Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan kuil Yasukuni kembali memicu badai diplomasi pekan lalu. Awalnya adalah keputusan Beijing, Ahad 4 Desember silam, untuk menunda jadwal pertemuan bilateral Presiden Hu Jintao dengan Koizumi dalam acara pertemuan puncak para pemimpin Asia Timur di Kuala Lumpur, 12-14 Desember nanti. Hal ini diduga sebagai sinyal diplomasi RRC yang berang atas penolakan Koizumi terhadap permintaan Beijing agar Perdana Menteri Jepang berhenti mengunjungi kuil Yasukuni. Keesokan harinya, sebagai reaksi atas penundaan itu, Perdana Menteri Koizumi justru menyatakan Korea dan RRC tak layak mempermasalahkan kunjungannya ke tempat ibadah ajaran Shinto itu sebagai persoalan diplomatik. Atas pernyataan itu, Beijing tetap ngotot meminta Koizumi menghentikan kunjungannya ke tempat penghormatan terhadap para prajurit Jepang yang gugur di medan perang itu demi memperbaiki hubungan Tokyo dengan para tetangganya. RRC menganggap kegiatan ziarah itu sebagai penghinaan terhadap para korban pembantaian tentara pendudukan Jepang di RRC pada masa lampau.
Akhir bulan lalu wartawan Tempo Bambang Harymurti mengunjungi tempat pemujaan kontroversial yang terletak tak jauh dari istana Kaisar Jepang di Tokyo itu. Berikut adalah laporannya:
Matahari bersinar terang namun angin musim gugur terasa kelewat sejuk ketika saya tiba di gerbang Kuil Yasukuni, Tokyo, Rabu tiga pekan lalu. Mungkin karena sedang hari libur nasional memperingati jasa karyawan, ratusan pengunjung, kebanyakan berusia lanjut, terlihat bertebaran di berbagai penjuru. Sebagian tampak asyik bergerombol untuk foto bersama di depan gerbang kayu sederhana yang menjadi ciri khas tempat ibadah ajaran Shinto itu. ”Mereka kemungkinan veteran atau yang keluarganya gugur sewaktu perang,” kata Kazuo Motohashi, pria Jepang yang menjadi pemandu saya dalam kunjungan ini.
Perang memang tema utama tempat ziarah ini, yang uniknya justru diberi nama Yasukuni, yang berarti ”negeri damai”. Rupanya ini bukan nama asli, tapi yang disabdakan oleh Kaisar Meiji pada 1879 sebagai penghormatan terhadap para prajuritnya yang telah gugur dan dianggap berjasa membuat kekaisaran Meiji menikmati masa damai panjang setelah menang dalam perang saudara yang berlarut-larut dan berlumuran darah.
Sepuluh tahun sebelumnya, ketika kompleks bangunan dari kayu ini dibangun, Kaisar Meiji semula menamainya Tokyo Shokonsa. Shokonsa berarti kawasan suci tempat arwah para pejuang yang gugur dihormati. Para penganut Shinto di Jepang umumnya percaya bahwa arwah seseorang akan tetap berdiam di tempat kelahirannya dan turut membantu mengawasi dan melindungi keturunannya yang masih hidup. Itu sebabnya upacara penghormatan pada para arwah menjadi ritual ibadah yang umum.
Yang tak umum dari Yasukuni adalah kekhususannya hanya sebagai tempat menghormati para arwah—dalam bahasa Jepang disebut mimata—yang gugur dalam perang sejak perjuangan mengembalikan kekuasaan kaisar di era Meiji hingga Perang Dunia II. Daftar nama mereka, yang disimpan di kuil ini, tercatat hampir 2,5 juta orang.
Bagi para sanak-saudara atau handai-taulan nama-nama yang terdaftar itu, melakukan kunjungan ke Yasukuni adalah bagian dari ibadah. ”Seperti umat Islam pergi berhaji ke Mekah,” kata seorang diplomat senior Jepang kepada saya. Barangkali itu pula sebabnya, sampai 1985 hampir tak ada orang di luar Jepang yang memperhatikan bahkan mengetahui keberadaan Yasukuni.
Nama kuil ini memang baru jadi berita besar sejak Agustus 1985. Penyebabnya adalah kunjungan resmi Perdana Menteri Nakasone ke tempat ibadah ini, yang dianggap mendobrak banyak tabu. Yang utama adalah pelanggaran atas kebijakan sekularisasi yang diterapkan pemerintah Jepang sebagai warisan dari masa pemerintahan pendudukan Amerika Serikat seusai Perang Dunia II. Karena kebijakan ajaran Shinto sebagai agama resmi pemerintah Jepang dianggap salah satu penyebab politik ekspansi negeri yang rakyatnya percaya bahwa kaisar mereka adalah penjelmaan Tuhan itu, proses sekularisasi dianggap pemerintah pendudukan AS sebagai bagian penting dari pembentukan Jepang yang merdeka dan cinta damai.
Itu pula sebabnya mendiang Kaisar Hirohito tak diadili sebagai penjahat perang tetapi diminta membantu menciptakan damai dengan menyatakan kepada rakyatnya tak lagi sebagai penjelmaan Tuhan. Kaisar bahkan tetap dianggap sebagai kepala negara namun tak punya kekuasaan politik dalam konstitusi yang dibuat pada 1947. Selain itu, undang-undang dasar buatan pemerintah pendudukan AS ini juga melarang pemerintah Jepang berperang maupun membangun kekuatan militernya.
Dua kondisi ini—yang secara ekonomi membuat Jepang maju pesat—dianggap kalangan nasionalis Jepang sebagai hambatan untuk menjadi ”negara normal”. Sukses Jepang menjadi negara yang penduduknya terkaya di dunia pada pertengahan 1980-an memicu kebangkitan nasionalisme negeri ini, yang kemudian berujung pada kunjungan resmi Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone ke Yasukuni. Bekas tentara ini memang dikenal sebagai nasionalis yang ingin mengubah konstitusi Jepang, terutama pasal IX, yaitu yang melarang pembentukan angkatan perang. Kunjungan ini langsung memicu protes kelompok pencinta damai Jepang dan kalangan internasional, terutama dari negara yang pernah diduduki Jepang, seperti RRC dan Korea. Hal itu terutama karena, sejak 1978, dalam daftar nama para prajurit gugur yang disimpan di kuil itu ditambahkan pula nama para pahlawan Showa, yaitu 14 dari 25 nama penjahat perang kelas A dan 1.054 dari kelas B dan C. Yang terakhir ini adalah sebagian dari sekitar 5.000 prajurit Jepang di luar negeri yang dinyatakan sebagai penjahat perang karena kebiadaban mereka.
Kalangan nasionalis Jepang beranggapan bahwa tuduhan itu terlalu berlebihan dan melakukan perlawanan dengan membuat buku sejarah yang dianggap lebih akurat, termasuk menampilkannya dalam bentuk peragaan di museum perang Yushukan, yang dibangun di kompleks Kuil Yasukuni. Dan suasana perang memang langsung terasa ketika memasuki bangunan yang ditujukan bagi kalangan muda Jepang ini. Sebuah pesawat tempur Zero mendominasi lobi, dan berbagai perangkat perang lain seperti kanon memenuhi lantai dasar yang juga ditempati toko souvenir. Peragaan di 15 ruang diawali oleh tampilan patung tentara Jepang dengan bedilnya yang sedang maju menyerang. Patung hijau sebesar aslinya itu berdiri di atas pedestal dengan moto tulisan Jepang yang kira-kira berarti ”Jangan pernah melihat ke belakang”.
Sebuah moto yang ironis. Setelah mencermati semua ruangan, saya justru mendapat kesan peragaan ini adalah versi kelompok nasionalis Jepang bila ”melihat ke belakang”. Pada intinya tema pameran adalah: Jepang terpaksa terjun perang karena dipojokkan Barat dan demi membebaskan kawasan Asia Timur dari penjajahan Barat.
Nuansa emosional sangat terasa ketika saya memperhatikan seorang pengurus museum yang mengenakan kimono putih memberikan penjelasan pada sekitar 30 mahasiswa lokal yang berkunjung. ”Kami tak mungkin menghapus sebagian daftar nama seperti diminta Tuan Nakasone,” kata pengurus Yushukan itu ketika ditanya apakah mungkin menerima usul untuk mengeluarkan daftar pahlawan Showa yang memicu kontroversi dari kuil Yasukuni.
Memang, seperti upaya propaganda lainnya, saya merasa paparan Yushukan sangat emosional dan bias tapi sekaligus mempunyai sebagian fakta yang akurat. Setidaknya, setelah mengunjungi museum ini, saya merasa menjadi lebih kritis terhadap bahan-bahan sejarah Jepang yang selama ini dianggap sebagai arus utama.
Perasaan itu rupanya juga menghinggapi Duta Besar Abdul Irsan. ”Jepang memang korban public relation pihak Barat,” kata diplomat senior yang sudah tiga tahun bertugas di Tokyo itu ketika saya kunjungi dua hari kemudian. Pelajaran sejarah yang kita terima selama ini cukup akurat dalam menggambarkan keganasan balatentara Jepang pada masa lampau, tapi kurang menjelaskan mengapa negara para samurai ini menjadi agresif.
Kontroversi Yasukuni pada akhirnya adalah perihal kekhawatiran dunia terhadap kemungkinan Jepang kembali menjadi agresif. Namun, setelah mengunjungi kuil ini dan mengamati masyarakat Nipon yang demokratis, saya merasa kekhawatiran itu berlebihan. Barangkali saya terpengaruh doktrin Woodrow Wilson yang yakin bahwa ”dua masyarakat yang demokratis tak mungkin akan berperang.”
Tapi belum semua negara di dunia bersistem demokrasi. Mungkin itu sebabnya kunjungan Perdana Menteri Koizumi ke Yasukuni—kendati tanpa singgah di Yushukan—masih memicu badai diplomasi di seberang selat Jepang, tempat pemerintahan otoriter masih berkuasa dan bertakhta.
Saya tiba-tiba bergidik. Angin musim gugur memang bertiup kelewat sejuk ketika saya keluar dari Yasukuni, tapi saya kira bukan itu penyebabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo