TAK begitu salah kalau seorang pengamat menyebut, inilah hari-hari Vietnam di Indonesia. Belum dua pekan 35 seniman negeri itu bertandang ke Jakarta, disertai pianis jempolan yang banyak mengundang decak kagum penonton, datang pula selusin delegasi ekonomi, Ahad lalu. Tak kurang dari Menteri Perencanaan merangkap Deputi Perdana Menteri Vo Van Kiet yang memimpin delegasi penting itu. Dialah konon orang No. 4 dalam Politbiro Partai Sosialis Vietnam. "Mereka ingin meningkatkan hubungan ekonomi," kata Ketua Bappenas Sumarlin, yang menyambut delegasi Van Kiet di Bandara Soekarno-Hatta. Hubungan ekonomi Vietnam-Indonesia memang belum banyak dijamah. Ekspor Indonesia ke sana, menurut data yang dikumpulkan BPS, tahun lalu tak sampai bernilai 30 juta dolar. Sedang nilai ekspor Vietnam ke Indonesia di tahun yang sama cuma sekitar seperempat jumlah itu. Sementara itu, Muangthai dan Singapura bisa mengantungi US$ 200 dan 250 juta dari rata-rata ekspornya setiap tahun ke Vietnam. Upaya mengejar ketinggalan di bidang perdagangan ini sudah mulai dirintis pihak Indonesia sejak dua tahun silam. Bahkan, Agustus lalu, tak kurang dari William Soeryadjaya -- bos Astra itu -- terbang dengan pesawat jet pribadinya ke Vietnam. Ketika itu ia, bersama beberapa pengusaha Indonesia lainnya seperti Djukardi Odang, melihat-lihat produk apa yang bisa mereka pasarkan ke sana. William, misalnya, menganggap ada peluang untuk memasarkan Honda Bebeknya. Dirut PT Pantja Niaga Djukardi Odang melihat kemungkinan menjual semen, pupuk, besi beton, lembaran seng, dan vetsin. Persoalannya adalah bagaimana negeri yang hancur akibat perang dapat mencicil pembeliannya. Untuk mengimpor dari Indonesia saja, yang kecil jumlahnya, Vietnam berharap memperoleh kredit satu tahun, atau dua kali dari yang lain berlaku. Untuk melakukan imbal beli alias barter juga tak mudah, mengingat terlalu banyak produksi kedua negara yang sama. Paling banter yang mungkin masih bisa diimbalbelikan adalah bawang putih, jagung, kacang tanah, kedelai, dan tapioka. Itu pun tak banyak. Komoditi tersebut oleh Vietnam umumnya sudah disalurkan ke beberapa negara Comecon di Eropa Timur. Kalaupun dagang barter akan dipaksakan, keadaannya tak berimbang. Ekspor Vietnam ke Indonesia tahun lalu cuma 4,65 juta dolar. Alhasil, Vietnam memang perlu mengembangkan ekonominya lebih cepat. Apalagi, seperti dikatakan Menlu Vietnam Nguyen Co Tach, kalau sistem barter diteruskan, berarti akan merugikan buat Vietnam. Suara yang terdengar lugas itu kabarnya sedang mendapat angin di Negeri Paman Ho. Februari lalu, misalnya, 13 menteri mereka yang dianggap berhaluan "keras" digantikan dengan orang-orang yang lebih "lugas". Kelompok yang terakhir ini menganggap pembangunan ekonomi sudah waktunya lebih diperhatikan. Mereka, konon, tak begitu mengharamkan masuknya modal dari negara-negara yang tak bersahabat. Kalau benar demikian, Vietnam perlahan-lahan tengah berdandan, mengikuti jejak saudara tuanya yang tengah berglasnost. Tapi tetap saja para pemimpin Vietnam berhati-hati dalam memilih model pembangunan ekonomi nasionalnya. Agaknya, di antara negara tetangganya, Vietnam kabarnya ingin melongok pembangunan ekonomi Indonesia. Menurut sumber TEMPO, Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang sedang mereka ajukan sekarang pun banyak persamaannya dengan yang dianut Indonesia. Bahkan RUU itu, menurut sumber tadi, "Disampaikan kepada kita untuk diminta pendapatnya." RUU ini, rencananya, akan disahkan menjadi undang-undang Desember mendatang. Agaknya, masih dalam kerangka mencari masukan itulah kunjungan Vo Van Kiet dilakukan. Lihat saja jadwal pejabat ekonomi yang ditemuinya, seperti Menko Ekuin, Menteri Keuangan, Perdagangan, Pertanian, Perindustrian, dan Gubernur Bank Indonesia. Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini