Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT putusan juri dibacakan, Jeffrey A. Sterling berdiri tegak dan hanya memandang juri dengan tatapan tanpa emosi. Istrinya, yang duduk di belakangnya di ruang sidang di pengadilan di Alexandria, Virginia, terisak-isak. Mantan pegawai Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA) berusia 47 tahun ini dinyatakan bersalah melakukan tindakan mata-mata pada Senin dua pekan lalu.
"Ini putusan yang adil dan wajar," kata Jaksa Agung Eric H. Holder Jr. dalam pernyataannya. "Dibukanya (informasi rahasia) menempatkan nyawa orang dalam bahaya. Dan ini merupakan pelanggaran berat atas kepercayaan publik oleh seseorang yang telah bersumpah untuk menjaganya."
Lebih lanjut Holder menyatakan putusan itu menunjukkan kemungkinan mengadili pembocor informasi rahasia sekitar keamanan nasional tanpa menyeret wartawan, yang memang juga melakukan tugasnya.
Sterling dinyatakan bersalah telah memberikan informasi mengenai Operasi Merlin kepada James Risen, wartawan The New York Times. Operasi rahasia di masa pemerintahan Bill Clinton pada 2000-an ini dilancarkan untuk mengganggu program nuklir Iran.
Namun para pengacara Sterling menolak putusan itu. Mereka yakin Sterling tak bersalah. Mereka menuduh vonis Sterling hanya berdasarkan kecurigaan. "Pemerintah memiliki pengacara yang hebat," ujar pengacara Sterling, Barry J. Pollack. "Mereka memiliki teori hebat, membuat argumen hebat. Apa yang kurang dari pemerintah adalah bukti."
Selama pengadilan, memang tak ada bukti kuat yang disampaikan jaksa penuntut, seperti rekaman percakapan telepon atau saling tukar e-mail antara Sterling dan Risen mengenai hal itu. Bahkan Risen juga tegas menolak menyebut siapa sumbernya, meski di luar pengadilan.
Pollack mengakui Sterling dan Risen berhubungan, tapi mereka hanya bicara mengenai gugatan Sterling terhadap CIA. Mungkin saja Risen bertanya soal operasi di Iran saat Sterling bertugas, tapi, menurut Pollack, Sterling tak memberikan informasi kepada Risen.
Pengacara Sterling meyakini jurnalis itu mendapatkan informasi mengenai Operasi Merlin dari anggota staf Kongres, kemudian digabung dengan berbagai potongan informasi yang didapat dari sumber lain di CIA, juga dari ilmuwan Rusia yang dilibatkan dalam operasi.
Pada 2003, karena keprihatinannya akan operasi Iran itu, Sterling menjadi whistleblower dengan mengungkap informasi ketidakberesan operasi kepada Komite Intelijen Senat. Informasi ini juga terdapat dalam buku Risen yang terbit pada 2006, State of War. Operasi yang rencananya untuk menggagalkan atau menunda program nuklir Iran itu kemudian ketahuan, dan membuat Iran malah lebih maju.
Jaksa berbeda berpendapat. Menurut jaksa dalam argumen penutupnya, hanya Sterling yang memiliki informasi, motif, dan kesempatan untuk membocorkannya. "Terdakwa menempatkan kepentingan diri sendiri dan dendam pribadi di atas (kepentingan) rakyat Amerika," kata jaksa federal, Eric G. Olshan, seperti dilansir The New York Times. "Untuk apa? Dia membenci CIA, dan dia ingin menyamakan skor."
Sterling, yang bekerja di CIA mulai 1993, dipecat pada 2002. Sebelumnya, pada 2000, ia mengeluhkan tindakan diskriminatif di CIA. Setelah keluhan itu, kewenangannya dicabut, yakni menerima dan menyimpan dokumen penting operasi rahasia. Dia lalu ditempatkan di bagian administrasi hingga 2001. Setelah gagal dalam perundingan, kontraknya dengan CIA diputus pada 2002. Ia kemudian menggugat CIA.
Selain itu, ia berselisih paham dengan pejabat badan intelijen ini mengenai penulisan memoarnya yang menggambarkan sebagian kerjanya.
Putusan bersalah atas Sterling merupakan kemenangan besar bagi pemerintah Barack Obama dalam upaya memberangus pegawai pemerintah atau kontraktor yang "bernyanyi" kepada media mengenai masalah keamanan nasional tanpa persetujuan pemerintah. Selama pemerintahan Obama, ada delapan kasus sejenis. Kebanyakan yang dituduh melakukan pembocoran rahasia negara alias whistleblower sejak 2009 telah mengaku bersalah. Sebagian mencoba menghindari pengadilan. Misalnya mantan Manajer Badan Keamanan Nasional (NSA) yang juga dituduh membocorkan rahasia keamanan nasional, Thomas A. Drake, yang membuat kesepakatan agar tuduhan kepadanya diperingan sehingga ia tak harus menjalani hukuman penjara. Hal yang sama dilakukan dua mantan kontraktor pemerintah, Donald Sachtleben dan Stephen Kim.
Walau begitu, jaksa memberikan hukuman lumayan keras kepada John Kiriakou, yang dipenjara dua setengah tahun karena membuka nama-nama petugas yang sedang dalam penyamaran kepada jurnalis. Mantan pegawai CIA ini keluar dari penjara federal pada Selasa pekan lalu dan menjalani sisa hukuman, 86 hari, sebagai tahanan rumah.
Satu-satunya terdakwa yang diadili di pengadilan militer adalah Chelsea Manning—atau dulu Bradley Manning. Dia dinyatakan bersalah menyerahkan "segudang" dokumen pemerintah kepada organisasi anti-kerahasiaan, WikiLeaks, dan dijatuhi hukuman penjara 35 tahun.
Yang belum usai adalah kasus pembocoran rahasia oleh Edward J. Snowden. Mantan kontraktor NSA ini mengunduh ribuan dokumen NSA dan memberikannya kepada jurnalis The Guardian. Dokumen-dokumen itu mengungkap program pengawasan NSA yang dilakukan dengan memantau percakapan telepon warga Amerika. Dia kabur ke Rusia untuk menghindari pengadilan.
Selain itu, pemerintah masih mempertimbangkan pengadilan terhadap beberapa pejabat di kasus berbeda, termasuk mantan Direktur CIA David H. Petraeus, veteran diplomat Robin Raphel, dan pensiunan jenderal, James E. "Hoss" Cartwright.
Dan Frenche, mantan jaksa Distrik Utara New York yang sekarang bekerja di Hiscock & Barclay, menyatakan kepada The Washington Post bahwa pemerintah sepertinya akan semakin agresif dalam menghukum para "pembocor" di masa mendatang. "Menurut saya, mereka akan meneruskan kasus-kasus seperti ini untuk menunjukkan bahwa cara kerja para pegawai pemerintah atau kontraktor pemerintah yang seperti itu harus diadili karena risikonya sangat berat."
Kekhawatiran kemungkinan besar terjadi. "FBI akan terus memburu kasus seperti ini," ujar Direktur FBI James Comey dalam pernyataannya. Menurut dia, dalam kasus Sterling, mantan pegawai CIA itu telah melanggar sumpahnya untuk melindungi rahasia negara, dan Sterling telah mengkhianati negerinya.
Sebagian masyarakat dan komunitas media mencoba menyaksikan upaya pemberangusan terhadap para "pembocor" ini. Menurut Norman Solomon dari ExposeFacts dan RootsAction dalam tulisannya di The Huffington Post, pengungkapan informasi dari whistleblower sangat penting. "Rakyat berhak tahu apa yang dilakukan pemerintah."
Sebelum putusan dijatuhkan, beredar petisi yang mendesak pemerintah membatalkan dakwaan terhadap Sterling. Petisi diprakarsai oleh beberapa lembaga, di antaranya ExposeFacts, The Freedom of the Press Foundation, The Government Accountability Project, The Nation, The Progressive/Center for Media and Democracy, Reporters Without Borders, dan RootsAction.org.
Petisi bertajuk "Blowing the Whistle in Government Recklessness is a Public Service, Not a Crime" (Meniup Peluit atas Kesembronoan Pemerintah adalah Pelayanan Publik, Bukan Kejahatan) itu mendapat sambutan sekitar 30 ribu orang dalam beberapa pekan. "Ketika jurnalis menjadi target, mereka memiliki komunitas dan lobi yang sangat kuat untuk mendapatkan dukungan," kata pengacara "pembocor" dari Government Accountability Project, Jesselyn Radack, seperti dilansir Common Dreams. "Whistleblower berada di belantara. Mereka didakwa dengan dakwaan paling serius yang bisa dijatuhkan kepada warga Amerika: menjadi musuh negara."
Dukungan kepada Risen, yang tak bersedia membuka sumber, memang sangat besar. Saat RootsAction.org meluncurkan petisi berjudul "Kami Mendukung James Risen karena Kami mendukung Kebebasan Pers", lebih dari 100 ribu menandatanganinya. Akhirnya Risen memang tak dipanggil untuk bersaksi di pengadilan.
Sterling tak seberuntung Risen. Dinyatakan bersalah, dia kini menanti hingga April mendatang untuk mengetahui hukumannya. Sementara itu, pengacaranya belum menyerah dalam mengupayakan langkah hukum lebih lanjut. "Kami akan terus memperjuangkannya hingga level tertinggi," ucap pengacara Sterling lainnya, Edward B. MacMahon, kepada The New York Times.
Purwani Diyah Prabandari (The New York Times, The Washington Post, CNN, The Huffington Post, Common Dreams)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo