjadi sesudah ini bukan urusan saya." Yang kemudian tampak keluar dari tempat pemilihan adalah Brigjen. Khin Nyunt, anggota Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Nasional, lebih dikenal sebagai kepala intelijen. Ia menghindar dari wartawan. Dan kini, setelah diketahui bahwa Partai LND menang, toh sejumlah masalah masih menghadang. Orang berharap bahwa janji militer ditepati: menyerahkan kekuasaan dengan damai. "Tapi, harus kami akui bahwa militerlah yang pegang kartu," kata Khin Maung Swe, anggota eksekutif Partai LND tadi, seorang geolog yang dahulu bekerja di perusahaan minyak negara. Sementara itu, pucuk pimpinan LND, Aung San Suu Kyi, sejak Desember lalu, mesti lebih bersabar. Pemerintahan militer menyatakan, sejak bulan itu dua anaknya dan suaminya dilarang berkunjung. Mereka dilarang masuk Burma. Bahkan, kabarnya, paspor mereka sudah dicabut. Pemerintah memang tetap menghargai hak memilih Suu Kyi. Menurut sumber pemerintah, lembar yang mesti dipilih diantarkan kepadanya, lalu disegel, dan dikirimkan ke tempat pengumpulan suara terdekat. Tapi ia tak bisa mencalonkan diri. Sebab. undang-udang menyatakan, orang yang tinggal di luar negeri dan menerima gaji dari lembaga asing tak punya hak mencalonkan diri. Ironisnya, undang-undang yang berlaku sejak 1947 itu dibuat oleh Jenderal Aung San, ayah Suu Kyi. Dahulu, pasal itu dibuat untuk mempertahankan nasionalisme Burma dari tetangga kuat: India dan Muangthai. Menurut para pemimpin LND, sehari-hari di tahanannya di daerah San Chaung, Suu Kyi cuma membaca, menulis, dan main piano. Seorang bibi dibolehkan menemaninya untuk membantu masak dan membersihkan ruangan. Begitulah sebuah upaya menegakkan demokrasi berjalan damai. Telah hapuskah tragedi berdarah di Institut Teknologi Rangoon, Maret dua tahun lalu? "Saya tak bisa melupakan tumpahnya darah mahasiswa kala itu," kata seorang mahasiswa Matematika. "Tapi saya harus sabar, menunggu hasil pemilu. Bila pemilu tak mengubah apa pun, kami siap turun ke jalan lagi. Sejak dua tahun lalu, sejak pembantaiantanpa peluru di Jembatan Putih yang menghubungan Institut Teknologi Rangoon dan kampus utama Universitas Rangoon, kampus-kampus di Myanmar masih ditutup. Rencana pemerintah baru setelah pemilu akan dibuka lagi. Maka, terkesan mahasiswa kini apatis. Banyak perkumpulan mahasiswa bubar. Ada yang tak lagi kuat semangat berorganisasinya, ada yang habis anggotanya: lari ke perbatasan Muangthai, atau bergabung dengan gerilyawan suku Karen. Soal pemberontakan Karen, suku terbesar dari 12 suku minoritas di Myanmar adalah salah satu masalah. Selama ini, pemerintahan militer bersikap kaku. Baru ada perundingan, katanya, bila gerilyawan bersedia meletakkan senjata. Kini, setelah LND jelas menang, ada kemungkinan sikap pemerintah Yangon berubah. "Tapi, bila itu terjadi, tentara bisa marah, karena sudah beberapa orang anggota militer yang gugur melawan gerilyawan Karen," kata seorang diplomat. Terbentuknya pemerintahan baru memang masih menunggu waktu: parlemen terbentuk, parlemen membuat undang-undang, sesudah itu baru pemerintahan dibentuk. Rangkaian ini makan waktu paling cepat enam bulan, tapi bisa lebih dari setahun. Selama waktu tersebut, tak seorang pun pengamat sosial-politik di Burma berani meramalkan yang mungkin terjadi . Yuli Ismartono (Yangon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini