PEMILIHAN umum, yang ditunggu tujuh tahun penuh harap oleh lima juta penduduk El Salvador, nyaris berubah menjadi hari huru-hara, Ahad lalu. Lepas subuh, gerilyawan kiri yang tergabung dalam Tentara Revolusioner Rakyat (PRA) mematikan listrik di separuh negeri itu. Mereka meledakkan gardu dan mengerat kabel transmisi. Hubungan telepon, antara lain ke provinsi timur laut Morazan, juga terputus. "operasi sabotase nasional digerakkan sepanjang malam dan sesudahnya," ujar seorang pejabat perusahaan listrik. Dalam kontak senjata yang pecah sehari sebelumnya, pemerihtah kehilangan 32 prajurit - korban terbesar sejak Desember silam. Tempat-tempat pemungutan suara (TPS) tak kalah kacau. Hingga Ahad pagi, banyak TPS belum kebagian kotak dan kertas suara. Bahkan para pejabat pemilu tak menampakkan batang hidungnya. Di Stadion Flor Blanco, TPS terbesar di ibu kota San Salvador, 700 pemilih berbaris gelisah menunggu kotak suara. Kemenangan memang masih angan-angan bagi kedelapan kontestan yang bertarung: Jose Napoleon Duarte dari Partai Demokrat Kristen (PDC), Roberto d'Aubuisson dari Aliansi Nasionalis Rcpublikan (ARl NA), Francisco Jose Guerrero dari Partai Konsiliasi Nasional (PCN), Rene Fortin Magana dari Partai Aksi Demokratis (DAP), Roberto Escobar dari Partai Institusional Salvador Otentik (ASIP), Francisco Quinonez Avila dari Partai Rakyat Salvador (SPP), Juan Ramon Rosales dari Gerakan Tengah Republikan (SRCM), dan Gilberto Trujillo dari Partai Orientasi Rakyat (POP). Pertarungan hidup-mati memang berlangsung antara Duarte, 58, dan d'Aubuisson 40. Dalam kampanye sepekan sebelumnya kedua tokoh ini saling mengirimkan kata-kata pedas. D'Aubuisson menyebut Duarte "pengkhianat komunis", dan yang terakhir ini menjuluki seterunya "nazi fasis". Sebuah kemenangan bagi Duarte, kontestan tiga kali pemilihan presiden, memang idaman bagi para "pencinta demokrasi", termasuk pemerihtah Amerika Serikat. Dalam kampanyenya, bekas wali kota San Salvador itu menjanjikan "pemerintahan rakyat", bersama-sama "memerangi kekerasan, mencapai perdamaian, dan membenahi problem ekonomi". Pada 1972, ia pernah memenangkan pemilu, tapi dicurangi, ditangkap, bahkan diusir ke luar negeri. Dua tahun lalu dalam pemilihan untuk Majelis Konstituante, partainya mengumpulkan 40% suara, semetara ARENA hanya meraih 29%. Tetapi, di negeri yang diamuk perang saudara itu, tempat kekerasan nyaris menjadi gaya hidup, peluang d'Aubuisson juga besar. Tokoh flamboyan yang suka bergurau dan tak canggung mencarut ini selalu tampil berapi-api. Dijuluki "Mayor Bob", bekas perwira intel ini dibisikkan berdiri di belakang regu-regu pembunuh yang, paling tidak, sudah menghabisi 15.000 lawan politik. Menurut d'Aubuisson sendiri, "regu pembunuh terbesar adalah mereka yang mencoba menyeret El Salvador ke dalam kesengsaraan, kekalahan, dan perhambaan." Dengan ini ia menuding PDC dan Kongres AS. Duarte, sebaliknya, adalah tokoh sipil yang dibenci kelompok ekstrem dari kedua sisi. Kelompok kiri menuduh dia tokoh kanan. Kaum kanan menamakan ia komunis terutama karena upayanya memperkenalkan Landreform, dan rencananya mencabut bisnis bank dari tangan 14 keluarga terkemuka El Salvador. Di negeri dengan utang US$ 1,6 milyar itu, kalangan menengah dan pengusaha swasta tak bakal mendukung Duarte. Bila pemilu kali ini gagal, nasib El Salvador akan sengsara berkepanjangan. Sampai kini perang saudara yang berjalan lima tahun sudah menewaskan sekitar 48.000 korban. Hampir sejuta warga Salvador mengungsi ke berbagai negeri asing. Sekitar 250.000 lainnya meninggalkan daerah bergolak. Kendati pemerintah AS sudah mengirimkan komputer Wang untuk menghitung suara, plus 30 pengamat di antara lebih dari 300 pengamat dari 27 negara, berikut ratusan wartawan, hasil pemilu tampaknya lebih banyak tergantung pada adu senjata. "Di sini peluru lebih penting ketimbang pemilu," ujar seorang pengamat Amerika Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini