Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seminari San Carlos kembali sentosa. Sekolah calon pastor di Makati, pusat Kota Manila itu, tak lagi diriuhi aksi massa dan derak sepatu tentara. Aktivitas kembali tenang seperti sediakala: misa pada pagi hari, sekolah siang, belajar sore hari, dan doa bersama pada malam hari. Padahal, pada Senin pekan lalu halaman seminari itu riuh-rendah, disesaki seribu lebih demonstran. Di luar pagar, enam truk serdadu kiriman Presiden Gloria Macapagal Arroyo bersiaga mengepung. Bahu-membahu dengan polisi, mereka menutup rapat-rapat empat pintu masuk. Hawa genting menjalar dengan cepat.
Di halaman Seminari, massa dengan takzim menyimak pidato Pastor Joe Dizon yang menggelegar menghantam siang. "Arroyo harus berbicara kepada rakyat, siapa orang-orang dalam rekaman kaset itu." Pastor yang disebut-sebut berkonco dengan oposisi itu juga mendesak Arroyo bersikap jujur terhadap rakyatnya.
Kaset yang dimaksud Pastor Dizon adalah rekaman percakapan Presiden Gloria Arroyo dengan Virgillio Garcillano, anggota Komisi Pemilihan Umum Filipina. Ramai diberitakan bahwa dua pejabat itu mengatur siasat yang melempangkan jalan Arroyo agar kembali berkuasa pada Pemilu 2004. Dalam pemilu itu Arroyo unggul tipis dari lawan terkuatnya, mendiang Fernando Poe, yang amat sohor di kalangan papa.
Oposisi Filipina percaya, kemenangan Arroyo adalah buah rekayasa politik. Keyakinan itu menguat setelah rekaman tadi terkuak kepada publik. Suhu negeri sontak mendidih. Sepanjang dua pekan lalu, massa menyemuti jalanan Manila, menuntut Arroyo agar hengkang saja dari Malacanang.
Samuel Ong, mantan Wakil Kepala Biro Investigasi Nasional, adalah tokoh yang menyebarkan rekaman itu. Aksi Ong membikin dia diuber-uber intel polisi. Ong lantas berlindung di Seminari San Carlos. Enam truk tentara datang, dilengkapi persenjataan berat untuk mencokok si penyebar rekaman. Tapi mereka urung merangsek ke dalam karena seluruh penghuni Seminari merapatkan barisan. Menyerbu berarti bencana, karena Gereja Katolikyang sangat sentral perannya di Filipinabisa angkat protes dengan keras.
Dari balik tembok Seminari, lewat siaran radio, Samuel Ong menyeru, "Saya tak mungkin bersembunyi di tempat suci ini untuk berbohong." Ia juga meminta perlindungan publik karena, "Saya akan mati jika meninggalkan Seminari." Selasa pekan lalu, Samuel akhirnya keluar dari sana menuju satu tempat yang dirahasiakan. Tak jelas bagaimana Ong bisa lolos tanpa dibekuk aparat yang bersiaga. Isi rekaman di kaset itu sendiri sedang diuji keasliannya di Amerika Serikat.
Bola panas dari Samuel Ong menambah panjang daftar kekisruhan politik Manila sepanjang bulan ini. Selain skandal rekaman itu, Arroyo juga berhadapan dengan serbuan kaum komunis di utara, perang dengan pemberontak muslim di selatan. Satu lagi cobaan yang menikam langsung ke jantung kekuasaannya adalah isu suap yang menimpa putra sulungnya, Miguel Arroyo. Kabar suap ini bermula dari "nyanyian" seorang wanita bernama Sandra Cam di muka Kongres. Wanita ini bersaksi telah menyuap Miguel dan Ignacio, sepupu Arroyo.
Yang membuat urat amarah rakyat kian mendidih, uang suap itu ternyata berasal dari saku para taipan jueteng, sejenis lotere ilegal di Filipina. Bayang-bayang kejatuhan pun membayang di atas kepala Arroyo. Maklumlah, kasus serupa pernah menjungkalkan Joseph Estrada dari kursi presiden pada 2001. Kemasyhuran dinasti Macapagal sedang diuji. Diosdado Macapagal, ayah Arroyo, adalah bekas Presiden Filipina. Anak miskin dari Lubao, Provinsi Pampanga, itu dikenal punya integritas tinggi, terhormat, dan sederhana. Di bawah Diosdado, Filipina pernah menjadi negeri termakmur di Asia sesudah Jepang.
Media massa Manila pun sibuk menebak posisi militer dalam kegentingan politik. Di Filipina, posisi militer, sebagaimana juga Gereja, amat menentukan dalam kegentingan seperti itu. Terjungkalnya Ferdinand Marcos pada 1986 atas desakan gerakan prodemokrasi yang disokong Gereja dan militer. Mengabaikan keduanya berarti tamat.
Tapi Arroyo cukup lihai, setidaknya sampai saat ini. Merasa ancaman datang beruntun, ia merapat ke petinggi Gereja serta mantan presiden Corazon Aquino serta Fidel Ramos. Pengaruh tokoh-tokoh itu mampu meredam militer yang bergerak liar. Aksi massa tak berlanjut. Perlindungan Seminari San Carlos terhadap Samuel Ong dianggap bukan mewakili sikap Gereja Filipina.
Setelah Ong menghilang, angin politik negeri itu tampaknya kembali berpihak kepada Nyonya Arroyo. Vidal Doble, agen intelijen yang bersekutu dengan Samuel Ong, bersaksi bahwa dirinya memberikan keterangan yang merugikan Arroyo karena terpaksa. Awal pekan lalu, ribuan orang di Provinsi Cebu turun ke jalan menyokong Arroyo. Spanduk dukungan bertaburan di sejumlah jalan utama di Manila.
Tapi Arroyo sadar kaum oposisi tak mudah menyerah. Kepada wartawan pada Kamis pekan lalu, ia menegaskan bahwa musuh politiknya akan terus bergerilya. "Mereka berpikir tiba saatnya menjatuhkan saya atau tidak sama sekali," katanya.
Arroyo lolos dari "kudeta" itu. Se-tidaknya hingga pekan ini.
Wenseslaus Manggut (Manilatimes.net)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo