Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA Jumat, 8 Desember lalu, Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) melaporkan lebih dari 578 ribu orang Myanmar diperkirakan telah mengungsi sejak 26 Oktober lalu. Namun angka tersebut sulit dikonfirmasi mengingat ada yang kembali tanpa dokumen serta terjadinya pengungsian berulang dan pemutusan jalur telekomunikasi. Jumlah ini menambah sekitar 2 juta warga Myanmar yang mengungsi sebelumnya. Selain itu, 363 warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, dilaporkan tewas dan 461 lainnya cedera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelombang pengungsian ini terjadi setelah tiga kelompok milisi etnis dan Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), milisi bentukan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), melancarkan serangan bersama terhadap Tatmadaw, militer Myanmar, di perbatasan dengan Cina pada 27 Oktober lalu, yang disebut Operasi 1027.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat yang sama, Fortify Rights, organisasi hak asasi independen internasional, mendesak negara-negara anggota Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengatasi “standar ganda” dalam penyelenggaraan peradilan internasional dan segera mengajukan kasus Myanmar kepada jaksa ICC.
“Sudah terlalu lama militer Myanmar dan para pendukungnya menikmati impunitas penuh atas kejahatan internasional yang mereka lakukan, termasuk kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan bahkan genosida,” kata Chief Executive Officer Fortify Rights Matthew Smith dalam pernyataannya.
Meskipun Myanmar bukan negara anggota ICC, NUG, yang mewakili para pemimpin Myanmar dalam pemerintahan sipil sebelum dikudeta militer pada Februari 2021, telah mengajukan deklarasi berdasarkan Pasal 12 ayat 3 Statuta Roma ke ICC pada 17 Juli 2021. Deklarasi ini membuat Myanmar masuk yurisdiksi ICC. Dalam analisis hukumnya, Fortify Rights membuktikan bahwa NUG secara sah memberikan yurisdiksi kepada ICC berdasarkan hukum internasional. Dengan demikian, kejahatan junta militer setelah 17 Juli 2021 dapat diadili oleh ICC.
PBB
Amerika Memveto Lagi Gencatan Senjata Gaza
Serangan tentara Israel di Khan Younis, selatan Jalur Gaza, Palestina, 8 Desember 2023. Reuters/Pasukan Pertahanan Israel
AMERIKA Serikat memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Jumat, 8 Desember lalu. Resolusi itu menuntut diberlakukannya gencatan senjata kemanusiaan segera untuk menghentikan pertumpahan darah yang sedang berlangsung di Jalur Gaza akibat perang Hamas-Israel. Rancangan yang disponsori hampir 100 negara itu mendapat dukungan 13 dari 15 anggota Dewan Keamanan itu. Rancangan itu menyerukan semua pihak yang berkonflik untuk mematuhi hukum internasional, khususnya pelindungan terhadap warga sipil.
Amerika menilai rancangan itu “tidak seimbang” dan tidak realistis karena tidak mengutuk serangan Hamas pada 7 Oktober lalu. “Resolusi ini pada dasarnya mengatakan bahwa Israel harus menenggang hal ini dan membiarkan teror ini tidak terkendali,” ujar Deputi Perwakilan Tetap Amerika di PBB, Robert A. Wood, dalam rilis pers PBB. Inggris, yang juga punya hak veto, memilih abstain dengan alasan resolusi itu tidak mengutuk kekejaman Hamas terhadap warga sipil Israel.
Dengan demikian, sejak 1945, Amerika telah 35 kali memveto rancangan resolusi mengenai masalah Israel-Palestina. Sebelumnya, Amerika memblokir rancangan resolusi mengenai jeda kemanusiaan di Gaza pada Oktober lalu. Dua resolusi lain pernah diveto oleh Rusia dan Cina. Dmitry Polyanskiy, perwakilan Rusia di PBB, mengatakan sikap Amerika saat ini “meninggalkan dunia yang hangus” serta meminta Amerika “membuat pilihan yang tepat” dan mendukung tuntutan diakhirinya kekerasan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pengungsi Myanmar Meningkat", "Amerika Memveto Lagi Gencatan Senjata Gaza"