TEMPAT kejadian: Rimbo Data, Kanagarian Sungai Nanam, Solok, Sumatera Barat. Waktu: 1 November lalu. Peristiwanya: hari itu puluhan datuk penghulu, yang mestinya dihormati masyarakat, lintang-pukang dikeroyok massa yang amarah. Keberangan itu berawal dari rencana PT Grena Dindo Sifcotoma Agro Industri yang hendak membuka kebun markisah di desa itu. Perusahaan yang bermarkas di Jakarta ini, rupanya, memperoleh HGU (hak guna usaha) seluas 500 hektar di belahan timur desa itu. Bupati Solok, Arman Danau, meminta camatnya menghubungi para ninik mamak agar mau melepaskan tanah ulayat mereka. Ee, tanpa bermusyawarah dengan masyarakat, Ripun Datuk Kayo, pimpinan para ninik mamak yang menjabat Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sungai Nanam, dengan gampang menyetujui ganti rugi Rp 100 juta. Ia seperti lupa bahwa tanah ulayat itu telah puluhan tahun ditanami rakyat dengan tanaman seperti kentang, tomat, maupun bawang putih. Ripun bersama 30 ninik mamak dari kanagarian itu 1 November lalu mengundang 400-an petani di sana. Bisa ditebak jika rencana itu spontan ditolak rakyat. "Kalau tanah itu jadi kebun markisah, apa lagi gantungan hidup kami?" pekik Sabirin, 35 tahun, salah seorang petani yang hadir. Mereka makin berang tatkala Ripun, 53 tahun, tampil dengan keangkuhan otorita adatnya. "Semua tanah di sini 'kan milik kanagarian," katanya. Ia membeberkan bahwa separuh dari duit ganti rugi itu akan digunakan untuk kepentinan kanagarian. Misalnya membangun Balai KAN dan jalan. Sisanya dibagi rata kepada para petani itu. Entah dari mana datangnya, sekepal pasir melayang ke meja Ripun. Kerusuhan pun pecah. Di tengah ingar-bingar itu, Ripun kena tonjok dan jatuh. Jika polisi tak segera datang, barangkali ada korban jlwa. Syukurlah, amukan massa dapat diredakan petugas. Tapi setelah Ripun dilarikan anaknya ke rumahnya di Desa Koto, 3 km dari Rimbo Data, timbul isu baru. Ia dikabarkan tewas. Merasa martabat datuk mereka dihina, penduduk Koto dan Lipek Pageh pun tersinggung. Tak kurang dari 200 penduduknya segera bersiap membalas dendam. Kabar itu terbetik ke Rimbo Data. Polisi pun menyuruh penduduk mengungsi ke hutan di pinggir desa itu, setelah gagal mencegah rencana penyerbuan itu. Tak ayal lagi Rimbo Data mendadak Iengang. Gagal bertemu dengan penduduk desa ini, para penyerang melampiaskan kesumatnya dengan cara lain. Rumah merangkap warung Maradin, 42 tahun, Ketua LKMD di situ, mereka bakar hingga tinggal puing. Itu pun setelah harta benda di rumah ltu mereka kuras. Dua warung mllik penduduk lainnya juga mereka jarahi dalam aksi menjelang magrib itu. Sembilan rumah lainnya juga diporakporandakan. Bahkan puluhan itik dan ayam ikut mereka binasakan. Aksi itu baru berakhir tengah malam setelah satuan polisi dan tentara bersenjata turun dari Solok, 38 km dari Rimbo Data. Tak kurang dari 33 orang penyerbu itu kini masih diperiksa yang berwajib. Ripun yang ditemui TEMPO mengakui kekeliruannya. Misalnya, ia mengaku tak memikirkan apa yang menjadi gantungan hidup masyarakat kalau kebun mereka dialnbil alih. "Entah mengapa saya lupa memusyawarahkannya dengan Pemda maupun petani," katanya. Gubernur Sum-Bar, Hasan Basri Durin, menilai penyerbuan ke Rimbo Data itu meletup karena tiadanya komunikasi saja. Informasinya kurang nyambung," kata Gubernur yang bergelar Datuk Mulia Nan Kuniang itu. Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) itu tak melihat kasus ltu sebagal pertanda menurunnya wibawa ninik mamak. Ia mengaku masalah tanah di Sum-Bar termasuk peka. Karena itu, ia mengimbau agar Pemda Solok dan ninik mamak berhati-hati menanganinya. Bersihar Lubis (Medan) & Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini