TUA dan renta, Chiang Ching-kuo juga mengidap berbagai penyakit, di antaranya diabetes. Kendati demikian, putra almarhum Jenderal Chiang Kai-shek itu tetap bersemangat. Ia bersedia menerima jabatan presiden Taiwan untuk periode enam tahun lagi sejak Mei mendatang, atas permintaan partai berkuasa, Kuomintang (KMT). Walaupun demikian, keputusan Chiang, 73, menunjuk Lee Teng-hui sebagai wakil presiden sungguh mengejutkan. Banyak orang mengira calon terkuat untuk jabatan itu adalah Sun Yun-suan, 70. Sun, yang akan mengakhiri jabatan perdana menteri menjelang terbentuknya kabinet baru bulan Mei, jauh lebih populer. Dialah arsitek utama keajaiban perekonomian yang mengantarkan Taiwan ke tingkat kemajuan sekarang. Di pulau ini sebenarnya ada empat kekuatan, yakni partai, birokrat, militer, dan sekuriti-inteligen, yang semuanya dapat dirangkul Chiang Ching-kuo sewaktu menjadi perdana menteri. Sementara itu, Sun cuma ditunjang para tokoh tua dari kalangan partai dan sekuriti. Untuk memperkuat posisi, ia bukan saja perlu merebut simpati kelompok militer, tapi juga dukungan politisi muda. Mereka belakangan ini menuntut porsi kepemimpinan lebih besar untuk warga Taiwan "pribumi". Ini yang sulit, karena Sun termasuk rombongan KMT yang didepak komunis dari Daratan Cina tahun 1949. Selain itu, kesehatannya sudah terganggu, antara lain pernah mengalami operasi pembuluh darah, Februari lalu. Lain halnya dengan Lee Teng-hui, 61. Sudah beberapa generasi keluarganya menetap di Taiwan. Leluhurnya berasal dari suku Hakka, di Provinsi Guangdong di Daratan Cina, tapi ia tidak berbahasa Hakka. Para wakil presiden Taiwan selama ini, termasuk Shieh Tung-min yang digantikan Lee, juga dari kalangan warga asli Taiwan, tetapi masih punya hubungan dengan keluarga yang menetap di RRC. Sedangkan Lee sama sekali belum pernah ke sana. Sebagai wakil presiden, Lee Teng-hui otomatis menjadi presiden seandainya kelak Chiang meninggal. Ini suatu isyarat bahwa KMT menyadari perlunya dilakukan pengoperan tongkat kepada warga pribumi. Lagi pula, para anggota pemimpin KMT rata-rata berusia 73 tahun, dan jumlah mereka semakin menciut tanpa adanya regenerasi. Taiwan, yang berpenduduk 18 juta, menganggap bangsa dan negaranya satu, meliputi juga wilayah RRC yang kini berpenduduk 1 milyar. Dalam Majelis Nasional (Parlemen) Taiwan, rakyat di Benua Asia diwakili oleh para anggota KMT yang terusir oleh komunis Cina tahun 1949. Semula, jumlah mereka yang duduk di majelis itu hampir 3.000, semuanya anggota seumur hidup. Dalam periode 30 tahun, banyak yang telah meninggal. Tahun lalu saja yang meninggal ada 46, sehingga kini tinggal 1.000. Ada anggota yang sudah tuli, tak bisa berjalan, misalnya Chu Wen-po, 81. Ia tetap mewakili Provinsi Kiangsu, kendati sudah 35 tahun tak pernah meninjau daerah itu. Anggota lain, 90 orang, sudah menetap di luar negeri. Setiap bulan gaji US$ 1.025 untuk para anggota parlemen "in absentia" itu dikirim dalam bentuk cek. Tidak kurang anehnya, anak-anak keluarga KMT lebih suka mencari nafkah di luar karier politik. Sekitar 70.000 pemuda Taiwan sekolah di AS, kemudian tak mau kembali pulang. Sementara itu, di Taiwan, pribumi gencar menuntut demokrasi yang diperluas karena mereka hanya berhak memilih wakil untuk 71 kursi di Majelis. Tak jarang gerakan "pribumisasi" Taiwan disertai kerusuhan seperti dilancarkan Kang Ning-shiang dan Nyonya Lin Dang Su-min. Agaknya, keresahan ini telah mendorong para pemimpin KMT mengalihkan kepemimpinan kepada warga pribumi. Dan, Lee Teng-hui adalah orang pertama yang mendapat peluang emas itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini