Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sana Remuk, Sini Hancur

Perang Irak-Iran menyebabkan perekonomian kedua negara tersebut mulai goyah, tapi Irak cadangan devisanya lebih kuat.(ln)

18 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENDARAAN bermotor sudah tidak memadati jalan-jalan di Teheran. Bila malam turun, kota itu tetap gelap. Raungan sirene tanda bahaya adakalanya memecah kesenyapan. Namun kehidupan di ibukota Iran itu berjalan seperti biasa. Penduduknya masih dengan mudah mendapatkan bahan makanan. Tapi pekan lalu, pemerintah mulai melakukan pencatuan bensin untuk kendaraan pribadi. Suatu pertanda bahwa peperangan telah menyebabkan sendi perekonomian Iran mulai goyah. Beratkah ekonomi Iran terpukul? Dalam tempo dua jam sejak pertempuran pecah, bisnis ekspor minyak mentah Iran terhenti. Itu berarti, Iran tidak bisa menyalurkan 700 ribu barrel/hari minyak mentah ke berbagai negara kehilangan pendapatan devisa sekitar US$ 25 juta (Rp 15,75 milyar) setiap harinya. Selain minyak mentah, Iran setiap hari sebelum perang juga mengekspor 300 ribu barrel produksi kilang minyak Abadan. Terhentinya ekspor minyak bumi merupakan ancaman langsung terhadap perekonomian Iran. Sebab sekitar 95% pendapatan luar negeri Iran berasal dari penjualan komoditi minyak bumi ini. Cadangan devisanya dari minyak bumi awal tahun ini diperkirakan sebesar US$ 25 milyar (Rp 15,75 trilyun) Tapi US$ 8 milyar (Rp 5 trilyun) di antaranya berada di berbagai bank AS, dan telah dibekukan Presiden Jimmy Carter sebagai tindakan balasan atas penyanderaan staf Kedutaan Besar AS di Teheran. Tindakan Carter tersebut disusul dengan penarikan ribuan teknisi dan penghentian pengiriman suku cadang industri perminyakan. Akibatnya produksi minyak Iran anjlok sampai 1,5 juta barrel dari 6,5 juta barrel/hari, seperti pernah dicapainya tiga tahun lalu. Dari pendapatan minyak bumi yang sedikit itu, T eheran harus memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya akan bahan makanan. Karena pertaniannya tidak maju -- hanya sekitar 10% dari luas tanahnya bisa digarap, Iran masih harus mengimpor bahan makanan. Tahun lalu, impor itu mencapai nilai US$ 4 milyar (Rp 2,5 trilyun) -- sama dengan seperempat pendapatan minyak buminya. Tentu saja impor makanan tidak bisa dihentikan dengan alasan negara sedang berperang dan ekspor minyak terhenti. Yang jelas, untuk membiayai perang dan kebutuhan bahan makanan, pemerintah Teheran mau tak mau terpaksa harus menggerogoti cadangan devisanya. Sampai kapan Iran bisa bertahan tanpa mengekspor minyak bumi? "Kami akan mampu bertahan sekitar tujuh bulan tanpa ekspor minyak," jawab Ali Reza Nobari, Gubernur Bank Sentral Iran. Ia menyebut tersedia cadangan bebas US$ 8 milyar (Rp 5 trilyun) yang bisa dipakai untuk menanggulangi keburuhan rakyatnya. Tapi bila perang berkepanjangan, rakyat Iran tampaknya akan semakin mengetatkan ikat pinggang. Perang telah menyebabkan kerusakan luar biasa pada jaringan pipa dan instalasi minyak Iran. Ada kemungkinan Iran tak lama lai akan jadi negara pengimpor minyak. Kilang minyak Abadan (berkapasitas 600 ribu barrel sehari), salah satu yang terbesar di dunia, rusak berat. "Bom dan roket tentara rezim Saddam Hussein tclah menghancurkannya," keluh Dr. Mustafa Ali Chamran, bekas Menteri Pertahanan kabinet PM Mehdi Bazargan. Kilang Abadan, demikian dilaporkan seorang wartawan, kini bagaikan tumpukan besi tua yang cerai-berai. Samr)ai awal pekan ini, api maslh tampak membakar kilang minyak Abadan. Kerusakan berat juga menimpa terminal minyak Pulau Kharg. Pada masa normal, terminal Iran ini bisa melayani sekaligus 14 tanker raksasa untuk melIluat minyak. Pesawat-pesawat pembom Irak sangat bernafsu sekali menghancurkan Abadan dan Pulau Kharg. Bahkan pekan lalu, pasukan lapis baja dan artileri berat Irak dikabarkan berhasil menyeberangi Sungai Karun -- menuju Abadan. BUKAN tak mungkin artileri berat Irak tadi akan meneruskan penghancuran ke kota Bandar Khomeini (d/h Bandar Shahpur) -- tak jauh dari Abadan. Di kota ini terletak proyek industri petrokimia berharga US$ 3,2 milyar (Rp 2 trilyun) yang sedang dibangun sebagai usaha patungan pemerintah Iran dan kelompok Mitsui, Jepang. Pabrik yang sudah 85% selesai ini direncanakan akan memproduksi 300 ribu ton ethylene setiap tahun. Tapi hari Minggu lalu ketiga kalinya pesawat Irak membom kompleks industri tersebut. Kerusakan berat juga dikabarkan terjadi pada instalasi kilang minyak di Qasr-e-Shirin dan Isfahan. Sedang kilang dan stasiun pompa minyak di Ahwaz, dan Dezful yang strategis juga diberitakan rusak hebat kena gempuran artileri berat Irak. Bagaimana dengan instalasi minyak Irak? Kilang minyaknya di Basra (baru saja diperluas dengan menelan biaya US$ 1 milyar atau Rp 630 milyar), Kirkuk, Baghdad dan Mosul, juga rusak. Jaringan pipa minyak yang menghubungkan lapangan minyak Kirkuk, Bai Hassan dan Jambour dengan Laut Tengah mampu menyalurkan minyak 1 juta barrel/hari -- cerai berai dihajar pesawat F4 Phantom Iran. Hal yang sama menimpa pula jaringan pipa -- mampu menyalurkan minyak 700 ribu barrel/hari -- yang melintasi Turki ke Laut Tengah. Terhentinya ekspor minyak Irak (3,2 juta barrel/hari) juga merupakan ancaman langsung terhadap ekonomi Irak. Pengeluaran untuk mengimpor bahan makanan dan membiayai peperangan, tentu akan menguras banyak devisanya. Tanpa pendapatan dari ekspor minyak sampai kapan Irak mampu bertahan? "Kami masih bisa bertahan satu tahun dengan cadangan devisa yang ada," kata Hassan Najafi, Gubernur Bank Sentral Irak tanpa menyebut persis berapa sesungguhnya cadangan devisa Irak. Sulit dinilai berapa kerugian Iran dan Irak akibat hancurnya instalasi minyak milik mereka. Yang jelas untuk memulihkan instalasi minyak kedua negara pada kondisi sebelum perang, setidaknya dibutuhkan waktu 1-2 tahun. Berarti selama itu pula, keduanya tak bisa mengekspor minyak bumi. Tak mustahil bila cadangan devisa kedua negara tersebut akan terkuras banyak untuk mengongkosi pemulihan instalasi minyak, dan membeli kebutuhan bahan bakar serta bahan makanan di dalam negeri. Bahkan dalam musim dingin (Desember), menurut koran Asian Wall Street Journal, Iran mungkin akan kedinginan sekali bila tidak mengimpor bahan bakar. Sedang Irak, yang tampak siap menghadapi peperangan diperkirakan masih memiliki cadangan minyak untuk waktu lebih lama. Dan menjelang saat genting tiba, koran Daily Mail, London, menurunkan berita mengejutkan. Iran disebutnya menjual 40 ton emas (seperempat dari cadangan emas miliknya) ke pasaran bebas, hingga menyebabkan harganya di London tidak naik. Alasan penjualan ialah, demikian koran itu, cadangan devisa minyak Iran sudah kering -- sementara simpanannya di AS tetap tak bisa dicairkan. Para broker (pedagang perantara) emas di London tidak bisa memastikan kebenaran berita tersebut -- sekalipun memang terasa sejak pecah perang Iran-Irak harga emas tak pernah mengalami kenaikan. Bank Sentral Iran sudah membantah berita koran itu. "Tidak satu gram pun cadangan emas Iran dijual," kata seorang pejabat bank itu. Iran boleh saja tak melepaskan cadangan emas. Tapi ekonominya akan guncang, bila keIak Irak benar-benar menguasai Provinsi Khuzistan (mayoritas berpenduduk Arab) -- bukan hanya sekedar ingin mengontrol jalan air Shattal-Arab menuju Teluk Persia. Sebab dari provinsi inilah sebagian besar minyak (devisa) Iran berasal. Ketika produksi minyak Iran pada 1977 mencapai 6,5 juta barrel/hari, 5,7 juta barrel di antaranya datang dari bumi Khuzistan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus