JIKA ratu Inggris sudah mematok niat, bahkan ledakan bom tidak kuasa mencegahnya. Cukup mengerti akan kekhawatiran Perdana Menteri Margaret Thatcher, Ratu Elizabeth II bagaimanapun tetap melaksanakan kunjungan lima hari ke Yordania, akhir bulan lalu. Adapun ledakan bom yang sengaja dilakukan untuk membatalkan kunjungannya terjadi di Hotel Intercontinental, tidak jauh dari gedung kedutaan Inggris di Amman. Kelompok pembangkang Al-Fatah, yang belakangan bekerja sama dengan Syria, telah mengaku bertanggung jawab dan menegur pemerintah Inggris agar menghentikan politiknya yang tidak bersahabat. Soalnya, tiga anggota mereka dijatuhi hukuman penjara di Inggris karena terlibat pembunuhan duta besar Israel di London tahun 1982. Seandainya teguran ini tidak diindahkan, "pemerintah Inggris akan membayar mahal sekali untuk itu," ancam mereka. Tapi sasaran utama ledakan tak lain Raja Hussein, yang dituduh menindas pejuang Palestina. Para pembangkang kelompok Abu Nidal ini tidak senang melihat usaha pendekatan antara Raja Hussein dan pemimpin PLO Yasser Arafat yang mencari penyelesaian politik bagi Palestina. Mereka cenderung pada penyelesaian militer, suatu upaya gagah yang tiap kali dikobar-kobarkan oleh tokoh Libya, Muammar Qaddafi. Bagi Raja Hussein, masalah Palestina dan konflik Timur Tengah sejak lama sudah merupakan duri dalam daging. Setelah mengusir gerilyawan Palestina dari bumi Yordania, September 1970, Hussein ternyata belum bebas dari urusan PLO. Awal tahun 1983, sesudah PLO didepak Israel dari Libanon, Arafat datang kepadanya membicarakan kemungkinan Palestina bergabung dengan Yordania, baik dalam bentuk federasi maupun konfederasi. Hussein tampaknya bersedia, tapi prakarsa Arafat gugur di tengah jalan karena tidak mendapat dukungan kelompok garis keras PLO. Akibatnya, raja Yordania itu menjadi sangat tersinggung dan memutuskan tidak akan pernah lagi melibatkan diri dengan urusan Palestina. Kendati begitu, ia rupanya belum jera. Masih dalam kaitan dengan Palestina, Hussein bersama presiden Mesir Husni Mubarak awal tahun ini bertemu dengan presiden AS Ronald Reagan di Washington, dan pulang tanpa membawa hasil kongkret. Kemudian tersiar berita, Washington akan melatih pasukan khusus Yordania, sementara Kongres dan Senat AS mempelajari bantuan US$ 200 juta untuk Amman. Tapi sebelum ada kata putus, Raja Hussein tiba-tiba melontarkan rasa amarahnya ke alamat Washington, akhir bulan lalu. Mengapa sampai begitu? Ternyata, Presiden Reagan menolak dua permintaan Hussein yang menyangkut Israel. Kepada Reagan, sang raja minta dukungan untuk usul resolusinya di Majelis Umum PBB yang mengutuk pemukiman ilegal orang Israel di Tepi Barat. Ia juga mengharapkan agar Washington mendesak Israel agar mengeluarkan surat jalan bagi 160 pengikut setia Arafat di Tepi Barat. Karena alasan tertentu yang erat kaitannya dengan pemilu, Reagan tidak mungkm menyanggupl harapan-harapan tu, dan Hussein pun menjadi amat kecewa. "Kebijaksanaan politik AS di Timur Tengah sudah lumpuh," katanya menyerang. "Sudah tidak mungkin lagi membina hubungan serius dengan Washington," tambah Hussein. Dalam saat-saat peka seperti itu, Ratu Elizabeth berkunjung ke Yordania. Padahal, sang ratu terancam jiwanya. Apakah ini isyarat, Hussein dapat membina hubungan baik dengan London, ketimbang repot tak menentu dengan Washington?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini