BABAK baru perang 43 bulan Iran-Irak dimeriahkan pertarungan udara yang cukup sengit, Sabtu lalu. Menurut Irna, kantor berita Iran, pesawat-pesawat Irak menembaki Gilan-e-Gharb, sebuah kota perbatasan, menewaskan dan mencederai beberapa orang, serta menghancurkan sejumlah bangunan. Tetapi, demikian Irna, Iran berhasil merontokkan dua pesawat Irak. Lain lagi cerita Radio Baghdad. Tanpa menggubris kerugian sendirl, pemancar resmi Irak itu mengaku menyerang kamp dan bangunan militer di Gilan-e-Gharb dan Saee-Pol Zahab, seraya "menewaskan demikian banyak musuh." Perang yang meletihkan ini berkembang makin tak menentu. Irak, dengan 500.000 tentara, berikut 20.000 sukarelawan dari berbagai negeri Arab, nyaris putus asa menghadapi serbuan lawan. Iran bukan saja memiliki dua juta tentara, tetapi juga mampu mengerahkan "gelombang-gelombang manusia," yang dibakar semangat jihad (Lihat: Marg bar "Persekongkolan Setan"). Iran unggul dalam jumlah manusia, Irak menang dalam persenjataan, terutama pesawat tempur. Toh, Baghdad gagal "menginternasionalisasikan" perang ini, kendati sempat menghancurkan ladang dan kilan minyak Iran. Rudal darat-ke-darat Irak yang dibeli dari Soviet, Scud-B, Frog-7, dan SS-12s, memang memiliki daya perusak besar tapi ternyata kurang akurat. Perang juga memukul ekonomi Irak tak kepalang tanggung. Ketika perang dimulai, 43 bulan lalu, Irak memiliki cadangan devisa US$ 30 milyar. Subsidi yang diberikan negara-negara Teluk, kabarnya, berkisar antara US$ 18 juta dan US$ 20 juta. Kini, menurut Dana Moneter International (IMF), negeri itu terbelit utang US$ 60 milyar. Berbagai faktor inilah, agaknya, yang menjerumuskan Irak ke langkah tidak terpuji: menggunakan senjata kimia. Tim ahli PBB, yang atas permintaan Iran berada semmggu di negeri itu, memastikan bahwa "senjata kimia dalam bentuk bom udara telah digunakan di daerah-daerah Iran yang diperiksa tim itu." Mereka terdiri dari Dr. Gustav Andersson dari Swedia, Dr. Manuel Dominguez dari Spanyol, Dr. Peter Dunn dari Australia, dan Kolonel Ulrich Imobersteg dari Swiss. Keempatnya ahli perang kimia. Zat kimia yang digunakan adalah Bis-(2-chloretyl)-sulfide yang dikenal sebagai gas mustard dan ethyl n, n-dimethylphosphoramidcyanidate yang dikenal sebagai tabun. Korban gas ini menderita lepuh dan luka bakar di mata, hidung, tenggorokan, serta kerusakan pada paru-paru dan sistem pernapasan. Dewan Keamanan PBB, dalam sidangnya Jumat pekan lalu, "dengan keras mengutuk penggunaan senjata kimia dalam Perang Iran-Irak." Tanpa menyebut nama, Dewan mengingatkan' pada Protokol Jenewa, 1925, yang melarang penggunaan gas beracun dan bakteri. Irak menandatangani protokol itu pada 1931. Baghdad, hingga awal pekan ini, belum mengakui tuduhan itu. Tetapi di Washington, AS, para pejabat intelegen, departemen pertahanan, dan departemen luar negeri percaya, Baghdad telah melancarkan perang kimia. Sumber intelegen AS juga menyebut lima lokasi terpisah, tempat Irak menyimpan, membuat, dan merakit senjata kimia. Di tiap lokasi itu, kata sumber tadi, bangunan dibuat enam tingkat dibawah tanah, dengan fasilitas perlindungan terhadap serangan udara. Laporan intelegen mengenai penggunaan senjata kimia ini sudah disampaikan kepada presiden AS, Renold Reagen. Agen-agen AS juga mengindentifikasikan Karl Kolb, sebuah perusahaan Jerman Barat yang berpusat di Dreiech, sebagai "bertanggung jawab atas penjualan dan pengapalan" perkakas laboratorium tadi. Karl Kolb, yang sering bertindak sebagai perantara dan agen berbagai pabrik, memang sudah lama dimonitor dinas rahasia AS. Duta Besar Jerman Barat di Washington, Peter Hermes, tak membantah bisnis Kolb dengan Irak dalam "fasilitas tertentu". Tapi, katanya, perkakas yang di curigai itu belum dikirim ke Baghdad. Manajer Kolb sendiri, Dieter Backfisch, Jumat pekan lalu menyatakan, "omong kosong kalau perkakas laboratorium yang kami jual itu dipakai untuk membuat gas saraf". Yang jelas, hari itu juga AS mengumumkan larangan penjualan lima jenis barang kimia ke Irak. Di bandar udara Kennedy, New York, duane menahan 74 drum yang berisi 498 kg potassium fluoride dengan tujuan Kamentrian Pestisida Irak, Baghdad. Muatan itu sedianya diangkut perusahaan penerbangan Belanda, KLM. Menurut Matthew Maselson, biokimiawan Harvard dan ahli kimia, potassium fluoride bisa digunakan membuat gas saraf yang di kenal sebagai GB, atau Sarin. BOKS Marg bar "Persekongkolan Setan" SEBERMULA perang tak menjamah Behbehan, kota tak berarti di padang pasir Provinsi Khuzistan. Tapi, suatu petang November tahun silam, sebuah rudal Irak mendarat di sekolah yang beranjak usai. Dalam sekejap, 74 anak tewas. Sejak itu isyarat dua jari, V, mulai dikenal penduduk. "Anak lelakiku ini bakal menjadi syuhada," ujar seorang mujahid yang muncul dari reruntuhan, menyambut wartawan The Guardian, Karsten Hansen, pekan lalu. "la akan berjuang melawan Irak, kemudian Israel." Anak itu baru berusia dua tahun! Demikianlah barangkali mitos martyrdom - mati syahid - tumbuh dan bersemi di Iran. Sejak itu ratap tangis berubah menjadi pekik pembalasan. Seorang remaja 17 tahun membuang dirinya yang berselempangkan dinamit dan granat ke tank Irak yang sedang melintas. Dan dari suatu tempat di Teheran, terdengar garang suara Ayatullah Khomeini, "Anak-anak ini adalah para pemimpin bangsa." Hamdollah, 47, hanya seorang di antara yang mengacungkan semboyan Marg bar Amrika - "Mampuslah Amerika." Pekik "mampus" juga dibagi rata untuk setiap negeri yang dianggap terlibat "persekongkolan setan". Tidakkah Hamdollah menganggap dirinya tua untuk perang tak berampun ini? "Saya muda dan kuat," katanya. "Saya akan menggulingkan Saddam (Hussein, presiden Irak). Saya beriman, dan tak takut mati." Di sisi Hamdollah berdiri Ali, 15, dengan pandangan nanap ke depan, ke arah peluru saling menerjang. "Kami berperang di jalan Tuhan, dan pasti menang," katanya. Abangnya yang berusia 16 sedang bertarung di seberang sana. Di Khorramshahr, yang pernah dikusai Irak 575 hari, hanya masjid yang tinggal utuh di tengah lanskap maut dan puing. Kota yang pernah berpenduduk seperempat juta itu kini hanya dihuni beberapa ribu manusia. Di dekatnya terhampar kota minyak Abadan, diliput asap dan dentum meriam yang tiap hari terdengar dari Shat al Arab. Penduduk telanjur akrab dengan suara bom dan bau mayat. Di jalan-jalan, mereka duduk tenang seraya menggelar barang dagangan. Bazaar tetap dibuka. Hanya prajurit berseragam dan dalam jumlah banyak, berkelompok di mana-mana, mengingatkan orang akan perang yang tidak terlalu jauh. Orang berusaha menyembunyikan ketakutan pribadi. Mereka berulang-ulang memekikkan slogan propaganda tentang "kemenangan melawan musuh". Seorang anak muda menilai hidupnya "tak lebih berharga ketimbang mereka yang gugur di medan perang atau penduduk sipil yang tewas dihajar bom." "Kultur kesyahidan memang salah satu cara rezim ini memacu penduduk untuk meneruskan perang," tulis Karsten Hansen. Tapi "kultur" ini juga ditunjang oleh lembaga yang lebih nyata, antara lain apa yang disebut "Dana Syuhada". Dana ini mengalir dari kas negara, perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan, dan sumbangan perorangan. Dari sinilah keluarga para syuhada menerima santunan, lebih dari yang diterima penduduk biasa. Film dan televisi ikut ambil bagian dalam membangkitkan militansi. Usaha mendapat gambar yang bagus tak urung menuntut korban jiwa. Hingga saat ini, tak kurang dari 28 juru kamera televisi Iran tewas di padang ranjau atau di parit-parit perlindungan di garis depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini