Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pembangkang dari Madinah

Jamal Khashoggi dekat dengan sejumlah tokoh penting di Timur Tengah. Mengapa dia dibunuh?

26 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Katherine Roth masih menyimpan sebuah potret yang menunjukkan ia berdiri dengan tiga milisi Yaman. Salah seorang pria dalam foto itu adalah Tareq al-Fadhli. Berpakaian serba putih, lengkap dengan belati pendek (jambiya), Tareq berada di samping kiri Roth. “Foto ini diambil Jamal,” kata Roth, merujuk pada Jamal Khashoggi, jurnalis Washington Post yang dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Turki.

Menurut Roth, Khashoggi memotretnya setelah perang saudara mengoyak Yaman pada 1994. Saat itu, Roth adalah reporter muda sekaligus peneliti yang mempelajari gerakan Islam di Timur Tengah. Tareq adalah sahabat Usamah bin Ladin dan pernah bertempur melawan invasi Uni Soviet di Afganistan pada 1980-an. Setelah mengusir Soviet, Tareq kembali ke Yaman dan memimpin perlawanan suku Fadhli terhadap pemerintah pusat negerinya. Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh selalu menuduhnya sebagai teroris dan anggota Al-Qaidah, yang dipimpin Usamah.

Khashoggi meyakinkan Roth bahwa Tareq menempuh jalan “jihad” karena hanya itu cara untuk membela sukunya. “Jamal benar. Pria itu meninggalkan gerakan jihad segera setelah perang berakhir dan bergabung dengan pemerintah,” ujarnya kepada Associated Press, Jumat dua pekan lalu.

Roth tidak hanya mengenal Khashoggi- sebagai kawan. “Ia juga mentor saya,” ujar perempuan Amerika Serikat ini. Ketika meliput perang sipil di Yaman, Roth menyaksikan langsung bagaimana Khashoggi,- wartawan Arab Saudi yang pernah mewawancarai Usamah di Afganistan pada 1987, bergerak luwes menembus berbagai narasumber. “Dia tampaknya mendapat hormat dari semua pihak, baik kelompok Islam maupun kiri dan sekuler,” ucapnya.

Khashoggi lahir di Madinah, 13 Oktober 1958, dari keluarga Saudi terkemuka dengan akar leluhur Turki. Kakeknya, Muhammad Khashoggi, adalah dokter pribadi pendiri Kerajaan Arab Saudi, Raja Abdul Aziz al-Saud. Pamannya, Adnan Khashoggi, tenar sebagai jutawan dan pialang senjata untuk Raja Saudi lain, Fahd. Samira Khashoggi, bibinya, adalah kolumnis progresif dam Pemimpin Redaksi Al-Sharkiah, majalah perempuan terkemuka berbahasa Arab. Sepupunya, Dodi al-Fayed, adalah jutawan yang meninggal dalam sebuah kecelakaan bersama Diana Spencer, Putri Wales.

Khashoggi tumbuh di Madinah tepat sebelum kerajaan panen minyak, yang memicu merebaknya proyek-proyek konstruksi besar. Ia menghabiskan masa mudanya dengan mempelajari Islam sekaligus memeluk ide-ide liberal. “Mereka keluarga kaya dan berpendidikan,” kata Ali al-Ahmed, pemimpin Institute for Gulf Affairs di Washington, DC, yang telah bertahun-tahun mengenal Khashoggi.

Perkenalan Khashoggi dengan Islam politik terjadi saat ia tinggal di Terre Haute, Indiana, Amerika Serikat. Pada awal 1980-an itu, ia kuliah di jurusan bisnis administrasi di Indiana State University. “Revolusi Iran bergaung dan kesadaran Islam bangkit di seluruh dunia,” tuturnya kepada wartawan Amerika, Peter Bergen, pada 2005. “Saya menjadi aktivis dan (mulai) menghadiri konferensi dan pertemuan Islam.”

Setelah lulus, Khashoggi berkarier sebagai jurnalis. “Saya berusia 24 atau 25 tahun. Saya religius pada waktu itu,” katanya kepada Bergen. Jauh sebelum menjadi kolumnis di Washington Post, ia pernah berkarya di sejumlah media di kawasan Teluk, seperti Saudi Gazette, Al-Sharq al-Awsat, Al-Hayat, Al-Watan, dan Al-Arab News Channel. Khashoggi pernah meliput perang Afganistan dan Perang Teluk Pertama serta konflik di Yaman, Aljazair, Sudan, dan Libanon.

Persinggungannya dengan Usamah bin Ladin tak hanya membawanya menyaksikan perjuangan para mujahid Saudi. Ia juga mengikuti lahirnya Al-Qaidah, yang berbuntut kekecewaan akibat tragedi 9 September 2001. “Pesawat yang dibajak Usamah tidak hanya menyerang New York dan Washington. Mereka juga menyerang Islam sebagai keyakinan dan nilai-nilai toleransi dan koeksistensi,” tulis Khashoggi saat itu.

Kepada Peter Bergen, Khashoggi menggambarkan hubungannya dengan Usamah. “Kami dari generasi dan latar belakang yang sama,” ujarnya. “Usamah seperti kebanyakan dari kami yang (pernah) menjadi bagian dari gerakan Al Ikhwan Al Muslimun di Saudi. Bedanya, dia lebih religius, literal, fundamentalis.”

Lara Marlowe, koresponden Irish Times di Paris, membenarkan ihwal kedekatan Khashoggi dengan Al Ikhwan Al Muslimun. “Jamal mendukung Al Ikhwan Al Muslimun, yang ditindas tanpa belas kasihan di Mesir dan Suriah selama beberapa dekade,” ucapnya, Kamis pekan lalu. Ia pertama kali bertemu dengan Khashoggi pada Januari 1992, saat mereka meliput kudeta militer di Aljazair.

Di Arab Saudi, dukungan kerajaan terhadap Al-Ikhwan al-Muslimun berakhir saat Riyadh menyokong Jenderal Abdel Fattah el-Sisi menggulingkan Muhammad Mursi, Presiden Mesir dari kelompok Al-Ikhwan al-Muslimun yang terpilih secara demokratis pada 2013.

Pemahaman Khashoggi terhadap Islam politik serta kontak yang dijalinnya selama berkarier sebagai wartawan, khususnya dengan afiliasi Al Ikhwan al-Muslimun, membuatnya sangat berharga bagi pemerintah Saudi. Pangeran Turki al-Faisal, yang memimpin Badan Intelijen Saudi selama lebih dari 20 tahun, pernah mengangkat Khashoggi sebagai penasihat. Pangeran Turki bahkan memboyongnya sebagai penasihat kunci saat ditugasi menjadi Duta Besar Saudi di London dan Washington, DC.

Menjadi orang kepercayaan keluarga kerajaan tak lantas membuat sikap kritis Khashoggi tumpul. Pada 2003, saat menjabat pemimpin redaksi media reformis Al-Watan, Khashoggi menerbitkan artikel yang mempertanyakan Salafi-Wahabisme dan akar ekstremisme beberapa hari setelah serangan bom bunuh diri menewaskan 39 orang di Riyadh. Akibatnya, ia dipaksa mundur dari jabatannya. Tujuh tahun kemudian, Khashoggi kembali memimpin Al-Watan dan lagi-lagi mengkritik Salafi-Wahabisme.

Hubungannya dengan keluarga kerajaan berubah sejak terjadi Musim Semi Arab pada 2011. “Kerajaan mulai membatasi ruang geraknya karena ia memihak Musim Semi Arab dan revolusi Arab, dan mereka tidak suka itu,” kata salah satu kawannya, Azzam Tamimi.

Khashoggi telah berulang kali mengkritik kerajaan. Dalam sejumlah kesempatan, ia mendesak agar Saudi terbebas dari tirani dan menghargai kebebasan berpendapat. Kritiknya menguat sejak Pangeran Muhammad bin Salman menjadi putra mahkota. “Dia benar-benar ingin membuat Arab Saudi hebat lagi. Tapi dia melakukannya dengan cara yang salah,” tutur Khashoggi kepada Vanity Fair, November tahun lalu, tak lama setelah insiden penahanan para pangeran dan pengusaha Saudi di Hotel Ritz-Carlton di Riyadh.

Saat itu Khashoggi telah mengasingkan diri ke Virginia, Amerika Serikat. Lewat kolom-kolom di Washington Post, ia mengkritik kebijakan intervensi militer Saudi terhadap negara tetangga, Yaman. Ia juga mengecam tindakan represif Pangeran Salman yang menahan puluhan aktivis, jurnalis, ulama, dan pangeran lain yang tak sepaham dengannya. “Mereka yang ditangkapi tidak radikal. Mayoritas reformis,” kata Khashoggi. “Orang-orang jadi ketakutan.”

Kekhawatiran Khashoggi beralasan. Menurut catatan Amnesty International, penindasan terhadap para pengkritik rezim Saudi meningkat sejak Pangeran Salman diangkat sebagai putra mahkota pada Juni 2017. The Intercept mencatat upaya Saudi membungkam aktivis dan pembangkang eksil sudah lama terjadi. Salah satu kasus paling awal adalah hilangnya tokoh oposisi Naser al-Sa’id. Pada 1979, Al-Sa’id mendukung sekelompok muslim yang menyerbu dan menduduki sebuah masjid agung di Mekah. Setahun kemudian, dia hilang saat berada di Libanon.

Saudi bahkan juga tak segan menindak pembangkang di istana. Sejak 2015, tiga pangeran pengkritik kerajaan hilang saat berada di luar negeri. Yang terakhir, pada Maret 2017, Loujan al-Hathloul, tokoh hak asasi manusia, ditangkap saat kuliah di Uni Emirat Arab dan dipaksa pulang dengan pesawat pribadi. Mei lalu, polisi menangkap Al-Hathloul di rumahnya dan sejak itu tak ada kabarnya lagi.

“Kasus Jamal Khashoggi hanya puncak gunung es,” ujar Rami Khouri, profesor jurnalisme di American University of Beirut. “Jika terbukti pemerintah Saudi otaknya, ini contoh paling dramatis dari tren (represi) yang telah berlangsung selama 40 tahun.”

MAHARDIKA SATRIA HADI (AP, THE INTERCEPT, MIDDLE EAST EYE, NPR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus