Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang jadi arang, damai jadi abu

Perang iran-irak berakibat kerugian bagi rakyat. pasukan pbb dipimpin slavkojovic dari yugoslavia, mengawasi gencatan senjata. usai perang, diduga rakyat irak berontak pada presiden saddam hussein.

20 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI yang kini ditunggu rakyat Iran dan Irak dengan harap-harap cemas adalah Sabtu akhir pekan ini. Itulah hari mulai berlakunya gencatan senjata antara kedua negara yang telah berseteru selama delapan tahun. Han itu pasukan pengawas perdamaian PBB dari 24 negara yang dipimpin Mayjen Slavko Jovic dari Yugoslavia, 15 perwira di antaranya berasal dari Indonesia (lihat Nasional), sudah harus menjalankan tugas mereka. Tapi sebelum Sabtu yang ditunggu itu datang, peluru dan bom kimia kedua negara tetap saja menebar maut. Presiden Iran Ali Khamenei sampai gusar melihat kenyataan itu. "Perang belum tentu mendekati akhir," ujarnya. Ia menuding pesawat-pesawat tempur Irak dalam dua pekan terakhir masih menjatuhkan bom-bom kimia di wilayah Iran. Mungkinkah kedua seteru itu benar-benar akan berunding langsung? Di kertas, perundingan memang sudah dijadwalkan akan dilaksanakan lima hari setelah gencatan senjata resmi berlangsung. Tapi apa jaminannya kalau suhu pertempuran masih terus meninggi. Perdamaian sejati antara Irak dan Iran agaknya sulit terwujud. Pemerintahan Presiden Saddam Hussein tak akan pernah tenang selama Iran masih dikuasai mullah. Pengikut Syiah Iran secara tak langsung masih bisa mengancam kekuasaan Saddam Hussein, dengan memberi dukungan politik dan dana pada kelompok Syiah Irak. Tahun 1980, sebelum perang antara kedua negara meletus, Iran sempat memanasmanasi pengikut Syiah Irak untuk memicu revolusi Islam. Tapi mereka gagal. Saddam lalu mengobarkan semangat Arab untuk menyerang Iran sebagai bangsa Persia. Sukses. Maka, Kota Basra, kendati paling sering diserbu dan mayoritas penduduknya pengikut Syiah, tak pernah jatuh ke tangan Iran. Sampai sekarang orang-orang Syiah Irak masih menempatkan soal Arab di urutan pertama, setelah itu baru soal Syiah. Tapi kalau perang benar-benar usai, bukan mustahil keadaan berbalik. Pengikut Syiah Irak hampir dipastikan akan menempatkan masalah Syiah di peringkat kesatu. Soalnya, Saddam dan penguasa sipil maupun militer Irak adalah orang Suni. Lebih sempit lagi, Saddam memberikan posisi-posisi kunci pada orang-orang Takrit -- daerah kelahiran Saddam di utara Irak. Itu sudah terlihat: Menteri Pertahanan Adnan Khairallah adalah sepupunya, dan Menteri Perindustrian Brigjen. Hussein Kamil adalah menantunya. Sebenarnya, berbagai usaha menggulingkan Saddam sudah beberapa kali dilakukan perwira-perwira bawahannya. Tapi usaha-usaha itu dapat dimentahkan Saddam. Terakhir, sebulan lalu, Letjen. Mahir Abdul Rasid, komandan divisi ke-7 yang tak menyukai Saddam dinyatakan tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang. Tak diketahui apakah jenderal yang populer itu benar-benar tewas kecelakaan atau dibunuh. Sebelum perang, Saddam juga termasuk dibenci negara-negara Arab. Karena Saddam berasal dari Partai Ba'ath, yang beraliran sosialis, dia bercita-cita mempersatukan Arab lewat partainya. Hanya saja, sejak perang Irak-Iran meletus, usaha untuk menumbangkan Saddam dilupakan. Tapi tak mustahil, di saat perang usai, usaha itu akan kembali dipicu. Mereka yang bersekongkol menjatuhkan Saddam tentu akan mendapat angin lebih segar. Rakyat akan lebih gampang dimanfaatkan, lantaran kecewa pada hasll perang yang sudah berjalan hampir delapan tahun. Para kerabat prajurit yang gugur di medan tempur akan kecewa dan bertanya-tanya. Untuk apa bertempur kalau tak sejengkal pun tanah Iran yang direbut? Malah utang negara makin bertumpuk -- hampir US$ 60 milyar. Kendati Iran tak terjerat utang luar negeri, perdamaian juga membawa akibat tak sedap bagi mereka. Ratusan ribu sukarelawan akan dihadapkan pada kenyataan sulitnya mencari pekerjaan, sementara harga-harga barang kebutuhan sehari-hari terus membubung. Tak mustahil dari merekalah ancaman dahsyat bisa meledak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus