Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGKAH Komisi Yudisial- menge-golkan Pedoman Etika dan- Pe-rilaku Hakim bisa jadi tak ba-kal mulus. Tanda-tanda ”per-la-wanan”- sudah dilancarkan oleh Mahkamah Agung, lembaga yang sela-ma ini kerap berseberangan dengan ko-misi itu. Mahkamah Agung, yang lebih dulu memiliki Pedoman Perilaku H-akim, menyatakan lebih berhak mengatur- pa-ra hakim. ”Mereka bisa membikin pe-do-m-an, tapi apa itu berlaku untuk ha-kim?”- ujar Ketua Muda Mahkamah Agung- Bidang Per-data, Harifin A. Tumpa.
Ini tentu bukan sinyal bagus untuk- komisi itu, yang Rabu pekan lalu mem-pe-ringati setahun usianya. Dua hari se-belumnya, Komisi Yudisial sudah mengge-lar acara konsultasi publik atas Ran-cang-an Pedoman Etika dan Perilaku Ha-kim yang me-re-ka cip-takan. Ini -bukan yang per-tama. Se-jak Juli, acara serupa s-udah mereka usung ke tujuh kota di Indonesia. ”Komu-nitas hakim di sejumlah daerah juga ikut mem-beri ma-sukan,” kata Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqodas.
Mahkamah Agung memang- sudah pu-nya pedoman lebih dulu. Atur-an bernama ”Pedoman Perilaku Hakim”- se-tebal 36 halaman itu diteken Ketua Mah-kamah Agung Bagir Manan akhir- Mei lalu. Pedoman yang sudah dirintis pe-nyusunannya sejak 2002 ini meng-undang kontroversi karena memberi se-jumlah kelonggaran kepada hakim untuk menerima pemberian.
Ketua Masyarakat Pemantau Peradil-an Indonesia, Hasril Hertanto, melihat rancangan yang disusun Komisi Yudi-sial lebih tegas dalam pengaturan hadiah. Dalam draf setebal 25 halaman itu hakim dengan tegas dilarang menerima pemberian dan semacamnya. ”Sedangkan dalam pedoman Mahkamah Agung, lebih permisif,” kata Hasril.
Menurut Busyro, pedoman yang di-buat lembaganya dan Mahkamah Agung sebenarnya punya banyak kesama-an. ”Tapi, perbedaannya juga ada,” ka-ta-nya.- Yang paling prinsip larangan hakim untuk menerima hadiah. ”Kalau mau memberantas tradisi upeti, j-angan setengah-setengah,” kata Busyro. ”Ka-laupun ada kebiasaan di masyarakat -untuk memberikan hadiah sebagai ucap-an terima kasih, itu tak bisa dijadikan alasan pembenar.”
Komisi Yudisial juga lebih tegas melarang hakim menerima dana dari peme-rintah daerah. Ini berbeda dengan pe-do-man Mahkamah Agung yang masih mem-beri celah menerima bantuan dana dengan pertimbangan minimnya ang-gar-an pengadilan.
Hal lainnya yang diatur dalam pedom-an versi Komisi adalah ketentuan bagi hakim agar aktif melapor jika menemukan pelanggaran etika. Menurut Hasril, ini ide bagus meski sulit dalam praktek-nya. ”Kita tahu semangat membela korps- di kalangan hakim kan sangat kuat,” -katanya. Tapi, menurut Busyro, justru itu yang ingin dibenahi Komisi. ”Sema-ngat melindungi korps yang sempit itulah yang ingin kita kikis,” kata Busyro.-
Masalahnya kemudian, apakah akan ada dua pedoman untuk hakim yang -jum-lahnya sekitar 6.000 orang itu. Me-nurut Hasril cukup satu pedoman. ”Kalau ada dua, apalagi isinya bertolak belakang, ten-tu merepotkan,” ujarnya. Ang-gota Ko-misi Hukum Nasional, Frans Hendra- Winarta, menyatakan t-idak la-zim ada lebih dari satu pedoman untuk seorang hakim. Dia mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial duduk dan me-rumuskan pedoman bersama. ”Ini uji-an kedewasaan dan kenegara-wanan bagi keduanya.”
Menurut anggota DPR Benny K. Har-man, masalah pengawasan hakim- sebenarnya cukup jelas. Yang lebih memiliki otoritas, ujarnya, Komisi Yu-disial. Alasannya, lembaga inilah yang diberi mandat melakukan pengawasan pe-rilaku hakim. ”Jadi, kalaupun ada dua, pedoman yang harus dipatuhi hakim adalah yang dibuat Komisi Yudisial,” katanya.
Kendati demikian, dia mengakui ke-lemahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Itu, katanya, karena tugas pengawasan yang diberikan kepada Komisi tak dibare-ngi fungsi penindakan. ”Itu kelemah-an-nya, sehingga banyak rekomendasinya- yang diabaikan Mahkamah Agung,” ka-ta anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan DPR ini.
Tapi, Harifin A. Tumpa punya pen-dapat berbeda. Menurut dia, kewenang-an untuk membuat pedoman etik dan- pe-rilaku itu ada di Mahkamah Agung.- Undang-Undang Mahkamah Agung- mem-beri kewenangan kepada Mahka-mah- melakukan pengawasan internal. ”Kami hanya mengakui pedoman yang dibuat Mahkamah Agung, tidak yang la-in,” ujarnya. ”Dan hakim-hakim ikut induknya, dong.”
Busyro agaknya tak ingin ”berperang” dengan Mahkamah Agung. Setelah kon-sultasi publik selesai, kata Busyro-, -paling lambat Agustus ini naskah fi-nal- pedoman hakim versi komisinya akan diserahkan kepada Ketua Mah-ka-mah. ”Untuk menyinkronkan substansi -ver-si Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung,” kata Busyro.
Para hakim tampaknya memang mengharap pedoman itu hanya satu. Ini, misalnya, dilontarkan hakim Peng-adilan Tindak Pidana Korupsi, I Made Hendra. ”Kalau nanti ada dua pedoman, apalagi tak sama, kami yang bingung,” ujarnya. Kalau tak ada titik temu? ”Soal perilaku, tunduk pada Komisi Yudisial. Soal yudisial, ikut Mahkamah Agung,” katanya.
Direktur Lembaga Advokasi Independensi Peradilan (Leip), Rifqi Assegaf, memberi jalan keluar jika kedua lembaga ini kelak saling ngotot menyatakan paling berwenang membuat pedoman hakim. Menurut Rifqi, salah satu cara-nya adalah merumuskan pedoman itu dalam undang-undang. ”Kalau ingin lebih cepat, bisa dengan surat keputusan bersama,” katanya.
Abdul Manan, Agoeng Wijaya
Lain Komisi, Lain Mahkamah
Inilah sejumlah perbedaan antara kode etik yang dirancang Komisi Yudisial dan yang dibuat Mahkamah Agung.
Pedoman Etika dan Perilaku Hakim (Komisi Yudisial)
Sistematika: Terdiri dari 11 prinsip, disertai penerapan. Prinsip: adil, menjunjung tinggi kesetaraan di hadapan hukum, jujur, arif dan bijaksana, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berintegritas tinggi, berdisiplin tinggi, rendah hati, mandiri, profesional
Pemberian Hadiah: Hakim, termasuk keluarganya, dilarang meminta atau menerima pemberian dari advokat, penuntut umum, orang yang sedang diadili atau orang yang punya kepentingan langsung ataupun tidak langsung dengan perkara.
Ketentuan Gratifikasi: Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung, dan Ketua Komisi Yudisial.
Bantuan Pemerintah Daerah Hakim seharusnya dilarang menerima pemberian, khususnya yang bersifat rutin dan terus-menerus, dari pemerintah daerah, walau pemberian tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan tugas peradilan.
Aktivitas Masa Pensiun Pensiunan hakim tidak boleh berprofesi sebagai advokat yang berpraktek di pengadilan tempat ia terakhir menjabat, setidak-tidaknya selama 2 tahun.
Pedoman Perilaku Hakim (Mahkamah Agung)
Sistematika: Terdiri dari 10 prinsip, disertai penerapan dan penjelasan. Prinsip: adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, profesional.
Pemberian Hadiah: Hakim, termasuk keluarganya, dilarang meminta atau menerima pemberian dari advokat, penuntut umum, orang yang sedang diadili atau orang yang punya kepentingan langsung ataupun tidak langsung dengan perkara. Pengecualian untuk pemberian dari saudara, teman, atau pihak lain dalam perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, dalam jumlah wajar dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hakim.
Ketentuan Gratifikasi: Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung.
Bantuan Pemerintah Daerah Hakim sebaiknya boleh menerima pemberian, khususnya yang rutin dan terus-menerus, dari pemerintah daerah, walau pemberian tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan tugas peradilan.
Aktivitas Masa Pensiun Pensiunan hakim sebaiknya tidak berprofesi sebagai advokat yang berpraktek di pengadilan tempat ia terakhir menjabat, setidak-tidaknya selama 2 tahun setelah ia pensiun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo