KALAU perut sudah kenyang, biasanya, otak mulai berputar. Paling tidak, demikian peri yang berlaku bagi rakyat Singapura. Dan memang, setelah lewat tiga dasawarsa mencapai kepuasan material -- dengan pendapatan per kepala lebih dari US$ 9.000 -- tetangga kita ini sudah lebih dari siap untuk membicarakan masalah yang menyangkut nonmaterial. Peringatan pertama, konon, diucapkan oleh Perdana Menteri Goh Chok Tong tiga tahun lalu. Goh, yang saat itu masih bertindak sebagai Wakil Pertama Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, prihatin menyaksikan pergeseran nilai di antara penduduk. Singapura, katanya, butuh melestarikan identitas dirinya demi menghadapi sistem Barat yang individualistis dan materialistis. Goh memimpikan semacam "nilai kebersamaan" untuk rakyat Singapura. Oleh Dewan yang dipimpin Menteri Perdagangan dan Industri Lee Hsien Loong -- putra Lee Kuan Yew -- nilai itu dirumuskan dalam empat hal: toleransi ras dan agama, permufakatan, kepentingan masyarakat di atas kepentingan perseorangan, serta keluarga sebagai dasar masyarakat. Tiga tahun kemudian, Sabtu pekan lalu, ilham itu memperoleh sosoknya yang pas, dan dituangkan dalam sebuah Buku Putih mengenai Nilai-nilai Bersama. Di situ, disebutkan lima sila yang akan menjadi pemandu pengembangan identitas nasional Singapura. Rupanya, dalam penyusunan, dari empat hal yang dirumuskan sebelumnya, ada satu hal ditambahkan. Maka, Singapura pun kini punya semacam Pancasila Indonesia. Tak sama benar, memang. Sila pertamanya, misalnya, bukan Ketuhanan, melainkan "Kepentingan masyarakat di atas kepentingan perseorangan." Maklum, negeri ini terdiri dari banyak ras, hingga diperlukan sesuatu untuk mengikat. Menurut data 1989, tiga perempat dari penduduk Singapura yang berjumlah 2,6 juta jiwa itu keturunan Cina. Selebihnya keturunan Melayu, India, dan grup etnis lainnya. Sementara itu, pengaruh Barat di negeri yang kebanyakan warganya memeluk Budhisme atau Kong Hu Chu itu terus mengalir. Maka, bahasa Inggris pun resmi dipakai dalam pemerintahan, meski bahasa Cina dan Tamillah yang banyak dipakai berkomunikasi sehari-hari. Bahkan, mulai 1987, bahasa pengantar di sekolah ditentukan bahasa Inggris, bukan lagi yang lain. Dan itu mencemaskan. "Akibatnya, generasi muda Singapura -- yang dididik secara Barat dan fasih berbahasa Inggris -- sering menerima pemikiran dan pengetahuan baru tanpa menyaringnya terlebih dahulu," demikian Presiden Wee Kim Wee ketika membuka sidang Parlemen awal tahun 1989. Ia menegaskan bahwa sebagian besar dari sumber informasi yang membanjiri Singapura berasal dari Barat dan dalam bahasa Inggris. Dari masalah itulah ditemukan tambahan sebuah sila. Wee membayangkan generasi penerus terpengaruh untuk menanggalkan citacita tradisional yang mewarnai bangsanya: moralitas, kewajiban terhadap sesama, dan kemasyarakatan. Karena itulah, diperlukan "Kasih sayang dan dukungan masyarakat untuk individu" guna mempertahankan, nilai tradisional itu. Rumusan itu memang agak bertolak belakang dengan sistem kapitalis, yang menghargai individu berdasarkan kontribusi ekonominya. Tapi Wee punya contoh, yang mendukung bukan cuma semangat kapitalis yang bisa menjadikan sebuah masyarakat menjadi makmur. Ia mengingatkan pada masa penjajahan, di saat keluarga Cina di Singapura membentuk kekerabatan untuk membantu para pendatang baru mendapatkan perumahan, pendidikan, dan mata pencaharian. Juga adanya sistem gotong-royong di antara bangsa Melayu. "Ini yang menjadikan Singapura negara besar," ia menegaskan. Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini