KENDARAAN bermotor sudah tidak memadati jalan-jalan di Teheran.
Bila malam turun, kota itu tetap gelap. Raungan sirene tanda
bahaya adakalanya memecah kesenyapan. Namun kehidupan di ibukota
Iran itu berjalan seperti biasa. Penduduknya masih dengan mudah
mendapatkan bahan makanan.
Tapi pekan lalu, pemerintah mulai melakukan pencatuan bensin
untuk kendaraan pribadi. Suatu pertanda bahwa peperangan telah
menyebabkan sendi perekonomian Iran mulai goyah. Beratkah
ekonomi Iran terpukul?
Dalam tempo dua jam sejak pertempuran pecah, bisnis ekspor
minyak mentah Iran terhenti. Itu berarti, Iran tidak bisa
menyalurkan 700 ribu barrel/hari minyak mentah ke berbagai
negara kehilangan pendapatan devisa sekitar US$ 25 juta (Rp
15,75 milyar) setiap harinya. Selain minyak mentah, Iran setiap
hari sebelum perang juga mengekspor 300 ribu barrel produksi
kilang minyak Abadan.
Terhentinya ekspor minyak bumi merupakan ancaman langsung
terhadap perekonomian Iran. Sebab sekitar 95% pendapatan luar
negeri Iran berasal dari penjualan komoditi minyak bumi ini.
Cadangan devisanya dari minyak bumi awal tahun ini diperkirakan
sebesar US$ 25 milyar (Rp 15,75 trilyun) Tapi US$ 8 milyar (Rp 5
trilyun) di antaranya berada di berbagai bank AS, dan telah
dibekukan Presiden Jimmy Carter sebagai tindakan balasan atas
penyanderaan staf Kedutaan Besar AS di Teheran.
Tindakan Carter tersebut disusul dengan penarikan ribuan teknisi
dan penghentian pengiriman suku cadang industri perminyakan.
Akibatnya produksi minyak Iran anjlok sampai 1,5 juta barrel
dari 6,5 juta barrel/hari, seperti pernah dicapainya tiga tahun
lalu. Dari pendapatan minyak bumi yang sedikit itu, T eheran
harus memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya akan bahan makanan.
Karena pertaniannya tidak maju -- hanya sekitar 10% dari luas
tanahnya bisa digarap, Iran masih harus mengimpor bahan makanan.
Tahun lalu, impor itu mencapai nilai US$ 4 milyar (Rp 2,5
trilyun) -- sama dengan seperempat pendapatan minyak buminya.
Tentu saja impor makanan tidak bisa dihentikan dengan alasan
negara sedang berperang dan ekspor minyak terhenti. Yang jelas,
untuk membiayai perang dan kebutuhan bahan makanan, pemerintah
Teheran mau tak mau terpaksa harus menggerogoti cadangan
devisanya.
Sampai kapan Iran bisa bertahan tanpa mengekspor minyak bumi?
"Kami akan mampu bertahan sekitar tujuh bulan tanpa ekspor
minyak," jawab Ali Reza Nobari, Gubernur Bank Sentral Iran. Ia
menyebut tersedia cadangan bebas US$ 8 milyar (Rp 5 trilyun)
yang bisa dipakai untuk menanggulangi keburuhan rakyatnya.
Tapi bila perang berkepanjangan, rakyat Iran tampaknya akan
semakin mengetatkan ikat pinggang. Perang telah menyebabkan
kerusakan luar biasa pada jaringan pipa dan instalasi minyak
Iran. Ada kemungkinan Iran tak lama lai akan jadi negara
pengimpor minyak.
Kilang minyak Abadan (berkapasitas 600 ribu barrel sehari),
salah satu yang terbesar di dunia, rusak berat. "Bom dan roket
tentara rezim Saddam Hussein tclah menghancurkannya," keluh Dr.
Mustafa Ali Chamran, bekas Menteri Pertahanan kabinet PM Mehdi
Bazargan.
Kilang Abadan, demikian dilaporkan seorang wartawan, kini
bagaikan tumpukan besi tua yang cerai-berai. Samr)ai awal pekan
ini, api maslh tampak membakar kilang minyak Abadan. Kerusakan
berat juga menimpa terminal minyak Pulau Kharg. Pada masa
normal, terminal Iran ini bisa melayani sekaligus 14 tanker
raksasa untuk melIluat minyak.
Pesawat-pesawat pembom Irak sangat bernafsu sekali menghancurkan
Abadan dan Pulau Kharg. Bahkan pekan lalu, pasukan lapis baja
dan artileri berat Irak dikabarkan berhasil menyeberangi Sungai
Karun -- menuju Abadan.
BUKAN tak mungkin artileri berat Irak tadi akan meneruskan
penghancuran ke kota Bandar Khomeini (d/h Bandar Shahpur) -- tak
jauh dari Abadan. Di kota ini terletak proyek industri
petrokimia berharga US$ 3,2 milyar (Rp 2 trilyun) yang sedang
dibangun sebagai usaha patungan pemerintah Iran dan kelompok
Mitsui, Jepang. Pabrik yang sudah 85% selesai ini direncanakan
akan memproduksi 300 ribu ton ethylene setiap tahun. Tapi hari
Minggu lalu ketiga kalinya pesawat Irak membom kompleks
industri tersebut.
Kerusakan berat juga dikabarkan terjadi pada instalasi kilang
minyak di Qasr-e-Shirin dan Isfahan. Sedang kilang dan stasiun
pompa minyak di Ahwaz, dan Dezful yang strategis juga
diberitakan rusak hebat kena gempuran artileri berat Irak.
Bagaimana dengan instalasi minyak Irak? Kilang minyaknya di
Basra (baru saja diperluas dengan menelan biaya US$ 1 milyar
atau Rp 630 milyar), Kirkuk, Baghdad dan Mosul, juga rusak.
Jaringan pipa minyak yang menghubungkan lapangan minyak Kirkuk,
Bai Hassan dan Jambour dengan Laut Tengah mampu menyalurkan
minyak 1 juta barrel/hari -- cerai berai dihajar pesawat F4
Phantom Iran. Hal yang sama menimpa pula jaringan pipa -- mampu
menyalurkan minyak 700 ribu barrel/hari -- yang melintasi Turki
ke Laut Tengah.
Terhentinya ekspor minyak Irak (3,2 juta barrel/hari) juga
merupakan ancaman langsung terhadap ekonomi Irak. Pengeluaran
untuk mengimpor bahan makanan dan membiayai peperangan, tentu
akan menguras banyak devisanya.
Tanpa pendapatan dari ekspor minyak sampai kapan Irak mampu
bertahan? "Kami masih bisa bertahan satu tahun dengan cadangan
devisa yang ada," kata Hassan Najafi, Gubernur Bank Sentral Irak
tanpa menyebut persis berapa sesungguhnya cadangan devisa Irak.
Sulit dinilai berapa kerugian Iran dan Irak akibat hancurnya
instalasi minyak milik mereka. Yang jelas untuk memulihkan
instalasi minyak kedua negara pada kondisi sebelum perang,
setidaknya dibutuhkan waktu 1-2 tahun. Berarti selama itu pula,
keduanya tak bisa mengekspor minyak bumi. Tak mustahil bila
cadangan devisa kedua negara tersebut akan terkuras banyak untuk
mengongkosi pemulihan instalasi minyak, dan membeli kebutuhan
bahan bakar serta bahan makanan di dalam negeri.
Bahkan dalam musim dingin (Desember), menurut koran Asian Wall
Street Journal, Iran mungkin akan kedinginan sekali bila tidak
mengimpor bahan bakar. Sedang Irak, yang tampak siap menghadapi
peperangan diperkirakan masih memiliki cadangan minyak untuk
waktu lebih lama.
Dan menjelang saat genting tiba, koran Daily Mail, London,
menurunkan berita mengejutkan. Iran disebutnya menjual 40 ton
emas (seperempat dari cadangan emas miliknya) ke pasaran bebas,
hingga menyebabkan harganya di London tidak naik. Alasan
penjualan ialah, demikian koran itu, cadangan devisa minyak Iran
sudah kering -- sementara simpanannya di AS tetap tak bisa
dicairkan.
Para broker (pedagang perantara) emas di London tidak bisa
memastikan kebenaran berita tersebut -- sekalipun memang terasa
sejak pecah perang Iran-Irak harga emas tak pernah mengalami
kenaikan. Bank Sentral Iran sudah membantah berita koran itu.
"Tidak satu gram pun cadangan emas Iran dijual," kata seorang
pejabat bank itu.
Iran boleh saja tak melepaskan cadangan emas. Tapi ekonominya
akan guncang, bila keIak Irak benar-benar menguasai Provinsi
Khuzistan (mayoritas berpenduduk Arab) -- bukan hanya sekedar
ingin mengontrol jalan air Shattal-Arab menuju Teluk Persia.
Sebab dari provinsi inilah sebagian besar minyak (devisa) Iran
berasal. Ketika produksi minyak Iran pada 1977 mencapai 6,5 juta
barrel/hari, 5,7 juta barrel di antaranya datang dari bumi
Khuzistan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini