Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) mengumumkan penangguhan sementara selama tiga bulan atau sekitar 90 hari terhadap seluruh tarif impor tinggi, dikenal tarif Trump, yang dikenakan pada sejumlah negara, kecuali Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Terhadap Cina, Trump tetap mempertahankan bahkan menaikkan tarif yang diberlakukan. Ia menegaskan bahwa tarif untuk Cina akan dinaikkan dari 104% menjadi 125%, menyusul pengumuman tarif balasan tambahan dari Cina pada Rabu pagi. Sementara itu, semua negara lain yang sebelumnya dikenakan tarif impor oleh Trump kini akan menerima penurunan tarif menjadi tarif universal sebesar 10%.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan Cina kepada Pasar Dunia, dengan ini saya menaikkan tarif yang dibebankan ke Cina oleh Amerika Serikat menjadi 125%, berlaku segera," kata Trump dalam unggahan media sosialnya pada Kamis 10 April 2025.
Menurut laporan Arab News, langkah yang diambil Trump tampaknya merupakan upaya untuk meredam perang dagang yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Amerika Serikat dan banyak negara di dunia.
Indeks saham S&P 500 melonjak sebesar 9,5 persen usai pengumuman tersebut, namun ketegangan terkait kebijakan tarif Trump belum mereda, karena pemerintahannya tengah bersiap untuk melakukan perundingan dengan berbagai negara.
Sebelumnya, Trump telah memberlakukan tarif impor yang sangat tinggi sebesar 104 persen terhadap seluruh produk dari Cina, yang akan mulai berlaku pada Rabu, 9 April 2025, sebagaimana diumumkan oleh Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, sehari sebelumnya.
Sebagai bentuk pembalasan, Cina juga bersiap menaikkan tarif sebesar 34 persen terhadap barang-barang asal AS pada hari yang sama. Langkah ini merupakan reaksi terhadap tarif besar yang diterapkan oleh AS.
Namun, Trump kembali meningkatkan tarif terhadap produk Cina sebesar 50 persen setelah Beijing tidak mencabut rencananya untuk memberlakukan tarif balasan sebesar 34 persen terhadap barang-barang AS.
Pada hari Selasa sebelumnya, Kementerian Perdagangan Cina menyatakan penolakannya terhadap tambahan tarif sebesar 50 persen tersebut, menyebutnya sebagai rangkaian kesalahan, dan berjanji akan memberikan balasan kepada AS.
Cina sendiri merupakan eksportir terbesar kedua ke Amerika Serikat, dengan nilai pengiriman barang mencapai US$439 miliar, sementara AS mengekspor produk senilai US$144 miliar ke Cina. Penerapan tarif bersama ini dikhawatirkan akan merugikan industri domestik dan berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja.
Cina melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lin Jian menegaskan bahwa pihaknya tidak menginginkan terjadinya perang dagang dan tarif, namun tidak akan mundur jika konflik semacam itu benar-benar terjadi.
Pernyataan ini disampaikan Lin dalam konferensi pers pada Kamis, 10 April 2025, sebagai tanggapan atas ancaman Presiden Trump, yang berencana memberlakukan tambahan tarif terhadap produk-produk impor dari Cina.
Lin menekankan bahwa langkah balasan yang diambil terhadap tekanan dari AS bukan sekadar demi menjaga kedaulatan, keamanan, dan pembangunan nasional Cina, melainkan juga demi menegakkan prinsip keadilan dan integritas di tataran global, melindungi sistem perdagangan multilateral, serta mempertahankan kepentingan bersama masyarakat internasional.
Australia Menolak Bantu Cina Lawan Tarif Trump
Australia pada Kamis menyatakan tidak akan bekerja sama dengan Cina dalam menghadapi kebijakan tarif Trump, menurut laporan media setempat.
Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menolak ajakan dari Cina untuk bergandengan tangan, dan menegaskan bahwa Australia akan menyuarakan pendiriannya.
"Hubungan dagang kami dengan Cina sangat penting. Satu dari empat lapangan kerja di Australia bergantung pada perdagangan, dan hingga saat ini, Cina tetap menjadi mitra dagang terbesar kami," ujar Albanese.
Menurut pengamatannya, isu perdagangan tersebut hanya berdampak pada sekitar 20 persen pasar global, sementara 80 persen aktivitas perdagangan lainnya tidak melibatkan Amerika Serikat.
Wakil Perdana Menteri Australia, Richard Marles, menolak ajakan dari Duta Besar Cina untuk Australia, Xiao Qian, agar Australia bergabung dengan Beijing sebagai bentuk solidaritas etelah kedua negara tersebut saling memberlakukan tarif.
Marles menegaskan bahwa Canberra akan mengutamakan kepentingan nasionalnya sendiri dan berfokus pada upaya diversifikasi perdagangan, termasuk memperkuat hubungan ekonomi dengan Indonesia, India, Inggris, dan Uni Emirat Arab.
Savero Aristia Wienanto dan Antara ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Puluhan Negara Mau Negoisasi dengan AS, Tarif Trump Ditunda