Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perang memasuki minggu keempat dan tidak ada tanda-tanda mereda. Serangan Israel di Libanon memang sempat terhenti 48 jam setelah pengebom-an di Qana, Minggu 30 Juli lalu. Tapi Israel -tidak ingin mengendurkan cengkeraman. Olmert dan jajaran kabinet Israel sepa-kat memperpanjang serangan hingga -14 hari, menambahkan tentara cadangan hing-ga 15 ribu orang, dan memperluas serangan darat hingga Sungai Litani, -se-kitar 30 kilometer dari perbatasan Libanon-Israel.
”Pertempuran disengaja berlangsung tiap hari untuk menguras kekuatan musuh,” kata Perdana Menteri Israel Ehud Olmert. ”Ini akan mengurangi kemampuan mereka pada masa mendatang,” ia menambahkan. Olmert pun tidak meng-ingin-kan gencatan senjata sesege-ra mungkin, meski dia menyatakan menye-sal dengan serangan Israel di Qana. Serangan itu menewaskan lebih dari 54 pen-duduk sipil, 37 di antaranya anak-anak.
Dan Israel tak membuang waktu. Se-telah jeda 48 jam, Selasa malam pekan lalu, pasukan darat menghambur masuk Libanon Selatan. Sementara itu, pesawat tempur dan roket-roketnya menem-bus lebih dalam ke wilayah Libanon, ke Kfar Kila di bagian timur, Mansouri di barat, serta Shamaa dan Teir Harfan dekat kota pelabuhan Tyre. Jalan Qaa-Homs, yang menghubungkan Libanon dengan Suriah, juga dibom. Akibatnya, dua dari empat pintu perbatasan Suriah-Libanon tutup. Menurut Menteri Haim Ramon, 300 dari 2.000 tentara Hizbullah telah tewas selama pertempuran. ”Ini pukul-an hebat,” katanya.
Entah seberapa jauh kebenaran klaim itu. Yang terang, di New York, ”drama” lain juga berlangsung. Dalam sidang Dewan Keamanan, Selasa pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice memperjuangkan gencatan senjata- ”yang stabil dan berkesinambungan”. Gen-catan senjata itu diterapkan sete-lah per-syaratan-persyaratan dipenuhi. ”Iran- harus mengakhiri dukungan dana dan pasokan senjata untuk kelompok teroris seperti Hizbullah. Suriah juga harus mengakhiri dukungannya,” kata Presiden AS George W. Bush. Selain itu, persenjataan Hizbullah harus dilucuti.
Prancis menolak. Negara yang pernah- menjajah Libanon itu menawarkan solusi lain: penghentian pertempuran, pembentukan kawasan penyangga baru di bawah pengawasan pasukan interna-sio-nal dan tentara Libanon. Setelah meno-lak hadir dalam pertemuan yang membicarakan keanggotaan pasukan- mul-ti-nasional, Kamis pekan silam, Pran-cis kembali bergabung dalam pembahas-an langkah penyelesaian masalah Libanon dengan AS, esoknya. ”Kami sudah sa-ngat dekat dengan draf final yang akan dibahas dengan anggota Dewan lain-nya. Kami akan bekerja akhir pekan ini,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Sean McCormack, Jumat pekan lalu.
Tapi, belum jelas apakah resolusi Dewan Keamanan akan menyerap usulan 18 negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang bertemu di Malaysia, Kamis pekan lalu. OKI menginginkan agar pasukan multinasional di bawah PBB yang dikirim ke Libanon, memasukkan tentara dari negara-negara anggota OKI. Or-ganisasi ini juga meminta Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyelidiki serangan Qana.
Sayangnya, pembicaraan di New York, Kuala Lumpur, dan demonstrasi mengu-tuk Israel di berbagai tempat di dunia tak memperbaiki keadaan di Libanon. Bahkan intensitas serangan Israel makin meningkat. Menurut Perdana Menteri Libanon, Fouad Siniora, sekitar 900 jiwa tewas dan lebih dari 700 ribu orang kehilangan tempat tinggal. Jumat pekan lalu, Israel mengebom tanah pertanian sekitar Qaa, dekat perbatasan dengan Suriah, dan menewaskan lebih dari 40 orang.
Kerja para penyelamat juga makin sulit dan berbahaya. Menurut juru bicara Palang Merah Libanon, Ghaleb Ayoubi, selain jalan-jalan rusak berat, petugas- juga tidak bebas dari serangan Israel.- ”Jarak tempuh yang hanya satu jam men-jadi empat jam,” kata Ayoubi kepada Tempo. ”Tim penyelamat Qana tiga kali diserang roket tentara Israel,” katanya.
Akibatnya, penduduk dan pemerintah Libanon makin anti-AS dan Israel. Dukungan terhadap Hizbullah—meskipun m-enurut lembaga International Crisis Group (ICG) hanya bersifat sementara—makin kuat, sehingga keinginan Israel- menghancurkan gerakan perlawanan- yang berdiri sejak Israel menduduki Li-banon Selatan pada 1982 itu makin su-lit.- ”Semakin lama masa serangan Israel berlangsung, yang diingat penduduk Libanon hanyalah kejamnya serangan tentara Israel,” demikian menurut ICG.
Hizbullah juga gencar menyerang. Se-telah serangan Qana, pada hari yang sama Hizbullah mengirim 150-an roket- ke beberapa wilayah Israel. Jumat pekan lalu, Hizbullah meluncurkan 190 roket ke Hadera, wilayah Israel yang terletak 80 kilometer dari perbatasan de-ngan Libanon. Tiga penduduk sipil tewas. Ini merupakan jumlah roket terbanyak dalam sehari dan merupakan sasaran serangan terjauh dalam tiga pekan pertempuran.
Banyak pihak percaya, serangan Israel bukan semata-mata bertujuan membebaskan dua tentara yang diculik- Hiz-bullah 12 Juli lalu. Alasan sama ju-ga ber-laku di Gaza: tentara Israel- meng-han-curkan Gaza bukan sekadar untuk menyelamatkan satu tentaranya yang dicu-lik. Hizbullah percaya—seperti- di-katakan seorang anggota parlemen Hiz-bullah, Hussein El-Hajj Hasan, kepada Tempo—serangan Israel adalah untuk menghancurkan Hizbullah, juga Hamas, yang nantinya untuk mencabut kemerdekaan Libanon dan menghapuskan Palestina.
Penculikan dua tentara oleh Hizbullah hanyalah ”pembenaran” bagi tindak-an Israel. Ternyata rencana penyerang-an ini sudah matang diperhitungkan sejak sekitar setahun lalu. Seorang pejabat tinggi militer Israel menjabarkan secara off the record strategi menghancurkan Hizbullah kepada pihak AS, diplomat, termasuk wartawan.
Menurut presentasi perwira tersebut-—dengan menggunakan program kompu-ter PowerPoint—tentara Israel hanya bu-tuh tiga minggu menghancurkan Hizbullah. Minggu pertama serangan untuk menghancurkan rudal-rudal jarak jauh, mengebom pusat-pusat komando, dan mengacaukan sarana transportasi dan komunikasi. Minggu kedua, Israel melumpuhkan tempat-tempat peluncuran roket individual dan gudang-gudang senjata. Minggu ketiga, Israel melancar-kan serangan darat, membersihkan sisa-sisa kekuatan Hizbullah. Menurut rencana ini, Israel tidak akan kembali menduduki Libanon Selatan, seperti pada 1982 hingga 2000.
Israel tidak pernah melupakan permu-suhannya dengan Hizbullah. ”Dari se-mua peperangan yang melibatkan Israel sejak 1948, ini (menghancurkan Hizbullah) adalah yang paling dipersiapkan Israel,” kata Gerald Steinberg, profesor ilmu politik dari Universitas Bar-Ilan, Ramat Gan, Israel. Menurut dia, persiap-annya bahkan dilakukan sejak 2000, segera setelah Israel keluar dari Libanon Selatan. ”Latihan-latihan” serangan sudah terjadi sejak 2004.
Ternyata, tidak hanya Israel yang pu-nya ”keinginan terpendam”. Hizbullah- juga telah lama ingin menculik tentara- Israel untuk kemudian ditukar de-ngan tahanan Libanon di Israel. Hizbullah- mentahbiskan 2006 se-bagai tahun me-mu-langkan para tahan-an. Pada Novem-ber 2005, pemimpin Hiz-bullah, Syeikh Hassan Nasrallah, pernah mengumum-kan secara terbuka ten-tang rencana me-nangkap tentara Israel. Bahkan pada April 2006, Nasrallah meng-ancam akan mengambil paksa tahanan Libanon di Israel.- ”Lebih dari setahun ini, saya selalu mengatakan akan menculik tenta-ra Israel. Dan setiap kali saya bilang de-mikian, Israel meningkatkan kewas-padaan di perbatasan,” kata-nya.
Perang telanjur terjadi dan sudah ber-jalan lebih panjang dari rencana semula Israel. Pun, tidak ada kejelasan ba-gaimana mengakhiri pertempuran. Benar kata The Economist, Olmert harus mengambil pelajaran penting dari kasus ini: memulai perang lebih mudah ketimbang mengakhirinya.
Bina Bektiati (The Economist, ICG, SFGate, Daily Stra, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo