Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

’Perang’ Hong Kong-Beijing

Warga Hong Kong tak yakin Beijing bakal memenuhi janji menerapkan demokrasi pada 2017. Maka, mereka turun ke jalan.

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bolak-balik memencet alat pengatur saluran TV, Annie Zhou tak kunjung menemukan siaran yang dicari: demonstrasi besar-besaran di Hong Kong. Padahal, sehari sebelumnya televisi Hong Kong sudah menyiarkan rencana demo itu. Pekerja pusat riset pemerintah di Guangzhou itu akhirnya menyerah. Lebih dari 10 menit siaran berita TVB pukul 18.30 diganti iklan. ”Tiga saluran lain sama, tak ada liputan demonstrasi,” kata Zhou, Selasa pekan lalu. Zhou tentulah berharap, bila tuntutan demonstran sukses, demokrasi sepenuhnya ditegakkan di Hong Kong, mudahlah warga bagian Cina yang lain untuk menuntut hal yang sama.

Bukan hanya televisi yang bungkam. Berita utama rubrik Hong Kong di kantor berita Xinhua malah membahas riset terumbu karang. Persiapan pertemuan Organisasi Perdagangan Bebas (WTO) menjadi sorotan China News Service. Juga, dua portal berita Sina dan Sohu, tak menulis soal demo itu. Semua kompak. Pemerintah Beijing memang biasa menutup akses warga Cina terhadap segala peristiwa di Hong Kong.

Ahad lalu itu, demonstrasi di Hong Kong sungguh dahsyat. Penyelenggara menaksir jumlah massa yang memadati Taman Victoria dan jalan-jalan di antara gedung pencakar langit dan gedung pemerintah mencapai 250 ribu orang di wilayah berpenduduk 7 juta itu. Menurut polisi lokal, ”hanya” 63 ribu orang. Taruhlah polisi yang benar, ini pun sudah prestasi luar biasa. Belum pernah demonstrasi sebesar itu terjadi di Hong Kong, baik semasa masih menjadi koloni Inggris, maupun setelah kembali ke Cina.

Massa yang rata-rata berbaju serba hitam meneriakkan yel-yel menuntut pemerintah Cina segera menerapkan demokrasi secara penuh. Sebelum pawai, mereka berkumpul di Victoria Park, menggelar misa kecil dipimpin Uskup Joseph Zen. ”Donald Tsang mengatakan proposalnya langkah besar dalam demokrasi. Itu kebohongan terbesar!” kata Zen. Donald Tsang adalah Kepala Administratif (semacam gubernur) Hong Kong.

Kebijakan Tsang yang didemo itu adalah proposal reformasi ke dewan legislatif lokal. Isi proposal: memperbesar jumlah anggota dewan dari 60 kursi menjadi 70 pada 2008. Sedangkan anggota komite yang bertugas memilih kepala administrasi diperbesar dari 800 menjadi 1.600 orang.

Namun, angka-angka itu tak mencerminkan ”langkah besar dalam demokrasi”, sebab dari 70 kursi dewan, yang dipilih lewat pemilu cuma separuhnya, yang separuh lagi ditunjuk oleh Beijing. Apalagi anggota komite—meski jumlah anggotanya diperbesar menjadi 1.600 orang, tak ada pengaruhnya terhadap ”demokrasi” karena semua anggota komite ditunjuk Beijing. Dan, sebenarnya, proposal Tsang ini dipastikan ditolak karena 24 anggota dewan (lebih dari sepertiga jumlah anggota) menyatakan akan menolaknya. Menurut peraturan, proposal baru bisa berlaku jika disetujui dua pertiga anggota dewan.

Jadi, sebenarnya, sasaran demo adalah menagih janji dilaksanakannya ”satu negara dua sistem” yang dijanjikan Beijing ketika Hong Kong kembali ke Cina pada 1997. Janjinya, 20 tahun kemudian, yakni 2017, demokrasi akan sepenuhnya diterapkan di Hong Kong. Jadi, Beijing bukannya ingkar janji. Namun, warga Hong Kong tak percaya janji itu, sebab sampai sekarang tak ada rencana bertahap untuk menuju demokrasi 2017 itu. Padahal, kata orang Hong Kong, mereka yang duduk di pemerintahan Beijing pada 2017 pasti bukan mereka yang menjanjikan demokrasi sekarang ini. Bisa diduga, setiap ada peluang, orang Hong Kong akan turun ke jalan sampai demokrasi benar-benar diterapkan.

Sejauh ini, Hong Kong (dan wilayah ekonomi khusus Guangzhou, misalnya) secara resmi menerapkan sistem sosial-ekonomi kapitalistis. Namun, di bidang sosial-politik, seluruh Cina dikendalikan Beijing dengan ketat. Para pengamat menduga, Partai Komunis sangat takut kehilangan kendali atas Hong Kong. Begitu Hong Kong demokratis, menjalankan pemilu langsung, seantero Cina akan menuntut hal yang sama. Masalahnya, sampai kapan Beijing mampu mengendalikan Hong Kong, dan mampu menutup pengaruh Hong Kong agar tak menyebar ke seantero Daratan. Bukan hanya orang Hong Kong yang pernah menikmati demokrasi. Annie Zhou di Guangzhou pun mungkin tak sabar lagi menunggu Beijing menerapkan demokrasi di seluruh Cina.

Kurie Suditomo (SCMP/Xinhua/Reuters/AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus