KONPERENSI Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Manila tinggal satu bulan lagi, tapi masih dipertanyakan kini apakah pertemuan itu bisa berlangsung sebagaimana mestinya. Ada rasa waswas dan ragu-ragu, serta berbagai alasan di baliknya. Isu kudeta militer tetap paling menggoda, dibumbui keberangasan sparrow unit dari gerilyawan komunis NPA, lengkap dengan ledakan bom dan aksi-aksi penembakan di beberapa tempat di Manila. Terakhir, pihak luar sangat tergoda mempermasalahkan kemampuan Cory untuk mengatasi kemelut itu. Keraguan memuncak ketika dua pekan lalu pasukan keamanan menemukan bom waktu, yang terpasang di PICC, gedung tempat KTT akan diselenggarakan. Itu terjadi hanya beberapa jam sebelum Raul Manglapus, Menteri Luar Negeri Filipina yang baru sebulan diangkat, berangkat ke Muangthai, Malaysia, dan Singapura. Kunjungan tersebut dimaksudkan untuk memberi jaminan keamanan bagi penyelenggaraan KTT itu. Sumber militer mencurigai golongan ekstrem kanan (termasuk kedalamnya bekas loyalis Marcos) di samping gerilyawan komunis NPA (Tentara Rakyat Baru) yang sengaja mengeruhkan suasana. Ketika pengawal pangkalan AU Amerika, Clark, juga diserang, lengkaplah usaha mempermalukan Cory di mata ASEAN. Tapi, "Kata sudah terkatakan, langkah surut berpantang tidak." Sampai laporan ini dibuat, Manila tetap serius bertindak sebagai calon tuan rumah KTT, sementara negara anggota ASEAN lainnya tetap serius mempersiapkan diri sebagai calon peserta KTT. Di tengah persiapan dan kecemasan -- yang dipendam terjadi ledakan "bom" yang dibawa Menlu Raul Manglapus. Pada kunjungan ke tiga negara tersebut, ia mengetengahkan masalah dalam negeri Filipina, yakni soal dua pangkalan militer Amerika (pangkalan AU Clark dan pangkalan AL di Teluk Subic). Kabarnya, Manglapus mendesak agar masalah kehadiran pangkalan militer itu masuk dalam agenda KTT pada 14-16 Desember mendatang. Dengan kata lain, ia ingin mendesakkan isu bilateral itu menjadi isu regional. Sebegitu jauh, hanya Lee Kuan Yew yang memberi tanggapan terbuka. Ia mempertahankan hadirnya Amerika di Clark dan Subic, dengan alasan kedua pangkalan itu berguna mengimbangi Soviet dikawasan ini. Apakah dukungan Lee seperti ini yang dicari Manglapus? Inilah yang masih teka-teki. Jauh sebelum menjabat menlu, Manglapus sudah bicara tentang keterpencilan Filipina di tengah sikap ambivalensi ASEAN dalam memikul beban hubungan militernya dengan AS. Pendapat yang bunyinya kurang lebih sama dilontarkan lagi oleh Manglapus, tak lama sebelum ia ditunjuk Cory sebagai menlu, menggantikan Salvador Laurel, Oktober lalu. Jadi, sebenarnya tidak ada yang baru. Tapi ada juga yang menghubungkan manuver Manglapus itu dengan perubahan sikapnya terhadap AS. Tiga belas tahun hidup dalam pengasingan di Negeri Paman Sam, ia mengkaji lagi nilai persahabatan dengan negara adidaya itu secara lebih kritis. Ia menolak keterlibatan Manila dalam Perang Vietnam, lalu bicara tentang perlunya bagi Filipina untuk beranjak keluar dari bayang-bayang AS. Dikatakannya, ini adalah bagian tak terhindarkan dari proses mendewasakan diri sebagai bangsa. Karena itu, ada yang menafsirkan bahwa "bom" Manglapus semata dimaksudkannya sebagai upaya menggalang front ASEAN terhadap AS. Perkiraan lain mengatakan, itu hanya akal-akalan Filipina menjelang perundingan bilateralnya dengan Amerika tahun depan, sehubungan dengan kontrak sewa Clark dan Subic. Perpanjangan sewa kontrak sudah harus ditinjau kembali, sebelum kontrak yang sekarang berakhir takun 1991. Dengan demikian, "gerak tipu" Manglapus kasarnya adalah buat "memeras" Amerika dalam merumuskan kontrak sewa baru, tahun 1989. Perjanjian yang dibuat Marcos dengan pemerintahan Reagan menetapkan bahwa Filipina hanya menerima US$ 900 juta dalam jangka waktu lima tahun yang bisa berupa uang tunai, bantuan jasa, benda, atau lainnya -- suatu jumlah yang jelas terlampau kecil. Dan jumlah sekian tak berpotensi untuk mengangkat Filipina dari krisis ekonomi yang ditinggalkan Marcos. Perkembangan selanjutnya membuktikan, pandangan bahwa isu pangkalan AS itu merupakan bagian dari "perang suci" pribadi Manglapus yang anti-Amerlka tampaknya kurang berdasar. Sebagai pembantu presiden, katanya, ia telah berjanji hanya akan menjalankan kebijaksanaan pemerintahan Cory dan bukan untuk memenuhi ambisi pribadi. Sebenarnya, kalau Manila bertujuan menarik sewa lebih besar, lebih untung jika perundingan dilakukan secara diam-diam. Lagi pula, gembar-gembor mencari dukungan tetangga hanya akan memperburuk citranya di dunia internasional. Apa pun masalahnya, isu pangkalan asing tampak lebih erat terkait pada masalah dalam negeri Filipina, ketimbang masalah stabilitas regional Asia Tenggara Seperti diketahui, konstitusi baru menetapkan bahwa setiap perundingan Amerika-Filipina, mengenai pangkalan bukanlah semata-mata "persetujuan eksekutif". Harus ada persetujuan dari dua pertiga jumlah suara dalam Senat. Bagi bekas Senator Lorenzo Tanada, 88 tahun, ketetapan ini memberi peluang lebih besar dalam upaya menyukseskan perjuangannya menentang basis Amerika. Tanada, pengacara ulung yang juga tokoh Koalisi Anti-Pangkalan Militer (ABC-Anti-Bases Coalition) mengatakan, "Teman-teman mengatakan saya sedang mimpi di siang hari bolong. Tapi kalau kami bisa meyakinkan sembilan orang saja dalam Senat untuk menentang pangkalan, itu berarti tak akan ada lagi perjanjian tentang basis militer tersebut." Ada kecurigaan bahwa di Subic dan Clark tersimpan senjata nuklir. Pemerintah Amerika selalu menutup mulut kalau kapal-kapal atau pesawat terbangnya membawa senjata pamungkas itu. Kecurigaan ini ada benarnya juga. Yang jelas, hampir semua kapal selam Amerika yang beroperasi di Pasifik, misalnya, selalu dilengkapi persenjataan nuklir. Golongan kanan sebaliknya menentang setiap niat untuk membongkar pangkalan itu. Mereka tidak saja melihatnya dari segi ekonomi -- yakni menyediakan lapangan kerja untuk ribuan warga Filipina -- tapi faktor regional pun, kata mereka, mesti diperhitungkan. Alasannya: Subic dan Clark mutlak perlu sebagai pengimbang kehadiran Uni Soviet di Teluk Cam Ranh, Vietnam. Alasan golongan kanan ini pun ada benarnya. Basis militer itu telah menyediakan lapangan kerja untuk rakyat, bahkan poll terakhir menunjukkan 60% warga Filipina ingin agar pangkalan AS dipertahankan. Atas dasar itu, langkah Manglapus yang menghendaki anggota ASEAN turut berbicara perihal Subic dan Clark sudah terbentur-bentur seja6 awal. Kemungkinan lain adalah situasi yang makin memburuk di Filipina sejak kudeta "Gringo" Honasan pada 28 Agustus lalu. Walaupun percobaan kup itu gagal, kredibilitas Cory sudah demikian merosot. Malah popularitasnya -- terutama di kalangan golongan kanan dan militer - ditandingi oleh sosok Honasan, yang sampai sekarang masih belum tertangkap itu. Karena kepemimpinan nasional dewasa ini tampak lemah, lawan-lawan Cory baik yang ada di kanan maupun dl kirl tak ingin melewatkan kesempatan ini. Mereka meningkatkan pengacauan dengan serangkaian pembunuhan, pengeboman, dan berbagai aksl protes. Malangnya lagi, militer, yang menganggap Cory terlalu lunak terhadap komunis, tampaknya tak berdaya atau tak sungguh-sungguh mengatasi itu. Untuk memperbaiki citranya, akhir-akhir ini Cory telah berusaha menjadi "wanita besi", terutama dalam menghadapi komunis. Sekitar sebulan yang silam dalam sebuah pldato la menyerang organl-aslorganisasi buruh kiri yang dituduhnya tak mengikuti aturan permainan demokrasi. Sementara itu, ia menyetujui tambahan dalla untuk militer, dan terakhir merestui pcmbentukan pasukan partikelir - lebih dikcnal dengan nama vigillantes -- yang bertugas membasmi kaum komunis. Akan halnya bahaya komunisme di Filipina, ini dianggap terlalu dibesar-besarkan. NPA tidaklah sehebat yang diberitakan. Rangkaian pembunuhan oleh sparroq urit bahkan akan berbalik menjadi bumcran untuk mereka. Aksi-aksi berdarah itu justru membangkitkan amarah orang kota, sedan di beberapa daerah perlawanan rakyat tersa lur lewat vigillantes. Hampir bisa dipastikan, NPA tak akan mampu mengalahkan militer Filipina apalagi merobohkan pemerintah yang berkuasa - dengan perang gerilya. Sebaliknya, tentara Filipina, dalam keadaannya seperti sekarang, juga takkan mampu mengalahkan gerilyawan komunis. Dalam status quo ini, masalahnya seberapa banyak pemerintahan Cory akan dirugikan, dan sampai berapa jauh golongan militer ataupun ekstremis kanan bisa merebut simpati rakyat. Sementara itu, 13 November lalu Manglapus sudah mundur setapak. Ia mengatakan tak benar bahwa ia hendak memaksakan agar masalah pangkalan AS jadi persoalan regional. Atau memaksa ASEAN mengeluarkan deklarasi bersama tentang perlu tidaknya pangkalan Amerika itu dipertahankan. Tapi ia pun tak bisa berbicara di muka Kongres dan mengatakan kedua pangkalan Amerika itu diperlukan demi keamanan regional. Manglapus membandingkannya dengan situasi Eropa tempat tak ada satu pemerintah pun yang berani mengatakan kepada parlemen bahwa ia akan mempertahankan persekutuan dengan Amerika demi mempertahankan seluruh Eropa. Kalau ada, yang berani berbuat itu, "pemerintahnya akan jatuh dalam waktu satu jam saja." Tapi, di samping itu, ia meminta pengertian ASEAN. "Dalam 40 tahun terakhir ini Filipina telah menanggung beban pertahanan Asia Tenggara sendirian saja," demikian kira-kira ia mengatakan. Ia pun tak menyanggah bahwa kawasan ini telah terperangkap ke dalam pertentangan antara dua superpower. Meskipun demikian, masalah itu sudah "telanjur" menjadi isu Asia Tenggara. Dan setiap pembicaraan mengenai kehadiran kedua pangkalan militer itu pasti akan melibat masalah keamanan regional dan sikap setiap negara Asia Tenggara. Besar kemungkinan, memang itulah yang diinginkan oleh Manglapus. Bagaimana isu itu dilihat dari kaca mata global? Amerika berpendapat, pangkalan Clark dan Subic penting, "tapi tidak vital." Kehadirannya di sana lebih bermakna politis ketimbang strategis. Namun, kalau ia harus angkat kaki dari kedua tempat itu sebagai penukar langkah Uni Soviet untuk meninggalkan Cam Ranh, itu pasti takkan diterima. Cam Ranh bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan Subic dan Clark. Di Amerika sendiri dewasa ini ada kecenderungan yang cepat atau lambat akan mendorong Amerika mundur dan kedua tempat itu. Masalah keuangan adalah faktor utama. Itulah sebabnya Amerika menganjurkan Jepang agar lebih berperan dalam pertahanan di Pasifik dan Asia Timur sesuatu yang tentu saja ditentang oleh negara-negara Asia. Buat negara-negara Asia Tenggara sendiri, kehadiran kedua pangkalan itu jelas memperingan beban pertahanan mereka. Semua negara Asia Tenggara, dengan kekecualian Vietnam dan pemerintah Phnom Penh, diam-diam atau terang-terangan ingin agar kedua pangkalan itu dipertahankan. Uni Soviet tentu menginginkan agar Amerika angkat kaki. Absennya Amerika dari Clark dan Subic setidaknya menghilangkan sebagian besar ancaman dari sektor selatan, andai kata suatu perang meletus. Dengan demikian, ia akan lebih bisa memusatkan perhatian pada medan perang di Eropa. Cina diam-diam tak menyukai hengkangnya Amerika dari Filipina. Yang paling ditakutkan oleh negara itu sejak akhir tahun 1960-an adalah ancaman Uni Soviet. Penutupan kedua pangkalan militer itu akan memberi peluang besar bagi angkatan laut Soviet untuk lebih berperan di Pasifik Selatan. Inilah yang paling ditakutkan Cina. Janji Cina baru-baru ini untuk mencegah senjatanya jatuh ke tangan "kaum ektremis" di Filipina bisa diartikan sebagai pelunakan sikapnya tentang keadaan di Filipina. Jangan lupa, komunis Filipina adalah penganut Maoisme -- ideologi yang di Cina sendiri sudah tak laku lagi. Mundurnya Amerika dari Filipina sangat berpengaruh atas sikap Muangthai. Sebagai negara yang berada paling depan dalam menghadapi ancaman komunis, Muangthai akan kehilangan deking. Karena terus-menerus menghadapi ancaman Vietnam, ia akan makin dipaksa lebih dekat kepada Cina. Kalau itu terjadi, keutuhan ASEAN akan terancam, mengingat sikap persekutuan ini terhadap Cina tidak seragam. A. Dahana, I.S., kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini