Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang teluk iii: oposisi di irak

Pemberontakan kelompok oposisi melawan pemerintah irak ribuan tentara irak bergabung dengan pemberontak. saddam huseein menawarkan sepuluh kendali pemerintahannya ke kelompok syiah & otonomi kurdi.

16 Maret 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAH di Kuwait, adakah Saddam Hussein akan dikalahkan di dalam negerinya sendiri? Empat hari setelah Saddam memerintahkan pasukannya mundur dari Kuwait, dan Irak menerima semua Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Irak, marak pemberontakan di dalam negeri dimulai dari Basra, kota terbesar kedua setelah Baghdad. Hingga pekan ini, berita dari negeri yang mengusir wartawan asing itu simpang-siur. Cerita-cerita dari para pengungsi dari Irak Selatan yang sampai di Kuwait pun bermacam-macam. Yang bisa disimpulkan, sejumlah kota antara Basra dan Baghdad sebentar dikuasai oleh para pemberontak, sebentar kemudian direbut kembali oleh Pengawal Republik. Mungkin, kisah yang mendekati kenyataan adalah seperti yang diceritakan oleh seorang penulis asing yang tertangkap Pengawal Republik di dekat Basra. Sempat dibawa ke Baghdad, setelah dibebaskan ia mengisahkan pemberontakan yang dilihatnya, di harian International Herald Tribune (lihat Saksi Mata dari Basra). Betapa cepat dan berbolak-baliknya perkembangan di Irak bisa disimak dari berita berikut. Pada awal pekan lalu, muncul cerita bahwa kota pelabuhan Basra sudah dikuasai pemberontak. Kamisnya, Radio Baghdad yang didengarkan di Nikosia mengatakan, pasukan Pengawal Republik yang dikirimkan oleh Saddam ke kota yang rusuh itu sudah menguasai kembali kota tersebut. Tapi sehari kemudian muncul bantahan dari Majelis Tertinggi Revolusi Islam di Irak atau SAIRI (gabungan kelompok Syiah), kelompok oposisi Saddam terbesar dan terkuat. Tak cuma membantah, bahkan SAIRI mengklaim 12 kota di timur dan selatan Irak, termasuk Basra, berada di bawah kontrol kelompok Islam Syiah ini. Lebih jauh lagi, jika pernyataan gerilyawan Kurdi benar, sudah 29 kota yang dinyatakan oleh oposisi berada di tangan mereka. Belum terdengar lagi komentar pihak Saddam Hussein. Sangat berbeda dengan suasana ketika Perang Teluk, kini Radio Baghdad tak menyuarakan pernyataan apa pun tentang kekacauan di dalam negeri. Bahkan Peter Arnett, wartawan televisi CNN yang sangat populer karena menjadi satu-satunya wartawan asing yang dibolehkan meliput Baghdad sejak Krisis Teluk pecah, tak lagi muncul dengan laporan langsungnya. Bersama 40 wartawan asing yang lain, Arnett dipersilakan meninggalkan Irak, Jumat pekan lalu. Pengusiran wartawan asing itu, bila dihubungkan dengan tangan besi Saddam, bisa diartikan bahwa pemerintah Irak sedang berupaya keras menindas pemberontakan. "Saddam tentu tak bisa bebas menggilas pemberontakan dengan saksi mata puluhan wartawan Barat," kata Chris Lockwood, wartawan koran Inggris The Daily Telegraph, kepada TEMPO di Amman. Petunjuk yang lebih serius adalah diangkatnya Jenderal Ali Hassan Majid sebagai menteri dalam negeri Irak. Majid adalah sepupu Saddam Hussein yang diangkat menjadi gubernur Kuwait ketika Irak menyatakan negeri mini itu sebagai provinsinya yang ke-l9. Dengan Majid di pos yang berhak mengurusi segala sesuatu yang ada di dalam wilayah Irak, Saddam bisa merasa lebih tenang. Pasalnya, kekejaman Majid sudah terkenal di seantero negeri. Dialah yang menumpas pemberontakan kelompok Kurdi di utara, 1988, dengan senjata kimia. Pada Ahad pekan lalu, Radio Baghdad melaporkan, Majid sudah turun ke Kota Kirkuk, ibu kota Provinsi Tamim yang terletak 275 km utara Baghdad. Sementara itu, pihak oposisi terus berupaya menggalang persatuan. Bahkan oposisi yang terdiri dari puluhan kelompok itu sepakat mengirimkan wakil masing-masing untuk bertemu di Beirut, Libanon, Senin pekan ini. Tujuan mereka, menurut salah seorang tokoh Al Da'wah Islamiyah, "memperkukuh persatuan untuk lebih memperketat cengkeraman pada Saddam" (lihat Bersatu Melawan Saddam). Sampai Senin awal pekan ini, SAIRI (kelompok gabungan perlawanan Syiah), lewat berbagai markas yang tersebar dari London, Damaskus, sampai Teheran, terus mengumandangkan propaganda untuk menarik simpati dunia. Kata mereka, sudah 30 ribu rakyat sipil yang tewas di tangan tentara Saddam sepanjang masa pergolakan yang baru berlangsung sepekan ini. Tak ada tanggapan apa pun dari pemerintah Irak. Dalam pemantauan para pejabat militer Amerika, Saddam memang sudah mengerahkan Pengawal Republik untuk menggilas pemberontakan ini. Bahkan, konon, menurut pesan radio yang disadap oleh pemerintah Iran, Saddam sudah berpesan untuk menggunakan senjata kimia bila perlu. Kontan berita ini mendapat tanggapan Amerika, yang rupanya masih memberikan perhatian ekstra pada Irak. Wakil Presiden AS Dan Quayle menyatakan, pasukan Amerika siap diterjunkan ke Irak bila tentara Saddam menggunakan senjata kimia. Yang pasti, para pengguna senjata tak berwarna dan berbau tapi mematikan itu harus bertanggung jawab secara pribadi, kata Quayle. Tapi mengapa Pengawal Republik, pasukan elite yang ditakuti Jenderal Sekutu Schwarzkopf itu, yang dikirimkan? Begitu jagoankah para pemegang senjata di pihak oposisi? Kantor berita Reuters memberitakan, ada dugaan bahwa ribuan tentara reguler Irak justru bergabung dengan pemberontak sepulang mereka dari medan perang Kuwait. Malah SAIRI mengumumkan nama seorang mayor, Khalid Abic Ibrahim, yang sudah masuk ke kubu pemberontak. Disebutkan pula sang mayor sudah memerintahkan seluruh tentara yang berada di bawah komandonya untuk mengikuti jejaknya. Kalau berita ini benar, paling tidak satu batalyon yang terdiri dari 500 sampai 750 orang sudah menyeberang. Pembelot lain yang disebut SAIRI adalah seluruh awak sebuah pangkalan udara di Amara yang ikut berbaris melawan Saddam. Jadi, mungkin Saddam tinggal punya Pengawal Republik yang bisa ia percaya. Dan menurut para pengungsi yang diwawancarai repoter Barat, pertempuran berlangsung dari jalan ke jalan di seluruh penjuru kota yang jadi ajang kerusuhan. Intelijen Barat yang mengintip menyebutkan, Pengawal Republik sudah pula menggunakan senjata berat seperti tank dan artileri untuk meng- hantam posisi para pembangkang. Sejauh ini, perlawanan yang lebih keras nampaknya muncul dari kelompok Kurdi yang berdiam di Irak utara. Berbarengan dengan meletusnya huru-hara di bagian selatan pada 2 Maret lalu, di utara suku Kurdi pun bergerak. Pemberontak Kurdi menyatakan, mereka sedang bertempur sengit di Kirkuk, dan hampir menguasai kota yang menjadi pusat produksi minyak di Irak ini. Di antara puluhan kelompok oposisi, suku Kurdi memang paling siap tempur. Pada 1988 mereka sudah memiliki 30 ribu Peshmergas, yakni gerilya Kurdi yang terkenal gigih melawan tentara rezim Saddam Hussein. Dalam kelompok Kurdi, dua yang terbesar adalah Persatuan Nasional Kurdistan yang dipimpin oleh Jalal Taalibany, dan Partai Demokrasi Kurdistan yang sekarang dipimpin oleh Mas'ud El Birzany. Kedua kelompok besar Kurdi ini sepakat bergabung tiga tahun yang lalu untuk melawan Saddam. Bila selama ini kekuasaan Saddam seperti tak terancam boleh dikata karena tiadanya persatuan di pihak oposisi. Baru seusai Perang Teluk II (yang pertama Perang Iran-Irak), mereka bisa duduk semeja dan berbicara satu sama lain. Maklum, begitu banyak aliran bahkan ideologi yang bertolak belakang di antara mereka --ada nasionalis Kurdi, kubu Islam, dan kelompok sekuler. Dalam Kubu Islam sendiri paling sedikit tercatat 14 faksi yang juga belum benar-benar rukun satu dengan yang lain. Yang paling menonjol adalah Partai Dakwah Islam yang sangat militan. Kelompok ini sudah pernah mencoba membunuh Saddam, dan mengaku memiliki 50 ribu pasukan. Tujuan Partai Dakwah ini jelas, melaksanakan revolusi Islam di Irak seperti di Iran. Dalam kelompok sekuler, ada Partai Komunis Irak, juga ada kelompok nasionalis Irak yang dipimpin oleh Jenderal Hassan Naqib, bekas wakil kepala staf angkatan darat Irak yang kabur pada 1979. Jenderal Naqib, yang pernah jadi staf di Kedubes Irak di Washington, saat ini merupakan orang yang sangat dekat dengan Presiden Suriah Hafez Assad. Para bekas jenderal nampaknya akan memainkan peranan penting dalam upaya penggulingan Saddam. Bocoran dari berbagai sumber intelijen yang dikutip pers Barat sudah mengisyaratkan, pemimpin Irak yang baru paling tidak harus bekas jenderal dan mendapat restu Barat. Seandainya memang disyaratkan pemimpin Irak yang baru nanti harus militer, persaingan tentulah bakal seru. Seorang tokoh militer Irak yang lain, Ibrahim Abdur Rahman Al Daud, adalah letnan kolonel yang membantu Saddam ke kursi kekuasaan lewat revolusi 17 Juli 1968. Daud kemudian melarikan diri ke Saudi, dan ia tentu mendapat dukungan penuh dari Raja Faisal. Sebelum terjadi persaingan antaroposisi, sebuah payung organisasi yang disebut Komite Aksi Bersama Nasional Irak sudah terbentuk. Komite ini untuk sementara jadi pengikat para pelawan Saddam. "Yang penting menyelamatkan Irak dulu. Perbedaan yang ada itu soal nanti," kata Abu Mujahid, salah seorang anggota Partai Dakwah Islam, pada TEMPO. Sementara itu, melihat gerakan yang semakin mengancam, Saddam, yang mestinya belum hilang capeknya memimpin perang yang kalah, mencoba menawarkan kompromi. Lewat Wakil Perdana Menteri Saadoun Hammadi yang mengunjungi Teheran Kamis pekan lalu, ia menawarkan separuh kendali pemerintahannya pada kelompok Syiah. Belum ada bocoran rincian tawaran Saddam itu. Yang sudah jelas, Baqir Al Hakim sudah menampiknya. Sedangkan bagi suku Kurdi, Saddam sekali lagi menawarkan pemerintahan otonomi. Sebenarnya, sudah sejak 1970 Saddam memberi janji yang tak pernah ditepati itu. Soal inilah yang men- jadi sumber perang bertahun-tahun antara Baghdad dan orang-orang Kurdi. Sampai awal pekan ini, jawaban pihak Kurdi belum terdengar. Tapi berdasarkar akal sehat, sulit buat pihak Kurdi untuk begitu saja mempercayai janji Saddam. Selain janji itu sudah dikatakan sejak 1970 dan belum pernah ditepati, wilayah yang didiami orang Kurdi adalah satu daerah yang sangat kaya akan minyak dan gas. Irak, sebagai negeri yang bersandar pada emas hitam itu, begitu relakah melepaskan wilayah tersebut? Menurut orang Kurdi, tentu saja Saddam tak akan rela. Melihat begitu rumitnya persoalan, ditambah perseteruan di antara kaum oposisi, nampaknya rakyat Irak belum akan melihat damai dalam waktu pendek. Sebuah hari depan yang mirip Libanon atau Kamboja nampaknya sangat mungkin terjadi di negeri Timur Tengah yang pertama kali menikmati kekayaan di bawah buminya ini. Yoppie Hidayat, Yuli Ismartono (Damaskus), Dja'far Bushiri (Dahran)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus