Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan warga Afganistan antre untuk bertemu dengan hakim pengadilan keliling Taliban di Kota Quetta, bagian barat Pakistan. "Anda tidak akan menemukan orang sebanyak ini di pengadilan Afganistan," kata Hajji Khudai Noor, seperti dikutip The New York Times, Sabtu dua pekan lalu. Pria asal Kandahar ini ikut antre karena enggan ke pengadilan resmi pemerintah Afganistan.
Taliban, yang pernah berkuasa di Afganistan, sebenarnya memiliki pengadilan pusat di Nazwad, wilayah Afganistan bagian tengah. Namun, menurut Integrity Watch Afghanistan pada 2012, Taliban menggelar pengadilan keliling sejak 2011 karena hakim mereka diburu oleh pemerintah Afganistan serta tentara gabungan NATO dan Amerika Serikat. Pengadilan keliling beroperasi di wilayah utara Afganistan hingga bagian barat Pakistan.
Dengan sistem itu, pengadilan digelar secara berpindah di distrik tertentu. Agar terjangkau warga, Taliban menugasi pasukan untuk bertanya kepada penduduk desa tentang perlunya hakim. Mereka bahkan memberikan nomor telepon hakim kepada warga. Integrity Watch menyebutkan 80 persen kasus di pengadilan adalah perselisihan keluarga atau masalah tanah, properti, dan air. Sisanya soal kasus kriminal, seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan.
Warga menyukai proses pengadilan Taliban karena setidaknya tiga faktor. Pertama, pengadilan berlangsung cepat, maksimal dua minggu. Matiullah Khan, salah satu warga yang memilih pengadilan keliling, membenarkan. Ia mengadukan sengketanya dengan Muhammad Aywaz mengenai kepemilikan properti. Ceritanya, Khan menyewakan rumah di sebidang tanahnya di Kandahar kepada Aywaz. Belakangan, ketika Khan hendak menempati kembali rumah itu, Away tak mau pindah. Aywaz bahkan mengklaim tanah Khan sebagai miliknya.
Mereka sempat mengadu ke pengadilan Afganistan, yang kemudian memutuskan pemilik properti adalah Khan. Aywaz menolak keputusan ini. Khan lalu membawa masalah ini ke pengadilan keliling Taliban dengan membawa bukti dan saksi. Dalam tiga jam, hakim Taliban menyatakan Khan pemilik sah properti. "Mereka cepat dan adil," kata Khan, juga kepada The New York Times.
Kali ini Aywaz menerima putusan itu. "Taliban mengambil tanah saya. Saya tidak tahu bagaimana hukum syariah. Tapi sekarang bagi saya itu masuk akal. Mereka berkata, saya perlu membangun rumah yang lebih layak," ujar Aywaz.
Penyebab kedua berpalingnya warga ke pengadilan keliling karena proses hukumnya bebas suap. Sardar, warga Kunduz, utara Afganistan, misalnya. Ia bercerita bahwa petugas pengadilan resmi Afganistan meminta uang pelicin dalam menyelesaikan perseteruannya dengan kakaknya soal tanah. Berbeda dengan Taliban, yang bisa dibayar dengan gandum dan produk pertanian lain. "Mereka (Taliban) datang ke rumah kami di Chahar Darah dan perlu dua hari untuk menyelesaikan masalah," kata Sardar kepada Reuters.
Warga lain, seorang penjaga toko yang tak mau menyebut nama, mengaku dimintai US$ 2.000 (sekitar Rp 25 juta) oleh petugas pengadilan ketika mengadukan masalah antara dia dan tetangganya. "Apakah perilaku muslim seperti itu?" ia mengeluh.
Isu korupsi juga diungkapkan Muhammad Ali Ahmadi, Wakil Gubernur Ghazni, di timur Afganistan. "Korupsi dan kurangnya institusi hukum menimbulkan tidak adanya hubungan antara rakyat dan pemerintah," dia bercerita kepada Afghanistan Today. Bahkan anggota parlemen Ghazni mencatat 80 persen masalah hukum di 14 distrik kota itu diselesaikan oleh Taliban.
Faktor ketiga adalah pemerintah Afganistan tak tegas menerapkan putusan pengadilan. Nadir Khan Girowal, anggota parlemen wilayah Gahzni, mengungkapkan, "Jika pengadilan membenarkan salah satu pihak, pemerintah lemah dalam menerapkan putusan itu." Sebaliknya, karena terkenal dengan catatan kekejaman, Taliban justru diandalkan untuk tegas.
Hal itulah yang dianggap kelebihan oleh warga Distrik Khogiani yang tak mau menyebutkan nama. "Jika ada ketidaksepahaman lebih lanjut tentang masalah tanah, Taliban akan memperingatkan orang itu dan memukulnya. Jika ia tetap berkeras, mereka akan membunuhnya," katanya.
Atmi Pertiwi (The New York Times, Reuters, Afghanistan Today)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo