Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN muda itu menangis sepanjang hari. Semingguan dalam kejaran tatmadaw atau tentara Myanmar dan warga Rakhine yang membencinya, di tepi Sungai Nav yang cokelat berlumpur, Begum Fatia, 25 tahun, baru sadar betapa ia kehilangan laki-laki yang baru dinikahinya, lima orang adik yang disayanginya, serta kedua orang tuanya. Begum adalah warga sebuah desa di Distrik Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Begum pingsan berkali-kali setelah berhasil melintasi sungai yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh itu. Kala mengigau, disebutkannya nama-nama orang yang telah pergi sambil sesekali bergumam: ia ingin pulang.
Namun Bangladesh bukan "rumah". Sebelum pingsan, dari perahu kayunya yang oleng, Begum memang melihat orang-orang Bangladesh di seberang sungai melambaikan tangan dan berteriak: "Ambil jalan ini, ambil jalan ini." Mereka melindungi para pengungsi dari kejaran tentara Myanmar dan batu-batu karang yang sering bikin perahu karam. Tapi sekarang tentara Bangladesh tidak lagi membiarkan orang-orang Rohingya dari negeri sebelah melintasi sungai. "Rumah" mereka bukan di Bangladesh.
Di bantaran Sungai Nav, berkumpul komunitas baru: Begum yang pengantin baru, nenek Sahida yang melihat cucunya terbakar, si kecil Rohima yang kakeknya ditembak tentara Myanmar dari belakang, dan banyak lagi. Jumlahnya sekitar 20 ribu orang. Tiap orang mempunyai cerita horor: pemerkosaan, pembantaian, dan pembakaran rumah. Dan, mereka umumnya tidak tahu-menahu bahwa sebuah kejadian telah merobek ketenangan 1,1 juta orang Rohingya di Rakhine. Bersenjatakan pisau, bom, dan bedil, lebih dari seratus anggota kelompok bersenjata Bala Keselamatan Rohingya Arakan (ARSA) menyerang pos-pos polisi di perbatasan Myanmar-Bangladesh pada 25 Agustus lalu.
Menyerbu sejumlah pos penjaga perbatasan, kelompok militan ini membunuh selusin tentara dan polisi serta merampas amunisi. Militer dan pemerintah pusat berjanji membalas dengan hukuman seberat-beratnya. Sejak itu, dengan dukungan sekelompok penduduk asli Rakhine, tentara menebar teror di desa-desa Rohingya di sepanjang perbatasan. Dalam sepekan, 30 ribu orang Rohingya menyeberangi Sungai Nav seraya menghuni gubuk-gubuk kecil bertiang bambu dan beratap plastik hitam.
Gelombang pembalasan datang seperti ombak, bergulung-gulung. Akibat dari manuver yang dinamakan "Operasi Pembersihan" ini mengerikan. Berpegang pada analisis gambar satelit, kelompok Human Rights Watch mengumumkan temuannya: hampir seribu rumah hancur dan gosong-tanda pembakaran yang sistematis-di desa-desa Rohingya.
Para tentara yang sedang marah itu memberlakukan hukuman kolektif di desa-desa yang berbatasan dengan Bangladesh tersebut. Rakyat puluhan desa harus menanggung akibat mengerikan dari serangan gerilyawan di kota perbatasan tersebut.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 87 ribu orang mendadak menjadi pengungsi setelah tatmadaw diterjunkan di sana. Puncaknya terjadi dua pekan lalu, ketika militer menembakkan senapan otomatis kepada pengungsi yang berlarian mencari selamat.
Di mata pemerintah Myanmar, korban dan pelaku kekerasan bertukar posisi. Militer senantiasa dalam posisi korban kekerasan dan terpaksa menyerang balik demi membela diri. Surat kabar pro-pemerintah Global New Light of Myanmar punya cerita, "Sekitar 60 orang bersenjata tombak, tongkat, dan senjata api telah menyerang tentara, menewaskan seorang." Militer terpaksa membuka tembakan. Serangan gerilyawan pada Kamis itu membuka kesempatan untuk melegitimasi aneka bentuk persekusi terhadap kelompok minoritas tanpa kewarganegaraan ini.
Keadaan bertambah parah dan kompleks ketika warga sipil Myanmar mulai dilibatkan dalam persekusi. Kepada Time, seorang anggota militer Myanmar mengaku mereka sengaja memberi angin kepada warga sipil.
Kecuali para aktivis hak asasi manusia, yang gerakannya senantiasa diawasi dan dibatasi, tidak ada lagi yang melindungi orang-orang berkulit gelap yang belakangan harus hidup tanpa obat-obatan dan makanan cukup ini.
Pemerintah? Di bawah kepemimpinan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, pemerintah hanya mengakui bahwa tentara menjalankan tugasnya mencari kelompok teroris radikal yang bertanggung jawab atas serangan di perbatasan. Suu Kyi juga tak mengakui adanya pemerkosaan para perempuan Rohingya. Dan, rumah-rumah yang hangus itu, menurut Suu Kyi, dibakar sendiri oleh pemiliknya.
Melihat ketidakberdayaan minoritas dan ketidakpedulian pemerintah pusat, dunia internasional meradang. Tuntutan agar panitia Hadiah Nobel mencoret Suu Kyi dari daftar penerima Nobel semakin santer terdengar. Sementara itu, Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Rohingya, Kofi Anan, menyarankan pemerintah Myanmar cepat menyelesaikan soal warga negara yang jadi sumber kesewenang-wenangan ini.
Indonesia mendesak Myanmar menghentikan kekerasan terhadap orang-orang yang tak berdaya ini. Demonstrasi terhadap persekusi atas orang-orang muslim Rohingya berlangsung di mana-mana, dari Medan sampai Magelang, Jawa Tengah. Menghindari kemungkinan buruk, Jumat pekan lalu, demonstrasi besar, yang tadinya hendak digelar di kompleks Candi Borobudur, akhirnya dipindahkan ke Masjid An-Nuur, Jalan Soekarno-Hatta, Mungkid, Magelang. Masjid itu berjarak sekitar dua kilometer dari Candi Borobudur.
BERPULUH tahun, 90 persen penduduk Myanmar beragama Buddha hidup tenang berdampingan dengan minoritas muslim. Namun, beberapa tahun terakhir, atas perjuangan sekelompok biksu berhaluan ultranasionalis, tiba-tiba kelompok muslim menjadi "musuh bersama". U Wirathu, biksu di Meiktila, tanpa ragu menyimpulkan bahwa muslim adalah ancaman nomor satu terhadap keberlangsungan agama Buddha. "Mereka mempunyai banyak istri dan anak. Ketika jumlah mereka semakin banyak, kita terancam," ujarnya. U Wirathu adalah pendiri gerakan Komisi Perlindungan Ras dan Agama-dikenal sebagai gerakan Ma Ba Tha.
Rasa terancam dari kaum minoritas yang terus didengungkannya ini memperluas sentimen antimuslim ke pelbagai sektor kehidupan. Toleransi semakin tipis. Ironis, pemerintahan Suu Kyi, yang menang pemilihan umum dengan gemilang, seperti telah menyerah pada tekanan kaum mayoritas, pada orang-orang yang berpikiran sempit tapi percaya diri.
Idrus F. Shahab (the Atlantic, The Guardian,the Telegraph)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo