Sekitar 800 ribu rakyat jelata Yordania berbondong-bondong meninggalkan desa yang tersembunyi di padang pasir. Mereka menuju Istana Raghdan untuk menyampaikan simpati kepada penguasa baru, Raja Abdullah, yang diambil sumpahnya pada hari Minggu dua pekan lalu. Kerumunan rakyat mulai memenuhi gerbang istana sebelum senja, menanti giliran menjabat tangan Abdullah, yang kali ini tanpa pengawalan. Padahal biasanya tidak setiap orang bisa masuk ke kompleks istana.
Dukungan tulus rakyat sangat berarti bagi Abdullah. Apalagi para pengamat meragukan kemampuannya menggantikan peran ayahnya di tengah suhu konflik yang tinggi di kawasan Timur Tengah. Sepeninggal Hussein, kini perdamaian Timur Tengah hanya bergantung pada Presiden Mesir Hosni Mubarak, yang moderat. Abdullah tak hanya dituntut mampu menjembatani dunia Arab dengan Israel, tapi juga harus siap menghadapi tekanan negara Arab garis keras.
Di dalam negeri, Abdullah harus memperhitungkan kesulitan yang bakal muncul dari penduduk Palestina dan kalangan konservatif, meski istrinya, Putri Rania, berasal dari Tepi Barat, Palestina. Kelompok ini secara tradisional menentang politik Yordania yang condong ke Barat. Apalagi Abdullah diduga akan meneruskan kebijakan moderat ayahnya, hal yang mengakibatkan Hussein berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan oleh kelompok garis keras Arab. Citra Abdullah juga agak tercoreng ketika ia menumpas aksi demonstrasi pro-Irak pada Februari 1998.
Ia lahir di Amman 30 Januari 1962, tapi Abdullah lebih banyak tinggal di Inggris dan AS sehingga ia lebih menguasai bahasa Inggris daripada bahasa arab.
Di mata beberapa kawannya di Indonesia, Abdullah adalah sosok yang sederhana. ''Ketika datang untuk makan malam di Jakarta pada Mei 1998 silam, ia hanya dikawal oleh dua ajudan dan mengendarai pesawat komersial," tutur Atika Makarim, kakak Maher Algadri, yang berkawan dengan Abdullah. Adapun maksud kedatangan Abdullah ke Jakarta, selain ada beberapa urusan dengan bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, Prabowo Subianto, ia menyempatkan diri makan malam di rumah Maher dan menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Hamid Algadri. Saat itu, menurut Atika, Abdullah menyatakan tak mungkin ia menjadi putra mahkota, karena ibunya berasal dari Inggris. Ternyata, dia sendiri tak menduga pengangkatan dirinya sebagai putra mahkota yang mendadak itu.
Selain pengalaman politik, banyak kesamaan Abdullah dengan Hussein. Keduanya sama-sama lulusan Akademi Militer Sandhurst di Inggris. Sikap militer mereka sama, bahkan Abdullah pun bersuara serak seperti ayahnya. Hussein menganugerahi Abdullah pangkat mayor jenderal setelah Abdullah menghabisi penembak tersembunyi yang telah membunuh delapan orang pada 1998. Sejak saat itu, ia memimpin unit komando elite yang bertanggung jawab terhadap keamanan dalam negeri dan keamanan keluarga kerajaan. Karena itu, karir Abdullah lebih dominan di dunia militer. Bahkan hobinya pun—mengoleksi senjata kuno—tetap berbau militer. Tak aneh, sampai 26 Januari kemarin—saat ditunjuk sebagai putra mahkota—Abdullah tampak tak terlalu berambisi berkarir di luar dunia militer. Kemampuan politiknya memang belum begitu jelas. Tapi, tahun lalu, adalah Abdullah yang berhasil melobi Kongres Amerika untuk memperoleh bantuan dari Amerika sebesar US$ 225 juta.
Tapi penunjukan Abdullah sebagai ahli waris takhta diduga akan membawa keretakan hubungan keluarga dengan sang paman, Pangeran Hassan. Secara tiba-tiba Hussein mencabut jabatan Hassan selaku putra mahkota karena ia dianggap berambisi merebut kekuasaan serta menjadi biang gosip dan kebohongan di lingkungan keluarga. Maka ketidakhadiran Hassan dalam upacara pemberian selamat kepada Abdullah diduga sebagai tanda telah terjadi keretakan. Tapi pernyataan tertulis Hassan yang disiarkan televisi Yordania, Selasa pekan lalu, membantah dugaan itu. ''Demi Allah, bangsa, dan rakyatku, saya mendukung Anda sepenuhnya, Yang Mulia Raja dan Putra Mahkota," kata Hassan.
Meski demikian, soal Hassan tampaknya belum selesai. Sebab, Hassan adalah anggota keluarga Hashemi paling senior yang belum jelas posisinya. Sementara itu, muncul kekhawatiran akan terjadi dualisme dalam kekuasaan. Tapi desas-desus di istana meributkan Hassan akan mengasingkan diri di London. ''Pilihan Hassan sederhana dan jelas: tinggal di Yordania dengan damai atau ke luar negeri," ujar analis politik Universitas Yordania, Labib Kamhawi. Tapi analisis lain menyebutkan, sepanjang militer loyal kepada Abdullah, ayah dua anak ini akan aman memerintah Yordania.
LSC, R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini