Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aula yang biasa dipakai untuk resepsi pernikahan itu penuh. Lebih dari 200 orang berkumpul di ruang di gedung seberang kantor Federasi Serikat Pekerja Nasional Libanon di Wata Msaytbeh di Beirut itu, Ahad dua pekan lalu. Tapi mereka bukannya berpesta merayakan pernikahan seseorang. Hadirin yang kebanyakan perempuan dan mengenakan pakaian merah ini mendeklarasikan berdirinya serikat pekerja rumah tangga.
"Ini langkah kecil sekaligus langkah besar," kata pekerja rumah tangga asal Filipina, Gemma Justo, 48 tahun, kepada The Daily Star. "Libanon yang pertama melakukan ini di kawasan Arab. Jadi, meskipun kami kecil, kami juga besar."
Saat ini di seluruh kawasan Arab terdapat sekitar 2,4 juta pekerja domestik migran dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Libanon jumlahnya sekitar 200 ribu, kebanyakan berasal dari Sri Lanka, Filipina, Bangladesh, dan Ethiopia. Sekitar 200 orang hadir dalam acara deklarasi organisasi yang diberi nama Serikat Pekerja Kebersihan dan Pelayanan Sosial itu.
Memang bukan hal gampang bagi para pekerja itu untuk hadir. Mereka yang datang tergolong nekat. Selain kekangan majikan, Kementerian Tenaga Kerja mengancam mengerahkan pasukan keamanan untuk membubarkan acara. Untung batal. "Kami tak ingin isu ini memberikan dampak negatif," kata seorang pejabat senior Kementerian Tenaga Kerja. Mereka tak mau tercoreng mukanya karena adanya organisasi internasional dan diplomat dalam acara itu.
Padahal, "Kami hanya ingin diperlakukan seperti layaknya manusia, seperti para pekerja lain," kata pekerja asal Filipina lainnya, Leticia, kepada AFP, seperti dilansir Al Akhbar. "Dengan serikat ini, saya tidak lagi merasa sendirian menghadapi kesewenang-wenangan." Beberapa tahun lalu Leticia diperkosa majikannya.
Menurut laporan Human Rights Watch 2015, para pekerja rumah tangga itu memang tak terlindungi dengan baik. Undang-undang ketenagakerjaan tidak mengatur mereka. Sistem kafala, yang juga diberlakukan di negara-negara Timur Tengah lain, memperburuk keadaan pekerja domestik ini. Kafala adalah sistem sponsor yang mengikat pekerja dengan sang majikan. Paspor pekerja pun kerap dipegang majikan sebagai sponsor.
"Ini membuka ruang terjadinya berbagai pelanggaran hak, seperti pengurungan, peniadaan istirahat, peniadaan libur, tak ada hak berhenti, tidak menerima gaji, dan serangan fisik juga seksual," demikian disebut dalam laporan organisasi penyokong hak asasi manusia, Anti-Slavery, tahun lalu.
Gemma Justo mengisahkan temannya yang cuma diperbolehkan makan roti dan sedikit sayur hanya karena majikan tak ingin ia gemuk. "Beberapa majikan mengurung pekerja di dalam kamar. Banyak pekerja lain yang tak mendapatkan gaji berbulan-bulan," kata Justo.
Dalam laporan lembaga KAFA, September lalu, 91 persen pekerja tak mendapat libur dan 90 persen tak boleh ke luar rumah sendirian. Sebanyak 53 persen mendapat gaji lebih rendah daripada yang dijanjikan.
Para pekerja pun lama bungkam. Baru belakangan mereka mulai berani menggelar aksi protes. Dua tahun lalu mereka serius memikirkan pembentukan serikat kerja. Beberapa pekerja domestik asal Filipina, Sri Lanka, Madagaskar, dan Ethiopia berkolaborasi dengan pekerja rumah tangga Libanon menyerahkan permohonan untuk pembentukan serikat kerja ke Kementerian Tenaga Kerja.
Upaya mereka masih membentur tembok. Menteri Tenaga Kerja Sejaan Azzi malah menyodorkan rancangan undang-undang. Di dalamnya diatur beberapa hal, termasuk soal kontrak tertulis antara pekerja dan majikan dalam bahasa kedua pihak, asuransi bagi pekerja, pembatasan jam kerja delapan jam sehari, serta hak cuti.
"Undang-undang ini akan menyelesaikan masalah yang dialami pekerja domestik, bukan dengan membentuk kelompok dengan kedok sindikat yang membuat mereka terlibat dalam konflik baru," demikian dinyatakan dalam pernyataan Kementerian Tenaga Kerja.
Tapi para pekerja tak surut langkah.
Purwani Diyah Prabandari (Al Akhbar, The Daily star, Al Jazeera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo