Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Peluang citra bagi sipil

Rakyat korea selatan, jumat pekan ini, memilih presiden baru. sebuah pemerintahan sipil untuk pertama kalinya sejak 30 tahun silam.

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOM molotov dan gas air mata tak lagi mengguncang Seoul. Pemilihan presiden, yang diadakan Jumat pekan ini, sudah tak diwarnai aksi protes turun ke jalan dari mahasiswa dan kaum buruh seperti yang terlihat lima tahun silam. "Kebanyakan mahasiswa menggunakan liburan musim dingin kali ini untuk pulang kampung. Mereka tak ada di Seoul," tutur seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Seoul melalui telepon kepada Seiichi Okawa, kepala biro TEMPO di Tokyo. Perubahan drastis itu agaknya mencerminkan berubahnya sikap rakyat Korea Selatan, yang kini tampak lebih memusatkan perhatian pada masalah ekonomi. Pertumbuhan ekonomi negeri berpenduduk 43 juta jiwa itu belakangan ini memang kurang begitu menggembirakan. Pada periode enam bulan terakhir saja tercatat sebanyak 5.000 perusahaan bangkrut. Nilai ekspor Korea Selatan, yang pada 1988 mencapai angka 28%, tahun ini diperkirakan anjlok hingga 3%. Tahun lalu, perdagangan negeri yang disebut sebagai salah satu "macan Asia" ini mengalami defisit US$ 8,7 milyar. Padahal, empat tahun lalu, mereka pernah surplus US$ 14 milyar. Sampai triwulan ketiga tahun ini GNP Korea Selatan hanya naik 3,1% persen -- paling kecil sejak 11 tahun silam. Tak heran bila isu ekonomi menjadi tema utama kampanye tiga calon kuat dari enam kandidat yang bertarung memperebutkan kursi presiden, Februari nanti. Ketiga calon utama yang berebut menjadi presiden ke-14 Korea Selatan adalah Kim Young Sam, Kim Dae Jung, dan Chu Ju Yung. Kim Young Sam, 64 tahun, dalam kampanyenya, misalnya, berjanji akan meningkatkan persentase pemilikan rumah bagi rakyat sampai 90% dan akan menyetop impor beras. "Jika saya terpilih sebagai presiden, akan saya bangun jalan raya dan jembatan yang menghubungkan Chungju dengan kawasan lainnya," ujar calon kuat dari Partai Liberal Demokratik (DLP) itu. Chungju dikenal sebagai lumbung padi Korea Selatan. Lain lagi rayuan yang diobral Kim Dae Jung dalam menggaet calon pemilih. Ia berjanji akan mengurangi pajak pendapatan sebesar 40%. Sementara konglomerat Chu Ju Yung, calon dari Uni Partai Rakyat (UPP), menjanjikan kepada calon pemilih akan mewujudkan surplus perdagangan senilai US$ 30 milyar dalam waktu tiga tahun. Ia bahkan menyebut dalam tempo lima tahun perdapatan per kapita rakyat Korea Selatan bisa sampai US$ 20 ribu bila kebijaksanaan ekonominya yang diajalankan. "Anda tentu tak mau roda ekonomi dijalankan orang-orang pemerintah, kecuali oleh pengusaha, bukan?" kata Chu Ju Chung dalam kampanyenya di wilayah pertanian Hamyang. Munculnya kembali dua Kim dalam pertarungan politik kali ini tak mengejutkan benar. Keduanya dikenal sebagai tokoh politik kawakan, dan ikut meramaikan pemilihan presiden 1987, sekalipun kemudian dikalahkan Roh Tae Woo. Malah, Kim Dae Jung pernah dijatuhi hukuman mati oleh Presiden Park Chung Hee pada 1971. Yang cukup mengagetkan pemilih adalah munculnya tokoh bisnis Chu Ju Yung. Pendiri grup Hyundai yang membawahkan 42 perusahaan ini, yang diperkirakan memiliki kekayaan sebesar empat trilyun won, melonjak namanya sejak mendirikan partai baru bernama Uni Partai Rakyat (UPP), pada awal 1992. Maka, banyak yang menjulukinya "Ross Perot Korea Selatan". Bedanya, Perot, konglomerat yang menjadi calon presiden Amerika Serikat dalam pemilu November lalu, kalah melawan Bill Clinton, sedangkan partai Chu Ju Yung berhasil memenangkan 31 dari 299 kursi parlemen dalam pemilihan umum akhir Maret lampau, sekalipun dengan buntut tuduhan bahwa pengusaha terkemuka Korea Selatan tersebut telah membeli suara gara-gara menyumbang dana politik sebesar 200 milyar won bagi partainya. Munculnya berbagai calon (salah satu di antaranya wanita) dalam pemilihan presiden Korea Selatan kali ini -- dan dinilai banyak pengamat politik sebagai pemilihan paling demokratis -- tentunya tak terlepas dari peranan Presiden Roh Tae Woo, yang menurut undang-undang dasar negeri itu tak boleh lagi mencalonkan diri. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Roh Tae Woo berhasil mengubah citra pemerintahan militer menjadi pemerintahan yang lebih demokratis. Di kampus-kampus, misalnya, hampir tak ada lagi mahasiswa yang melontarkan isu demokratisasi sebagaimana di tahun-tahun sebelum Roh Tae Woo berkuasa. Dalam pemilu nanti, sekalipun diperkirakan banyak tentara dan pelaut tak ikut memilih, toh kekhawatiran akan kembali berkuasanya kelompok militer masih saja menghantui banyak warga Korea Selatan. "Masalah besar yang kami hadapi adalah cara menghapuskan peranan militer dari panggung politik," ujar Prof. Chang Dal Joong, pengamat politik dari Universitas Nasional Seoul. Dasar kecemasannya adalah kemunduran ekonomi nasional, yang jangan-jangan ditafsirkan pihak militer sebagai hasil dari sikap lembek Roh Tae Woo dalam memerintah, sehingga mereka perlu menurunkan orang yang lebih tangguh. Maka, pengamat politik Kil Soong Hoom, yang juga pengajar pada Universitas Nasional Seoul, mengatakan bahwa negara-negara tetangga akan memperhatikan secara cermat penampilan ekonomi Korea Selatan setelah berada di tangan pemerintahan sipil nanti. "Korea Selatan akan menguji teori yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri Asia Timur akan berjalan bila berada di bawah kultur pemerintahan politik yang otoriter," ujarnya. Sebuah ujian berat bagi siapa pun di antara keenam kandidat sipil itu yang terpilih sebagai presiden baru Korea Selatan kelak. Didi Prambadi (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus