BAU POLITIK menyengat dari balik surat keputusan Jaksa Agung menyangkut pencegahan sepuluh pengusaha papan atas. Pencegahan adalah istilah hukum dalam undang-undang keimigrasian yang melarang seorang warga negara untuk bepergian ke luar wilayah hukum Republik Indonesia?gampangnya disingkat "cekal". Sebagian mereka yang menerima surat tidak ramah dari gedung bundar itu: Ir. Arifin Panigoro (bos PT Medco), The Ning King (Komisaris Utama PT Argo Manunggal), Sofjan Wanandi (bos Gemala Grup), Johanes Kotjo (Komisaris PT APAC Inti Corpora), Kim Johanes Mulia (Direktur Utama PT Detta Marina), dan Tommy Winata (Direktur Utama Bank Arta Pratama).
Alasan pencegahan itu, seperti tertuang dalam memo rahasia dari Jaksa Agung ke presiden tertanggal 4 Februari: karena mereka disangka terlibat perkara pidana (baca: korupsi). Arifin Panigoro, misalnya, bos perusahaan dalam bidang perminyakan itu, terkait dengan kegagalan anak perusahaannya, PT Medco Central Asia, membayar 27 lembar commercial paper (CP) yang dibeli anak perusahaan Jasindo, salah satu BUMN asuransi yang dipimpin Amir Imam Poero?juga kena cekal. Nilai kerugian akibat CP yang belum dibayarkan itu mencapai hampir Rp 2 triliun.
Sofjan Wanandi dituduh menyalahgunakan kredit yang diperolehnya dari tiga bank pemerintah: BBD, BNI, dan BRI. The Ning King tersangkut pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) di BRI. Perusahaan ini memperoleh kucuran kredit dari BRI senilai Rp 572 miliar. Padahal bank itu?dengan modal cuma Rp 2,7 triliun per Desember 1997?hanya boleh memberikan kredit ke satu kelompok usaha maksimal Rp 540 miliar. Tommy Winata, yang lama berbisnis dengan Yayasan Kartika Eka Paksi (milik Angkatan Darat), terbentur penyimpangan kredit KLBI untuk takeover Bank Arta Prima.
Baik Panigoro, Sofjan Wanandi, Winata, maupun The Ning King membantah bahwa mereka terlibat tindak pidana korupsi. Arifin berdalih bahwa perusahaannya sama sekali tidak ingin ngemplang utang dan telah menegosiasikan penjadwalan kembali pembayaran CP itu. Bahkan kini Arifin telah mulai mengangsur hingga mencapai angka Rp 76,5 miliar dari seluruh beban utangnya. Dengan aset perusahaan mencapai US$ 1,5 miliar, pendek kata, Arifin tak bakal kesulitanlah. Ia menilai tuduhan korupsi Jaksa Agung janggal. "Masa, hanya karena soal pinjam meminjam, saya dituduh korupsi dan dicegah," kata Panigoro ketika ditemui Hardy R. Hermawan dari TEMPO di rumahnya, kawasan Kemang, Jakarta.
Sedangkan kuasa hukum Sofjan Wanandi, T. Mulya Lubis, menyatakan tak ada unsur pidana dalam soal kredit yang menyangkut kliennya. Sayang Mulya belum bisa menjelaskan jumlah kredit yang mengalir ke perusahaan Sofjan dan sisa utang yang ada.
Sedangkan The Ning King, melalui pengacaranya Denny Kailimang, menjelaskan bahwa kredit yang diperoleh dari BRI disalurkan untuk lima anak perusahaan yang tergabung dalam Grup Argo Manunggal. Beberapa perusahaan tersebut di ambang kebangkrutan dan akan dilego. Maka, The Ning King telah memberikan garansi pribadinya untuk merestrukturisasi pembayaran utang sampai beres. Pula, tak ada soal dalam prosedur peminjaman dan pemberian jaminan. Jadi, tuduhan pelanggaran BMPK tak tepat ditimpakan ke The Ning King. "Pelanggaran itu urusan BRI," kata Denny.
Tuduhan korupsi yang salah 'tembak' itu bikin kesal mereka yang dibidik.. Mereka membaca ada yang tak beres di belakang tuduhan itu. Mulya Lubis melihat pihak pemerintah telah "memolitisasi sekaligus mengkriminalisasi kasus-kasus perdata". Bahkan Panigoro berprasangka lebih jauh. Ia melihat tuduhan itu sangat politis. Maklum, ia memang sering menyokong dana untuk gerakan mahasiswa dan aktivis reformasi. "Itu karena kedekatan saya dengan para mahasiswa dan aktivis reformasi, " katanya.
Sejumlah sumber TEMPO di kalangan pengusaha papan atas mengendus bau yang lebih tak sedap. Mereka menyinyalir pencegahan itu berkaitan dengan upaya Golkar untuk menggalang dana kampanye pemilu mendatang. Maklum, selama rezim Orde Baru, Golkar yang selalu menjadi mayoritas tunggal itu di-back-up dana raksasa yang mengalir dari "tambang" para konglomerat. Namun, setelah Soeharto lengser dan partai politik menjamur, dana konglomerat pun diperkirakan akan mengalir ke mana-mana. Tommy Winata, misalnya, konon lebih lekat dengan Edi Sudradjat, mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan, yang kini memimpin Partai Keadilan dan Persatuan. Benarkah? "Sebagai pengusaha, sejak dulu saya tak ingin menyentuh urusan politik," kata Tommy Winata kepada Nurur Rohmah Bintari dari TEMPO.
Nah, beberapa pengusaha yang dicegah itu diduga telah "ditodong" untuk memberikan dana yang nantinya dipakai untuk Golkar. Tak jelas, apakah mereka menolak atau menganggukkan kepala. Yang terjadi kemudian, mereka dicegah dan dituduh korupsi itulah. Namun, Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung kepada Setiyardi dari TEMPO membantah tudingan itu. "Pemerintah semata ingin menegakkan hukum," katanya. Ihwal perintah dari Presiden Habibie dianggap Akbar wajar saja. Toh Habibie kini mengetuai Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum, yang pelaksana hariannya dipegang Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal Wiranto.
Akbar boleh membantah, tapi kecurigaan politis itu bukan tanpa indikasi. Mulya Lubis, misalnya, menunjukkan perintah pencegahan yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Intelijen Syamsu Djalaludin itu. Dalam surat itu, pencegahan yang ditimpakan ke para tersangka berlaku setahun, terhitung sejak tanggal ditetapkan. Padahal, menurut Undang-Undang Keimigrasian No. 9 Tahun 1992 Pasal 13 Ayat 1, keputusan pencegahan berlaku untuk jangka waktu enam bulan, dapat diperpanjang paling banyak dua kali. "Surat pencegahan ini tidak normal," kata Mulya.
Indikasi lain yang menerbitkan tanda tanya adalah fakta bahwa keputusan pencegahan itu buntut "embusan angin" dari Istana Negara. Jaksa Agung H.A. Muhammad Ghalib, S.H. dalam memo yang bersifat rahasia ke Presiden RI melaporkan bahwa sebanyak sepuluh orang, ya Arifin Panigoro dan lain-lain itu, telah dicegah, untuk memenuhi instruksi Presiden. (Lihat boks: Kronologi Turunnya Cekal).
Kesan diskriminasi juga kentara. Menurut Mulya Lubis, banyak perusahaan lain baik swasta maupun BUMN yang mengeluarkan CP dan tak mampu membayar ketika jatuh tempo. Apalagi krisis ekonomi telah membuat kalangan pengusaha "empot-empotan" untuk bisa mengembalikan utangnya. Apalagi pemerintah telah membikin langkah-langkah penyelesaian utang swasta dengan yang disebut Inisiatif Jakarta, juga Indra (Indonesian Debt Restructuring Agency). Pendek kata, banyak kejanggalanlah.
Namun ada pendapat lain. Pengamat ekonomi Dr. Sjahrir menyinyalir perlakuan terhadap Arifin Panigoro dan lain-lain itu hanya "ulah" Habibie. Tak ada kaitannya dengan Golkar. Pemilihan orang-orang yang dicegah itu didasarkan pada "like and dislike" Habibie. Contohnya, Sofjan Wanandi. Pengusaha itu pernah menolak pencalonan Habibie menjadi wakil presiden pada Januari 1997, ketika Soeharto masih berkuasa. "Ini semacam pembalasan karena Habibie tidak terima diperlakukan begitu oleh Sofjan Wanandi," kata Sjahrir. Ia menilai pemeriksaan terhadap beberapa pengusaha itu sebagai lonceng kematian reformasi karena cara yang sama pernah dilakukan oleh penguasa rezim Orde Baru untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Jadi, ya, siapa nih pengusaha dan tokoh politik lain yang akan menyusul?
Kelik M. Nugroho, Karaniya Dharmasaputra, Arif A. Kuswardono, Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini