Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pendekar Gaek Turun Gunung

Rakyat Iran melaksanakan pemilu presiden kesembilan. Terjadi persaingan ketat antara kubu moderat dan konservatif. Rafsanjani kembali berkuasa? Tempo melaporkan dari Iran.

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vini, vidi, vici,” itulah sabda Kaisar Romawi Julius Caesar, dua puluh satu abad silam. Datang, lihat, dan menang. Semboyan itu agaknya cocok dilekatkan pada mantan presiden Republik Islam Iran, Ayatollah Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, pekan ini. Setelah lengser dari kursi kepresidenan delapan tahun lalu, ulama berusia 72 tahun itu, yang pulang dari pengasingannya di Paris beberapa waktu lalu, tampil kembali dalam pemilu kali ini. Dan Rafsanjani berhasil mencatatkan diri sebagai kandidat paling populer ketika coblosan di Iran mulai dilangsungkan pada Jumat pekan lalu.

Sekitar 46,7 juta warga Iran keluar rumah, berbondong-bondong memberikan suara di 42 ribu tempat pemungutan suara (TPS). Bilik-bilik suara ini didirikan di masjid-masjid, husainiyah (majelis taklim), dan gedung-gedung milik pemerintah. Dengan penuh gairah para pemilih, yang berusia 15 tahun ke atas, mengantre sejak pukul 09.00 hingga 20.00. Aparat mengawal TPS dengan penuh siaga. Maklumlah, beberapa hari sebelumnya bom meledak di Teheran, Qom, dan Ahvaz, ibu kota Provinsi Khuzestan.

Hari itu rakyat Iran memilih presiden ke-9 sejak kemenangan Revolusi Islam Iran 1979 di bawah pimpinan almarhum Imam Ayatollah Ruhollah Khomeini. Ini juga pemilu yang diwarnai persaingan paling ketat antarkandidat sejak 26 tahun lalu. Para aktivis Iran di luar negeri sempat menyerukan boikot. Tapi efeknya tidak terlihat; warga tetap memadati lokasi coblosan di seluruh negeri—termasuk para pemilih yang masih muda-muda. ”Pemilu ini lebih ramai dibanding tahun-tahun sebelumnya,” kata Rezafar, seorang penjual falofil, sejenis burger, di daerah Bulvor Firdaus, Teheran.

Ada tujuh kandidat yang boleh dipilih oleh rakyat Iran dalam pemilu ini. Dari garis moderat ada Rafsanjani, mantan Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi Mostafa Muin, Ketua Parlemen Iran Hojjatoleslam Mehdi Karroubi, dan Mohsen Mehr-Alizadeh. Kubu garis keras menampilkan mantan Kepala Kepolisian Nasional Mohammad Baqer Qalibaf, mantan Ketua Radio dan Televisi Negara Ali Ardesir Larijani, serta Wali Kota Teheran Mahmoud Ahmedi Nezhad.

Ada banyak pilihan, memang. Tapi pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Al-Uzma Ali Khamenei, tak lupa mengimbau agar warga Iran tetap bertanggung jawab dalam memberikan suara. ”Memilih satu dari tujuh kandidat presiden pada dasarnya memberikan suara dukungan terhadap qonun asasi (Islam sebagai dasar), dasar-dasar Republik Islam Iran,” ujarnya.

Hingga berita ini diturunkan, persaingan antar-para kandidat masih berlangsung ketat di berbagai wilayah. Hasil jajak pendapat menempatkan Rafsanjani di urutan teratas. Bagai pendekar gaek yang telah khatam di medan pertempuran, ia berhasil membalap tokoh-tokoh muda seperti Qalibaf, Nezhad, dan Muin. ”Tapi tak seorang pun yang meraih dukungan di atas 50 persen,” kata Menteri Luar Negeri Abdolvahed Mousavi-Lari.

Seorang lelaki tua yang ditemui Tempo di pinggir Kota Teheran mengaku memilih Rafsanjani karena, ”Maraji’ (ulama rujukan) telah memberikan fatwa untuk memilih Rafsanjani.” Lain lagi Mehdi Ahmadi, mahasiswa Universitas Azadi, Qom. Dia mengaku lebih memilih Nezhad karena penampilan Wali Kota Teheran itu mengingatkan dia pada Syahid Rajai, mantan Presiden Iran yang amat sederhana.

Rafsanjani sendiri agak mendadak mencalonkan diri, baru pada awal bulan lalu. Keputusan ini tampaknya didorong oleh tercerai-berainya beberapa pesaing utama. Kelompok konservatif gagal menetapkan calon tunggal, sementara kalangan reformis harus menyegarkan daya tarik kubu mereka setelah Presiden Ayatollah Mohammad Khatami tak bisa maju lagi untuk jabatan ketiga. Maka, Rafsanjani pun turun gunung. Dia berkata: ”Isu kepresidenan telah mengisi pikiran saya, sekalipun saya ingin ada orang lain yang memegang tanggung jawab ini.”

Dia tidak salah langkah. Rafsanjani masih moncer daya pikatnya. Mantan presiden ini dikenang rakyat Iran sebagai pemimpin yang sukses membawa negeri itu ke arah yang lebih moderat. Dia pula yang menghentikan slogan ekspor revolusi dan menjalin hubungan baik dengan negara-negara Arab. Di bidang ekonomi, Rafsanjani cukup sukses membangun ekonomi dengan menganut sistem ekonomi pasar terbatas dan pengambilan kredit dari luar negeri.

Salah satu kekuatan Rafsanjani adalah ia didukung golongan konservatif sekaligus kelompok reformis. Kedekatannya dengan Ayatollah Khomeini (lihat Fondasi Warisan Khomeini) serta pemimpin spiritual Ayatollah Ali Khamenei memberinya kredit di mata pemilih konservatif. Nah, kaum reformis yang diwakili Reza Khatami—adik kandung Presiden Khatami—menjunjung Muin sebagai tokoh favorit mereka. Namun, jasa dan pengaruh Rafsanjani tak dapat pula mereka lupakan; dia membantu Khatami memenangi dua pemilu sebelumnya.

Kubu reformis memang tak punya calon tunggal. Ada tiga kandidat yang mereka jagokan: Muin, Rafsanjani, dan Karroubi. Sedangkan kelompok ushul garo (kubu konservatif) terpecah di antara Rafsanjani, Nezhad, Larijani, dan Qalibaf. Mehr Ali Zadeh, yang menjabat Mudir Tarbiyat Badani Iran (semacam Ketua KONI di Indonesia), tak banyak mendapat sorotan masyarakat.

Kelompok konservatif yang diwakili Jameeh Mudarrisin di Qom dan para maraji’ (ulama rujukan) pun terpecah. Organisasi berpengaruh itu kini tak mendukung kandidat mana pun. Ini berbeda dengan pemilu ketujuh, ketika mereka mendukung Natiq Nuri yang dikalahkan Khatami.

Namun, dalam suatu rapat tertutup yang digelar setelah empat utusan Rafsanjani bersowan untuk meminta dukungan, 21 dari 50 ulama anggota Jameeh Mudarrisin memutuskan menyokong bekas presiden itu. Sisanya merapat ke Nezhad, Larijani, dan Qalibaf. Berbekal dukungan hampir separuh anggota Jameeh Mudarrisin inilah Rafsanjani yakin akan menang tanpa berkampanye sebagaimana kandidat lain. Walau belakangan ia tetap mengerahkan 4.000 pelajar agama untuk datang ke berbagai pelosok Iran guna mencari sokongan.

Rafsanjani juga berhasil memikat hati kalangan pengusaha. Mereka menjagokan Rafsanjani karena kebijakan ekonominya yang lebih banyak bertumpu pada mekanisme pasar—ketimbang campur tangan pemerintah. Dan jangan lupa, ketika berkuasa dulu, mantan presiden ini membina kemitraan antara para pelaku bisnis dan birokrasi pemerintah.

Salah satu isu yang menyedot perhatian international dalam pemilu kali ini adalah kebijakan luar negeri Iran. Banyak media melansir, jika Rafsanjani terpilih, kebijakan politik Iran terhadap Amerika akan berubah menjadi lebih ”mesra”. Tapi Rafsanjani menjawab secara diplomatis. ”Membangun hubungan dengan Amerika tetap dengan syarat-syarat khusus.”

Dari Amerika Serikat, Presiden George W. Bush pagi-pagi telah menuding pemilu di Iran tidak demokratis. ”Kekuasaan di negeri itu ada di tangan mereka yang tak terpilih. Mereka memperpanjang kekuasaannya melalui suatu pemilu yang mengabaikan prinsip demokrasi,” ujarnya. Ali Khamenei menjawab: ”Mereka (Amerika—Red.) tak ingin ada pemerintahan dengan identitas agama (Islam),” ujarnya. Intinya, menurut Khamenei, pernyataan Bush tak perlu didengar karena cuma propaganda hitam.

Iran menganut sistem politik yang disebutnya ”demokrasi Islam”. Penerapannya antara lain bisa dilihat pada aturan pemilu mereka. Umpama, partai politik tak dapat menyeleksi kandidat calon presiden atau parlemen. Setiap warga bebas mencalonkan diri menjadi presiden, anggota parlemen, serta anggota Khubreghon (Dewan Ahli). Dengan satu syarat: wajib lolos seleksi Syuro-e-Negahbon alias Dewan Garda. Dewan yang beranggotakan 12 orang itu dipilih oleh pemerintah dan pemimpin spiritual Ayatollah Ali Khamenei.

Sistem itu yang membuat para aktivis anti-pemerintah menilai demokrasi di Iran palsu semata. ”Republik Islam Iran selain anti-demokrasi juga tak bisa direformasi,” kata pembangkang Iran, Akbar Ganji. Pangeran Reza Pahlevi, yang kini berdiam di pengasingan, juga berpendapat serupa. Putra mantan Shah Iran Reza Pahlevi itu mengatakan, selama sistem pemerintahan wilayatul faqih diterapkan, siapa pun yang menjadi presiden tidak penting.

Fondasi yang dibangun Ayatollah Khomeini melalui Revolusi Islam pada 26 tahun silam rupanya belum tergoyahkan.

Hanibal W.Y. Wijayanta (Jakarta), Musa (Teheran), Mujtahid Hashem (Qom)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus