KETUA Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, boleh saja dikritik sebagai ketua partai yang banyak tidur siang. Tapi, di mata masyarakat Tionghoa Indonesia, partai pimpinan putri Bung Karno ini dianggap sebagai tempat yang bisa dipercaya untuk menyuarakan aspirasi politik mereka. Meski belum ada jaminan bahwa golongan ini akan mencoblos "banteng bermata merah" dalam pemilu 7 Juni mendatang, paling tidak PDI Perjuangan dianggap cukup netral dan bisa merangkul golongan minoritas Tionghoa. Kenyataan itulah yang diperoleh dari jajak pendapat yang dilakukan TEMPO tentang aspirasi politik masyarakat Tionghoa di lima kota di Indonesia akhir Desember sampai awal Januari lalu. Jika fakta tersebut bisa dijadikan rujukan, inilah kabar baik bagi PDI Perjuangan, yang akan mendapat lebih banyak pengikut dalam pemilu kelak. Selain perolehan suara dari pemilih "pribumi", golongan hoakiau ini lumayan untuk mendapatkan beberapa kursi tambahan. Selain PDI Perjuangan, menurut jajak pendapat itu, partai lainnya yang juga bakal kecipratan suara adalah Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Reformasi Tionghoa (Parti), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Golkar. Namun keempat partai ini memperoleh suara yang jauh lebih kecil. Pertanyaannya: kenapa PDI Perjuangan? Bukankah tidak ada sedikit pun kaitan historik antara PDI Perjuangan dan etnis Cina di Indonesia? Bagi Trisno S. Sutanto, seorang Tionghoa yang aktif dalam Masyarakat Dialog Antar-Agama, berpalingnya golongan Cina ke Megawati disebabkan oleh tidak adanya pilihan partai politik lain yang cukup representatif bagi etnis ini. Selain karena paham nasionalismenya, PDI Perjuangan juga diyakini lebih majemuk pendukungnya. Partai-partai yang berafisiliasi kepada agama dinilai lebih memperhatikan kepentingan umatnya sendiri. Adapun Partai Tionghoa, selain belum matang, juga terlalu riskan untuk berdiri sebagai partai tersendiri. Sebagian besar responden memang tidak menganggap Partai Tionghoa sebagai sesuatu yang dibutuhkan saat ini. Alasannya sederhana. Mereka melihat kehadiran partai berbendera Cina justru hanya akan menambah masalah saja. Partai akan dimusuhi oleh anggota masyarakat lainnya justru karena bendera Cina yang dikibarkan. Artinya, mereka menilai berdirinya Partai Tionghoa lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya. Komunitas Tionghoa di Indonesia memang ekstrahati-hati dalam menentukan pilihan politiknya saat ini. Dengan banyaknya partai, kanal politik yang ada lebih variatif ketimbang tiga dasawarsa sebelumnya, yang hanya dikandangi ke dalam tiga partai formal: PPP, Golkar, dan PDI. Dan partai-partai baru itu tentu akan menjual kecap yang beragam untuk menarik perhatian mereka. Persoalannya, betulkah era reformasi memang membuka peluang ke arah partisipasi politik masyarakat Cina yang lebih besar. Bagi responden tampaknya tidak. Dari beberapa item pertanyaan untuk mengukur partisipasi politik--mulai dari keinginan berdiskusi tentang politik sampai keterlibatan dalam partai politik--mayoritas responden menjawab tidak ada perubahan yang signifikan antara era Orde Baru dan sesudahnya. Mereka tetap tidak tertarik memasuki dunia politik dengan beberapa alasan. Pertama, mereka menganggap keterlibatan dalam dunia politik akan mengancam keamanan mereka. Semakin masuk mereka ke dunia politik, akan semakin terpetakan posisi politik kelompok ini di hadapan masyarakat luas. Dan hal itu menjadi berbahaya karena identitas kecinaan yang melekat dalam diri mereka. Konflik antarkepentingan politik akan sangat mudah beralih menjadi konflik antar-ras. "Bukan berarti kami tidak punya kepedulian terhadap politik. Kami yakin, sikap pasif merupakan sikap yang paling aman," ujar salah seorang responden asal Bandung yang namanya kita sebut saja Kim Tjoei. Selain itu responden juga beranggapan mereka bukanlah kelompok yang punya kekuatan besar untuk mempengaruhi sistem politik. Dengan kata lain, ada semacam sikap apatis. Faktor kekhawatiran terhadap keamanan ini kemudian bertemu dengan keyakinan tentang kecilnya perhatian pemerintah sebagai pemegang otoritas politik formal terhadap kepentingan politik mereka. Keputusan politik pemerintah Orde Baru di mata responden lebih banyak yang melenceng dari harapan-harapan politik mereka. Sebutlah pengalaman yang diperoleh Trisno. Ketika hijrah ke Jakarta pertama kali dari Semarang pada 1981, ia diwajibkan mengajukan surat bukti warga negara RI, yang bisa didapat dengan membayar Rp 2 juta. Untuk ukuran waktu itu, uang sejumlah itu luar biasa besarnya. Tanpa surat itu mustahil Trisno yang bernama kecil Tan Tiong Sin itu bisa memperoleh KTP Jakarta. Itu baru salah satu contoh. Dengan alasan itu, sangat wajar memang kalau bentuk partisipasi politik yang dipilih golongan hoakiau ini adalah format yang paling minim, yakni sebatas mendiskusikan masalah politik di lingkungan yang terdekat. Berpartisipasi dalam partai politik, organisasi sosial, LSM, atau sejenisnya adalah kegiatan yang amat langka. Persoalannya kemudian, materi diskusi informal di dalam lingkungan kecil etnis Cina banyak digantungkan pada berita yang dilansir media massa, ditambah gosip sana-sini. Menurut Dr. Than Ju Lan, sosiolog dari LIPI, kepercayaan golongan Cina pada berita media sangat besar. Berita apa pun yang dilansir media akan mereka percaya sebagai kenyataan. "Akibatnya, konstruksi media sangat besar pengaruhnya pada tindakan politik mereka," tutur Than lagi. Dengan kata lain, ketika media massa salah mengkonstruksikan realitas politik, katakanlah dengan memberitakan isu-isu seputar akan terjadinya kerusuhan massal, kenyataan itu langsung ditangkap sebagai kebenaran. Dan mereka langsung bereaksi, misalnya dengan cepat-cepat kabur ke luar negeri. Dan ketika mereka kabur, citra buruk Cina sebagai kelompok yang hanya memikirkan diri sendiri jadi semakin kuat. Akhirnya, keadaan menjadi lingkaran setan yang tak terputus. Fakta menarik ini bahkan tidak banyak berubah jika responden dipilah-pilah berdasarkan derajat ketionghoaannya. Berdasarkan pertanyaan tentang interaksi responden dengan lingkungan Cina (seperti tinggal di daerah pecinan atau tidak) dan kebudayaan Cina (menggunakan bahasa Cina dalam percakapan sehari-hari atau tidak), responden bisa dikategorikan ke dalam--setidaknya--tiga kelompok. Ketiga kelompok itu adalah mereka yang "sangat Cina", mereka yang setengah-setengah, dan mereka yang sudah banyak meninggalkan atribut kecinaannya. Ketiga kelompok menunjukkan keseragaman dalam pemilihan bentuk partisipasi politik. Artinya, kenyataan yang diperkirakan Than Ju Lan itu terjadi di setiap strata. Kalau kenyataannya seperti ini, sulit memang mengharapkan partisipasi politik Tionghoa meningkat dalam waktu dekat. Pada beberapa golongan muda yang memiliki kesadaran politik yang baik, benih-benih partisipasi itu memang sudah tampak. Tapi secara keseluruhan--seperti diwakili oleh responden jajak pendapat ini--partisipasi itu masih jauh panggang dari api. Semua pihak tampaknya memang harus berbenah dari sekarang. Tapi, di kala isu SARA meningkat dan isu pemerkosaan massal belum juga jernih, mungkinkah hal itu dilakukan?
Arif Zulkifli, Dewi Rina Cahyani, Ali Nur Yasin (Jakarta), Upik Supriatun (Bandung)
INFO GRAFISDibandingan dengan sebelum reformasi, apakah kepentingan politik Anda kini lebih terwakili? | Sama saja | 68% | Lebih terwakili | 26% | Lebih tidak terwakili | 6% | | Apa hambatan Anda untuk berpartisipasi olitik? | Khawatir keamanan saya terancam | 53% | Keluarga tidak setuju | 35% | Tidak yakin apakah partisipasi itu berhasil | 32% | Takut dimusuhi orang | 25% | Takut sumber ekonomi terancam | 22% | | Apa pendapat Anda tentang partai Tinghoa? | Hanya akan menambah masalah bagi masyarakat Tionghoa | 44% | Akan menyuarakan kepentingan masyarakat Tionghoa | 37% | Partai ini akan dimusuhi oleh masyarakat lain | 27% | Akan didukung oleh oleh masyarakat Tionghoa | 23% | Akan menyuarakan kepentingan masyarakat umum | 22% | | Apa bentuk partisipasi politik Anda selama ini?* | Mendiskusikan soal politik di antara teman | 65% | Mendiskusikan soal politik dalam keluarga | 50% | Berpartisipasi dalam suatu organisasi | 8% | Berpartisipasi dalam suatu kelompok diskusi | 6% | Menjadi pengurus suatu organisasi | 4% | | Apakah partai Tionghoa dibutuhkan? | Tidak | 61% | Ya | 39% | Tidak tahu/tidak menjawab | 1% | | Sebagai Tionghoa, hak sebagai warga negara manakah yang belum Anda peroleh selama ini? | Hak untuk menjadi presiden | 30% | Hak atas perlindungan keamanan | 26% | Hak untuk menjadi pejabat negara | 26% | Hak untuk diperlakukan sama di depan hukum | 25% | Hak bela negara | 23% | | Sebagai Tinghoa, dalam hal apakah Anda dibedakan dengan warga negara lainnya? | Saya dimintai uang lebih banyak untuk mengurus surat-surat | 58% | Saya dimintai uang oleh preman | 32% | Saya dimintai uang oleh oknum aparat | 27% | Saya membeli barang dengan lebih murah | 25% | Saya membeli barang dengan lebih mahal | 19% | | Seberapa besar interaksi Anda dengan sesama warga Tinghoa? | Teman dekat saya banyak yang beretnis Tionghoa | 40% | Saya tinggal di RT yang warganya Tionghoa | 37% | Saya menggunakan bahasa Tionghoa di rumah | 33% | Saya bekerja di tempat yang berhubungan dengan etnis Tionghoa | 4% | | Apakah pemerintah Orde Baru menyuarakan kepentingan politik Tionghoa? | Banyak keputusan politik yang tidak sesuai dengan keinginan saya | 46% | Antara keputusan politik yang sesuai dan tidak sama banyak | 29% | Hampir semua keputusan politik tidak sesuai dengan keinginan saya | 13% | Banyak keputusan politik yang sesuai dengan keinginan saya | 5% | Hampir semua keputusan politik sesuai dengan keinginan saya | 3% | | Partai yang dianggap bisa menyuarakan kepentingan politik tionghoa | | Jakarta | Medan | Bandung | Semarang | Pontianak | Total | PDI Perjuangan | 68% | 86% | 84% | 91% | 19% | 70%Partai Amanat Nasional | 32% | 20% | 33% | 37% | 58% | 36%Partai Reformasi Tionghoa | 11% | 54% | 18% | 7% | 29% | 24%Partai Kebangkitan Bangsa | 32% | 20% | 16% | 23% | 12% | 15%Golongoan Karya | 5% | 17% | 17% | 11% | 14% | 13%Lima besar, responden bisa memilih lebih dari satu jawaban | | |
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
Metodologi jajak pendapat ini:Penelitian ini dilakukan oleh TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 753 responden di lima kota di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Medan, Semarang, dan Pontianak, tanggal 14 Desember 1998 sampai 11 Januari 1999. Pemilihan kelima kota ini didasarkan pada fakta banyaknya komunitas Cina di tiap kota tersebut.
Penarikan sampel dilakukan secara non-probabilistic sampling, dengan diupayakan diperoleh komposisi yang seimbang berdasarkan jenis kelamin, usia, dan status sosial ekonomi, dengan menggunakan kriteria tertentu, misalnya usia responden tidak kurang dari 18 tahun, responden dipilih dengan menggunakan teknik snowball sampling.
Kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian ini sangat rendah. Umumnya responden menolak diwawancarai dengan alasan takut. Dengan demikian, responden jajak pendapat ini secara alamiah terseleksi berdasarkan tingkat keberaniannya mengungkapkan pendapat. Dengan kata lain, pendapat yang muncul dalam penelitian ini merupakan sikap dari kelompok etnis Cina yang "paling berani" menyatakan pendapatnya.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka berstruktur dengan menggunakan kuesioner. Pada beberapa responden dilakukan wawancara kualitatif untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang pendapat mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini