KAWASAN Hamra di bagian barat ibu kota Libanon, Beirut, tiba-tiba menjadi sangat tegang. Senin pekan ini, daerah pertokoan ini berubah suasana menjadi bak kawasan perang. Tentara Suriah menjaga ketat dengan berbagai senjata, dari AK-47 Kalashnikov buatan Soviet sampai M-16 bikinan Amerika. Ada tank bikinan Soviet bersiaga. Puluhan anggota Marhabhat, polisi rahasia Suriah, memasang mata. Titik pusat penjagaan adalah Hotel Bristol, yang ternyata bersuasana meriah. Di sini, penuh gelak tawa dan cium pipi, dan pelukan khas Arab, kontras sekali dengan aroma tegang di luar. Di sinilah para penentang Saddam Hussein bertemu, disponsori pemerintah Suriah. Gerilya bertemu gerilya. Ada yang komunis, banyak yang Syiah, juga Suni. Ada pula orang Kurdi. Seorang wanita anggota Partai Komunis, Dr. Naziha Dulaymi, yang mengikuti pertemuan itu sempat terpaku. "Sebelumnya, bersalaman saja dengan orang Komunis mereka sama sekali tak mau," katanya. Lalu mereka mulai berbicara tentang masyarakat Irak yang menderita, juga tentang Tuhan. "Kami kan tetap Islam. Cuma politiknya saja yang beda," tutur aktivis yang mengungsi ke Berlin sepuluh tahun terakhir ini. Begitu hangatnya suasana sehingga orang yang sedang mabuk perdamaian ini lupa diri. Pertemuan yang seharusnya dimulai pukul 9 pagi tertunda satu setengah jam. Mereka lebih asyik tukar-menukar info tentang pergolakan yang sedang terjadi di dalam Irak. Setiap ada kabar yang dapat diselundupkan ke luar, cerita itu menjadi rebutan. Berbagai ragam kelompok ini bertemu untuk merumuskan satu tujuan besar: terbentuknya satu pemerintahan baru di Irak untuk menggantikan Saddam Hussein. Bagaimana bentuknya, orang-orang itu belum memutuskan. Jika melihat masalah yang menghadang kaum oposisi, bisa jadi jalan mereka akan sulit dan berliku. Paling tidak badan politik baru itu harus mencerminkan perkembangan dalam negeri Irak akhir-akhir ini. Di sana, ada Islam Syiah dan Suni. Lalu ada orang Arab dan Kurdi. "Pemerintah baru harus mencerminkan perbedaan-perbedaan ini," kata Abu Bilal Al Abid, seorang tokoh Partai Dakwah Islam, kepada TEMPO. Dan yang penting, sambung Bilal, pemilu akan diadakan satu atau dua tahun setelah masa transisi. Sementara ini, orang-orang yang sedang dalam suasana "bulan madu" ini tampaknya tak mempersoalkan segala tetek-bengek yang biasanya mereka ributkan. Al Abid, misalnya, mengatakan bahwa pihaknya tak akan mengharuskan hukum Islam dijalankan di Irak. Tak akan ada paksaan wanita memakai jilbab, atau larangan minuman alkohol dijualbelikan. "Semuanya biar rakyat yang memutuskan secara demokratis," katanya. Dalam suasana membina persatuan, hal-hal yang bisa memancing perpecahan dilupakan -- setidaknya untuk sementara. Orang Partai Dakwah, misalnya, berkata begini, "Tak benar jika revolusi ini dimulai dan dikuasai oleh orang-orang fundamentalis." Kata "fundamentalis" bisa jadi racun buat Barat. Bisa-bisa mereka akan ditentang oleh, misalnya, Amerika. Ini bisa merepotkan karena terbuka kemungkinan pihak Barat lalu membantu Saddam tentu saja dengan sejumlah syarat untuk melawan oposisi. Ketika Muhammad Mahdi Al Jawahari berpidato, sekitar 250 peserta konperensi tampak berkaca-kaca matanya. Jawahari adalah penyair Arab terkemuka yang dicintai rakyat Irak. Setelah sepuluh tahun berdiam diri, sekarang tokoh berusia 75 tahun itu berteriak di mimbar. "Saudaraku, kini tiba waktunya berjuang, demi keselamatan tanah air dan rakyat Irak." Yuli Ismartono (Beirut)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini