Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Fondasi Warisan Khomeini

Kubu konservatif masih cukup berpengaruh di Iran. Bahkan jika Rafsanjani pun yang menang, konsep wilayatul faqih tetap akan diterapkan.

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA suasana yang tak lazim dalam acara salat Jumat di Masjid Universitas Teheran, pekan lalu, bertepatan dengan pelaksanaan pemilihan umum di Iran. Para jemaah senior langsung meneriakkan yel-yel anti-Amerika bersahut-sahutan, diselingi seruan untuk memilih calon dari kubu konservatif, Mahmud Ahmadinejad, yang kini menjadi Wali Kota Teheran. ”Saya akan memilih Ahmadinejad karena ia bertekad memberantas korupsi. Dengan memilihnya sekaligus saya menampar wajah Amerika,” ujar Mahdi Mimalek, seorang jemaah yang tak putus-putusnya ber-seru ”matilah Amerika” dengan penuh semangat.

Suasana itu mengingatkan kita pada periode 1979-1981, ketika emosi anti-Amerika mencapai suhu tertinggi di negeri para mullah itu. Selama 444 hari, 52 orang diplomat asal Amerika Serikat disandera di Kedutaan Besar AS di Teheran. Insiden ini membuat citra Presiden Jimmy Carter rontok sehingga dia pun dikalahkan Ronald Reagan dalam pemilu 1981. Sebaliknya, rakyat Iran pada umumnya menganggap peristiwa itu sebagai bukti betapa efektifnya konsep wilayatul faqih dalam menghadapi ”Setan Besar” Amerika.

Konsep yang diperkenalkan oleh Pemimpin Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khomeini (1900-1989), itu terdiri dari tiga prinsip, yakni al-wilayah al-ilahiyyah al-ammah (otoritas umum Tuhan), wilayatunnabi (otoritas Nabi), dan wilayah al-aimmah (otoritas para imam). Ringkasnya, para ulama adalah pemegang otoritas tertinggi dalam pengelolaan negara—sesuatu yang tak pernah terjadi ketika Iran diperintah Mohammad Reza Pahlevi selama 38 tahun (1941-1979).

Seperempat abad berlalu, namun dominasi ulama tak kunjung surut. Pamor Ahmadinejad yang mengkilap, misalnya, tak lepas dari campur tangan para ulama yang merekomendasikannya sebagai wali kota. Sebelum itu, ia figur yang nyaris tak dikenal publik. Kini Ahmadinejad menjadi salah satu andalan kubu dalam mempertahankan konsep itu. ”Kekayaan alam negeri ini dikelola secara salah, sehingga untuk meluruskannya diperlukan perubahan dalam ideologi pemerintahan,” ujar Ahmadinejad menyindir dominasi kalangan pengusung reformasi di pemerintahan.

Menariknya, meski dijagokan kubu konservatif yang umumnya dicitrakan ”menghalangi” gerak perempuan di luar rumah, Ahmadinejad justru berkampanye begini: ”Kita bagian dari satu bangsa dan tak seharusnya mementingkan satu jenis kelamin tertentu. Orang harus dipilih berdasarkan kemampuannya.”

Kendati reputasi Ahmadinejad diperkirakan bisa menghambat laju kubu reformis, termasuk dari mantan presiden Rafsanjani, Ahmadinejad tak melenggang sendirian. Suara kubu konservatif sedikitnya akan terpecah menjadi tiga, termasuk untuk mantan Kepala Radio dan Televisi Ali Larijani, serta mantan kepala polisi Muhammad Bagher Qalibaf, 44 tahun, yang lebih difavoritkan oleh kubu konservatif secara keseluruhan. Qalibaf yang menjanjikan ”rakyat Iran berhak atas kehidupan yang lebih baik”, sudah sejak awal kampanye memperingati para jurnalis agar ”jangan berpikir bisa melakukan apa saja yang diinginkan.”

Pada konferensi pers sebelum dimulainya pemilu, Presiden Mohammad Khatami mengeluarkan pernyataan ini. ”Saya berharap presiden mendatang lebih maju dalam berpikir.” Itu hanya bisa terjadi, menurut Khatami, bila angka jumlah pemilih cukup tinggi. Analis politik umumnya membaca pernyataan itu sebagai sinyal keberatan Khatami terhadap kemungkinan menangnya kubu garis keras.

Adik sang presiden, Mohammad Reza Khatami, bahkan memprediksi, jika pemilih lebih dari 60 persen, maka mantan Menteri Kebudayaan Mustafa Moin dari kubu reformis akan keluar sebagai presiden baru Iran. Moin sendiri telah berjanji seandainya terpilih sebagai presiden, ia akan mengangkat Reza sebagai wakilnya. ”Saya berharap bisa melindungi hasil yang sudah dicapai sebelumnya oleh kubu reformasi,” begitu Moin berjanji.

Sampai Jumat petang, Rafsanjani masih tetap menjadi calon favorit pemenang pemilu. Namun, dengan masih kukuhnya kubu konservatif, langkah Iran ke depan tampaknya tetap akan berada dalam konteks wilayatul faqih yang sudah dimantapkan fondasinya oleh Khomeini—guru dan mentor politik Rafsanjani.

Akmal Nasery Basral (BBC, AP, Aljazeera)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus