Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat orang pria terduduk, lesu. Tangan mereka terbelit rantai. Kamera video terus beraksi: mula-mula paspor mereka, kemudian dua pedang hitam saling-menyilang, dengan tulisan dalam aksara Arab di sudut layar. ”Saya minta Pak Blair (pasukan Inggris) meninggalkan rakyat Irak,” ujar salah seorang pria yang tampak paling tua.
Video yang ditayangkan televisi Al-Jazeera pekan lalu itu membuat orang terlonjak. Empat pria itu aktivis perdamaian Christian Peacemaker Teams (CPT). Mereka diculik Brigade Pedang Kebenaran, sebuah kelompok tak dikenal. Keempatnya adalah Norman Kember, 74 tahun, Jim Loney, 41 tahun, Harmeet Sooden, 32 tahun, dan Tom Fox, 54 tahun. Masing-masing berasal dari Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat.
Norman Kember dan koleganya diciduk Sabtu 26 November saat berkunjung ke sebuah masjid di permukiman Sunni, bagian barat Bagdad. Penculik menuduh mereka mata-mata AS dan menuntut pembebasan tawanan Irak. Tenggat telah digariskan: Sabtu pekan lalu. Jika tidak, sandera akan dieksekusi.
Nasib keempat aktivis itu mengundang simpati aktivis perdamaian dan rohaniwan muslim di negara asal mereka. Bahkan rohaniwan muslim yang kini mendekam di penjara Inggris, Abu Qatada, memohon pembebasan Kember. Diduga, mereka usai berbicara dengan ulama tentang penyiksaan tawanan Sunni.
CPT dikenal sebagai kelompok ekumene pasifis yang berpusat di Chicago (AS) dan Toronto (Kanada). Pasifisme merupakan paham tentang penggunaan upaya non-militer untuk menyelesaikan konflik. Penganutnya menentang penggunaan kekerasan dalam situasi apa pun. Kelompok antiperang yang berdiri pada 1988 ini beroperasi di seantero kawasan kacau di dunia untuk mengurangi kekerasan.
Meski penganut Kristen, mereka bukan misionaris. Tak aneh jika kelompok militan Hamas dan Hisbullah di Palestina ikut memohon agar empat aktivis Kristen itu dibebaskan. Di Hebron dan Ramallah, penduduk menyalakan lilin ungkapan simpati.
Relawan CPT hadir di Gaza dan Tepi Barat sejak dekade lalu. Mereka tinggal di antara rakyat Palestina, menemani anak-anak ke sekolah dan menemani orang biasa menghadapi wajah garang tentara Israel saat melewati pos pemeriksaan.
Aktivis perdamaian CPT yang selalu mengenakan topi merah ini juga memprotes pembangunan tembok pemisah buatan Israel. Mereka nekat berdiri di depan rumah penduduk Palestina yang akan dihancurkan Israel sebagai hukuman terhadap keluarga pelaku bom bunuh diri.
Relawan CPT pernah beroperasi di Afganistan, Chechnya, dan Bosnia. Satu tim terdiri dari empat hingga lima orang. Tugas mereka sebagai ”pencerita kebenaran” yang mengisahkan nasib orang biasa yang teraniaya di zone konflik. Cerita kelam ini disebarkan lewat surat elektronik, newsletter, dan ceramah.
Di Irak, mereka telah beroperasi selama tiga tahun dengan fokus pada isu tawanan Irak. Termasuk mengumpulkan kesaksian keluarga dan bekas tahanan yang mengalami pelanggaran hak asasi oleh militer AS. ”Kamilah yang pertama mengadukan penyiksaan rakyat Irak (di penjara Abu Ghraib) oleh pasukan pendudukan,” ujar Doug Pritchard, Direktur CPT.
Peggy Gish, anggota CPT, selama 13 bulan menyimak cerita laki-laki dan perempuan Irak yang disiksa anggota militer AS. ”Kami mendengar cerita serangan brutal pasukan Amerika ke satu rumah di tengah malam,” kata Gish. ”Jika pemilik rumah tak segera tiarap, anggota militer AS akan menghajarnya hingga tersungkur.”
Kini leher kolega Gish terancam dipenggal penculik. ”Relawan sadar risiko, dan CPT tak akan menggunakan kekerasan untuk menyelamatkan nyawa pekerjanya, meski mereka disandera,” ujar Doug Pritchard.
Raihul Fadjri (BBC, AFP, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo