PERANG Iran-Irak telah menghentikan suplai minyak ke sejumlah
negara. Banyak negara berkembang terpukul karenanya. Muangthai
dan Filipina, keduanya anggota ASEAN, misalnya, kini berpaling
ke Indonesia untuk mendapatkan tambahan minyak mentah (crude
oil). Indonesia hanya bisa mensuplai tambahan 300 ribu barrel,
sedang Muangthai meminta tambahan 500.000 barrel. Dari
Indonesia, setiap hari secara tetap negeri ini mengimpor 10 ribu
barrel.
Filipina yang setiap hari mengimpor 25 ribu barrel dari
Indonesia diketahui mengharapkan pula tambahan suplai. Jauh
sebelum perang meletus, Manila memang beruntung mengambil jatah
impor 5,5 juta barrel dari Irak. Sekalipun demikian, pekan ini
pemerintahan Marcos mulai mewajibkan pendaftaran semua kendaraan
pribadi, suatu langkah awal untuk pencatuan bahan bakar kelak.
Sanggupkah Indonesia, bila diminta, menambah jatah Filipina?
"Lihat dulu kemampuan produksi," jawab Menteri Pertambangan dan
Energi Prof. Soebroto pekan lalu. Produksi minyak mentah
Indonesia diperkirakan 1,5 juta barrel/hari -- tapi hanya 1,1
juta barrel yang bisa diekspor.
Jepang, yang mengimpor sekitar 30% kebutuhan dalam negerinya
dari Irak, juga terpukul. Kalangan industri di Tokyo mendesak
pemerintahnya agar segera mendekati Meksiko untuk meningkatkan
ekspor minyaknya sampai 300 ribu barrel/hari ke Jepang mulai
tahun depan. Kini Jepang mengimpor 100 ribu barrel/hari dari
Meksiko.
Prancis, Brazil, India, Spanyol dan Italia yang mengimpor minyak
dari Iran dan Irak, belum terdengar mencari sumber minyak mentah
baru. Mungkin karena ada janji Arab Saudi untuk mengisi
kekosongan itu.
Karena terbiasa menghadapi krisis penyediaan minyak mentah
--dimulai embargo Arab 1973, kemudian pergolakan Iran -- AS dan
beberapa negeri industri tidak menjadi kaget karenanya. Namun
peperangan Iran-lrak jelas menyebabkan dunia kehilangan suplai
hampir 4 juta barrel/hari -- sekitar 7% dari 51 juta barrel
produksi dunia.
Memang AS, misalnya, sempat sempoyongan ketika produksi minyak
Iran anjlok dari 6,5 juta barrel ke 1,5 juta barrel/hari karena
pergblakan (1978) di Iran. Belajar dari serangkaian krisis itu,
beberapa negara seperti AS, Jepang, Prancis, dan Jerman Barat
sejak lima tahun terakhir ini membangun cadangan strategis
minyak bumi. Dengan cadangan itu, "konsumsi nasional AS bisa
dipenuhi untuk jangka waktu pendek," kata Presiden Jimmy Carter.
Kelompok negara industri nonkomunis kini masih memiliki cadangan
strategis 500 juta barrel -- cukup untuk menanggulangi
kekurangan suplai minyak Iran dan Irak selama empat bulan.
Mereka juga memiliki cadangan ekstra 500 juta barrel. Sementara
itu, masih ada lagi 3,7 milyar barrel minyak mentah yang berada
di perjalanan dalam tanker dan pipa-pipa minyak.
Selama setahun tak ada alasan mereka khawatir karena kekurangan
suplai minyak. "Tapi negara industri (Barat) pengimpor minyak
akan tetap menghadapi ketidak pastian situasi politik. Mungkin
saja karena pergolakan politik, suplai minyak akan terputus
lagi," kata Brice Sachs, Wakil Presiden xxon International Co.
Hilangnya suplai minyak Iran dan Irak, demikian Menteri
Soebroto, justru akan menyebabkan terjadinya keseimbangan antara
permintaan dan penyediaan. Kenapa? Sebelum pecah perang, suplai
minyak dunia berlebih (glut) 2 - 3 juta barrel setiap hari. Bila
didesak situasi, negara industri diperkirakan akan mampu
mengontrol kebutuhannya. "Namun yang sulit diukur adalah
pengaruh psikologis peperangan itu," kata Soebroto.
Pendapatnya terbukti. Di Rotterdam harga minyak spot (tunai)
jenis Arabian Light, misalnya, naik dari US$ 31 ke US$ 35 per
barrel. Namun belum terdengar bahwa pasaran minyak spot diserbu
pembeli. Sangat dipercayai, "Brazil, Prancis dan Italia akan
mencari minyak di pasaran spot," kata seorang pedagang minyak.
Bila suplai minyak Iran dan Irak terhenti cukup lama, tak
mustahil harga resmi (kontrak) akan melonjak dari US$ 31 (harga
rata-rata kini) ke US$ 57. Kenaikan harga menyolok tersebut
agaknya tidak dikehendaki beberapa anggota OPEC yang dikenal
moderat. Buktinya pekan lalu, Arab Saudi, Kuwait dan Persatuan
Emirat Arab (UAE) diberitakan secara bersama menaikkan produksi
sebesar 3 juta barrel/ hari. Sebelumnya, produksi Arab Saudi,
Kuwait dan Persatuan Emirat Arab masing-masing 9,5 juta, 1,5
juta dan 1,7 juta barrel/hari.
Sementara itu di Washington, Carter kabarnya menghimbau Presiden
Nigeria Shehu Shagari, yang tengah berkunjung ke sana, agar
menaikkan pula produksinya. AS setiap hari mengimpor separuh
dari semua, 2 juta barrel produksi Nigeria. Bila niat Arab
Saudi, Kuwait, Persatuan Emirat Arab dan Nigeria terwujud, hal
itu berarti keputusan OPEC yang akan menurunkan produksi
masing-masing negara anggota sebesar 10% menjadi batal.
Yang mencemaskan adalah bila peperangan itu meluas ke seluruh
kawasan Teluk Persia dan Selat Hormuz tertutup. Sendi
perekonomian Barat akan terguncang. Sekitar 40% impor minyak AS,
Eropa dan Jepang berasal dari kawasan ini. Lewat Selat Hormuz,
yang pernah dijuluki Syah Pahlavi sebagai urat nadi Barat, kini
setiap hari masih mengalir 13 juta barrel minyak mentah.
Suatu ancaman terhadap Teluk Persia dan Selat Hormuz bisa juga
dianggap mengancam kelangsungan hidup industri Barat. Jadi bisa
dipahami bila AS tergesa-gesa mengirimkan pesawat pengintai
AWACS ke Arab Saudi untuk membantu menjaga keamanan kawasan
Teluk itu (lihat Teknologi).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini